Ketika Akhirnya Tembok Dilarang "Bersuara"

Rumah itu tepat berada di pojok jalan raya. Bakti juga menilai, mural itu bernada provokatif. Alasan ini pula yang membuat pihaknya memutuskan untuk menghapus mural tersebut.

Rabu, 18 Agustus 2021 | 16:07 WIB
0
195
Ketika Akhirnya Tembok Dilarang "Bersuara"
Salah satu mural yang sudah dihapus aparat di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. (Foto: Istimewa)

Upaya membungkam suara rakyat tidak hanya memanfaatkan pandemi COVID-19 dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat) Darurat hingga Level-Levelan.

Dengan dalih untuk memutus mata rantai penyebaran Virus Corona, Pemerintah melarang rakyat berkerumun dan harus tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Bersamaan dengan itu, Pemerintah mewajibkan rakyat divaksinasi.

Padahal, banyak kasus yang menimpa tenaga kesehatan, setelah divaksin justru terinfeksi Covid-19 dan meninggal. Begitu pula yang terjadi di kalangan rakyat. Dalih yang dipakai, meninggalnya itu tidak ada kaitannya dengan vaksinasi.  

Bahasa medisnya, bukan meninggal akibat KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Tapi, karena ada comorbit pada diri pasien. Meski sudah menelan korban, vaksin tetap dibela sebagai bukan penyebab kematian. Vaksin itu bukan obat.

Vaksinasi sudah menjadi kewajiban. Di DKI Jakarta, rakyat yang belum divaksin diburu sampai ke rumah-rumah. Kalau tetap tidak mau divaksin, rumahnya ditempeli stiker yang menandakan penghuni rumah itu masih belum divaksin.

Tidak ada hak warga untuk menolak vaksin. Padahal, WHO sendiri sudah memberi sinyal, tidak boleh ada pemaksaan pada rakyat yang menolak vaksin. Rakyat pun akhirnya curiga, pemaksaan vaksin ini karena ada kaitannya dengan bisnis.

Dalam kebijakan PPKM Level-Levelan yang sudah diperpanjang lagi hingga 23 Agustus 2021 itu, pergerakan rakyat dibatasi. Alasan tetap sama: pengendalian Covid-19 dan untuk memutus mata rantai penyebarannya. Itukah alasannya?

Namanya juga “pembatasan pergerakan kegiatan masyarakat”, sehingga kegiatan apa saja yang berpotensi menimbulkan kerumunan ya dibatasi. Jum’atan ke masjid diatur. Bahkan, disuruh tunjukin “kartu vaksin”. Begitu pula ke mal-mal.

Padahal, efikasi vaksin yang ada selama ini terhadap varian Delta bervariasi. Untuk vaksin AstraZeneca 1x suntik: 30,7%; 2x suntik: 67,0%. Vaksin Pfizer 1x suntik: 30,7%; 2x suntik: 88,0%. Sedangkan Sinovac hingga kini belum jelas berapa.

Yang pasti, dengan adanya pembatasan tersebut, kegiatan yang berpotensi mengumpulkan orang banyak seperti unjuk rasa dan demo, dipastikan tidak akan pernah bisa terjadi. Inilah sebenarnya maksud di balik PPKM Level-Levelan tersebut.

Jika ada yang protes atas berbagai kebijakan Pemerintah, dapat dipastikan akan berakhir di balik jeruji tahanan atau penjara. Jangankan unjuk rasa, mengadakan Maulid Nabi saja bisa berakhir di penjara, seperti yang dialami Habib Rizieq Shihab.

Padahal, dalam ceramah Maulid Nabi tersebut tidak ada materi yang mengkritik Pemerintah. Tapi, tetap saja ada upaya untuk bungkam suara rakyat. Hingga gambar dan tulisan yang ada di tembok/dinding pun dibungkam aparat Pemerintah: Mural!

Mural bertuliskan “Tuhan, Aku Lapar” yang pernah terpampang di Jalan Arya Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, akhirnya dihapus oleh aparat. Si pembuat mural, Deka Sike, sempat didatangi aparat dari Polres Kota Tangerang.

Deka mengaku trauma dan tertekan setelah polisi mendatangi rumahnya. “Cukup tertekan, kami tidak menyangka efeknya polisi akan seperti itu,” ujarnya kepada Tempo, Minggu 15 Agustus 2021.

Menurut Deka, ada sekitar 15 orang pemural yang ikut menuliskan kalimat Tuhan Aku Lapar sepanjang 12 meter itu dalam waktu empat jam. Apa yang mereka buat itu merupakan sebuah ekspresi dan karya seni sehingga tidak ada aturan hukum yang mereka langgar.

“Ini adalah cara kami mengekspresikan sesuatu yang kami rasakan, Tuhan Aku Lapar adalah aduan dan keluhan kami kepada Tuhan sang Pencipta,” ujarnya. Tapi, setelah rumah mereka didatangi polisi pasca viralnya mural itu membuat mereka tertekan.

“Mereka (polisi) memang bilang tidak mau membatasi, tapi dengan cara mereka mendatangi rumah kami itu sudah memberikan penekanan pada kami dan keluarga,” kata Deka. Sehingga pasca kejadian itu mereka mulai ragu dan merasa tidak bebas untuk berkarya lagi.

Sebuah mural bertuliskan Tuhan Aku Lapar viral di media sosial pada 24 Juli 2021. Kalimat dengan huruf  kapital berwarna putih mengkilat berukuran jumbo itu sempat terpampang jelas dan diabadikan sejumlah pengguna jalan.

Setelah viral di medsos, aparat Satpol PP Kecamatan Tigaraksa langsung menghapus tulisan tersebut. Keesokannya aparat kepolisian dari Polres Kota Tangerang mendatangi rumah dua pembuat mural itu.

Menurut Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoto, upaya pembuatan mural itu tak ada kaitan dengan aksi nasional menolak perpanjangan PPKM yang tengah ramai di medsos. Sehingga, pihaknya tidak memproses hukum para pelaku pembuatan mural tersebut.

Pasca viral mural “Tuhan Aku Lapar”, mural “#Jokowi404NotFound “ telah menjadi trending topik dalam Twitter, Sabtu (14/8/2021). Mengutip Kompas.com, Sabtu (14/08/2021, 18:20 WIB), tercatat lebih dari 14.000 warganet men-tweet-kan kalimat itu.

Tagar itu berasal dari gambar mural yang belakangan telah dihapus petugas karena dinilai melecehkan lambang negara. Wajah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengernyitkan dahi digambar di sebuah tembok di Batuceper Kota Tangerang.

Mural berwarna abu-abu kombinasi hitam itu pada bagian mata ditutup tulisan berhuruf putih “404: Not Found” dengan layar belakang merah itu kini sudah dihapus aparat.

Menurut Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota Komisaris Abdul Rachim, mural tersebut berindikasi pelecehan dan penghinaan simbol negara dan sudah dihapus. “Presiden itu simbol negara, ini tidak hanya mengganggu sekadar ketertiban ada hukum berlaku,” katanya.

“Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati,” lanjut Abdul Rachim, saat dihubungi wartawan, Jumat (13/8/2021).

Peristiwa serupa juga terjadi di sebuah pertigaan jalan raya di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Diberitakan Kompas.com, Kamis (13/8/2021), mural yang tergambar di dinding salah satu rumah dihapus pemerintah setempat.

Sejumlah akun media sosial mengunggah foto yang memperlihatkan dinding berisi mural dan kondisi setelah dihapus. Pada mural itu terlihat gambar dua karakter dengan tulisan, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”.

Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, penghapusan mural itu sesuai dengan Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.

Dalam Pasal 19 Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tersebut tercantum larangan mencoret dinding atau tembok sarana umum.

“Yang pasti kalau di perda kita, Perda Nomor 2 Tahun 2017, memang ada mengatur tentang tertib lingkungan, setiap orang dilarang mencorat-coret yang mengarah pada sarana umum,” kata Bakti melalui sambungan telpon, Jumat (13/8/2021).

Ia mengatakan, dinding rumah yang menjadi tempat mural itu merupakan sarana umum karena berada di pinggir jalan raya utama. Adapun mural itu terletak di rumah kosong yang belum diketahui pemiliknya.

Rumah itu tepat berada di pojok jalan raya. Bakti juga menilai, mural itu bernada provokatif. Alasan ini pula yang membuat pihaknya memutuskan untuk menghapus mural tersebut.

***