Pers tidak perlu harus menyerobot lahan buzzer, hanya demi eksistensi di tengah pandemi. Masih banyak cara yang lebih sehat untuk bertahan hidup. Pers dan buzzer hidup dilahan yang berbeda.
"Kehadiran dari para pendengung (buzzer) itu menjadi membahayakan bagi kebebasan pers," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli, kepada detikcom, Selasa (9/2/2021).
Kebebasan Pers seperti apa yang kurang? Justeru pers itu sendiri perlu dikontrol, dikontrol saja pers masih kebablasan, apa lagi kalau tidak dikontrol.
Tidak benar apa yang dikatakan Arif Zulkifli, bahwa para buzzer tidak mengkritik berita yang disiarkan pers. Secara pribadi saya seringkali mengkritik isi pemberitaan pers, terlebih karena antara judul berita dan isi tidak nyambung.
Kebebasan pers tidak akan terancam dengan kehadiran buzzer, selama pers masih menyajikan imformasi yang berimbang. Sekarang, keberpihakan pers terhadap siapa yang ingin dibela sangat kentara.
Tentang hal ini, ada beberapa artikel saya menyorot kinerja pers, antara lain; "Media yang Menggali Kuburnya Sendiri, " dan beberapa artikel lainnya, yang mengkritisi kinerja pers.
Saya mengamati, betapa sulitnya media bertahan hidup, dan harus ikut berpolitik agar dapur tetap ngebul. Kenapa hal seperti itu tidak menjadi titik perhatian Dewan Pers, kok malah menggubris ancaman buzzer terhadap kebebasan pers?
Kalau pers berada dijalur yang benar, saya rasa dengan sendirinya buzzer pun tidak akan mengusik kinerja pers. Pers harus kembali ke habitatnya, bukan menjadi buzzer bagi yang memiliki kepentingan. Pers harus netral dalam menyajikan berita.
Tidak perlu menutup mata, bahwa pers sendiri juga bekerja layaknya 'buzzer,' menyajikan berita seperti membela pihak yang bayar. Sudah menjadi rahasia umum ada media yang dikontrak bulanan oleh sebuah kekuasaan.
Inilah yang membuat pers tidak lagi berimbang, dan terkesan berat sebelah. Ini yang mestinya diawasi oleh Dewan Pers, bukan malah menyerang keberadaan buzzer. Benahi dulu penyajian dan independensi pers yang sudah kebablasan.
Tidak semua pendukung pemerintah itu buzzer, mereka yang reaktif atas pemberitaan pers, yang cenderung menyudutkan pemerintah, lebih tepat dikatakan simpatisan.
Memang ada buzzer dan influencer yang dibayar pemerintah, tapi tidak bisa di generalisir semua yang menyerang pers, atau pun tokoh publik adalah buzzer, atau buzzerRp.
Kalau pers sendiri tidak bisa melihat persoalan ini secara berimbang, bagaimana mungkin mau menyajikan berita secara berimbang. Jangan salah, pers sendiri punya andil besar terhadap terbelahnya masyarakat, karena penyajian berita yang tidak berimbang.
Baca Juga: Menuding Buzzer, tapi Dirinya Sendiri Buzzer Pula
Selama pers tidak bisa kembali ke 'Khitahnya,' maka buzzer akan terus mendengungkan kebobrokan pers. Jangan anggapan itu sebagai ancaman, jangan diputar-balikkan dengan mengkambing-hitamkan keberadaan buzzer.
Pers tidak perlu harus menyerobot lahan buzzer, hanya demi eksistensi di tengah pandemi. Masih banyak cara-cara yang lebih sehat untuk bertahan hidup. Pers dan buzzer itu hidup dilahan yang berbeda.
Pers tidak perlu layaknya buzzer, dalam kemasan sebagai pers, tapi pola hidupnya layaknya buzzer. Dewan pers jangan tutup mata, kalau ada jurnalis juga menjadi buzzer, yang kontrak pihak yang memiliki kepentingan, untuk menyerang pemerintah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews