Mungkin kita harus dipimpin oleh seorang otoriter, sehingga kita baru bisa merasakan betapa berharganya kebebasan berpendapat.
"Piye kabare le? enak jamanku to?
Kata-kata diatas sangat melekat dengan Mantan Presiden RI kedua, HM Soeharto, lambayan tangan dan senyum yang menawan, menjadi simbol kemapanannya, seolah-olah memimpin tanpa beban, dan tanpa ada tekanan.
Itulah makanya kekuasaan Soeharto bisa bertahan selama 32 tahun, melebihi kekuasaan Soekarno, Presiden pertama dan juga proklamator Republik Indonesia.
Jelas sangat enak menjadi Presiden di era Orde Baru, karena tidak ada yang berani menghina Presiden, tidak ada yang berani melecehkan Presiden, seperti penghinaan dan pelecehan Presiden di era Reformasi.
32 tahun kita tidak mengenal apa yang dinamakan Demokrasi, komunikasi hanya terjadi satu arah, dari pemerintah kepada rakyatnya. Mana ada rakyat yang berani protes seperti sekarang ini.
Imformasi yang keluar di berbagai media, hanya berita baik, kalau pun ada berita buruk yang terberitakan, itu pun berita buruk yang sudah diperbaiki sesuai dengan keinginan penguasa.
Penak jamanku to?
Ya enaklah, rakyat harus dibikin nyaman, harus merasa aman dan sejahtera, karena kunci untuk berkuasa secara aman dan nyaman, rakyat harus disejahterakan. Soal seperti apa mensejahterakannya, rakyat gak perlu tahu.
Rakyat aman dan sejahtera, pemimpin tentunya sangat-sangat sejahtera, begitu juga dayang-dayang disekitarnya. Begitulah kelebihannya berada di era Orde Baru, semua sudah diatur sedemikian rupa, agar terlihat aman, tentram dan sejahtera.
Begitu lepas dari jaman itu, seketika semua berubah, demokrasi kebablasan, kebebasan berpendapat atas nama demokrasi menjadi sesuka hati tanpa aturan.
Kesenjangan antara Orde Baru dan Reformasi begitu terasa, bagi orang-orang yang terbiasa hidup dari belas kasihan pemerintah. Sama sekali tidak merasa pernah dibungkam kemerdekaannya, hak-hak konstitusinya dikebiri, dia tidak pernah mengerti.
Betapa tidak enaknya menjadi Presiden setelah Orde Baru, begitu mudah untuk disingkirkan, semua telunjuk begitu mudah diarahkan ke muka seorang Presiden, yang tidak terjadi dimasa Orde Baru.
Siapa saja bisa dengan bebas mencaci-maki Presiden, bahkan rakyat jelata sekalipun. Dan tidak satupun dari mereka yang dihilangkan nyawanya karena menghina Presiden, sehingga menghina dan mencaci-maki Presiden dianggap hal yang biasa.
Anggota parlemen bisa bersuara lantang di era reformasi, padahal di era orde baru selalu satu suara dengan pemerintah, bahkan legislatif tidak sejajar dengan eksekutif, legislatif tunduk pada eksekutif.
Ada yang memimpikan kembali ke zaman seperti itu? Dimana semua harus satu suara dengan penguasa, rakyat tidak perlu berpendapat, cukup patuh pada pemerintah, dan terima saja apa yang diberikan pemerintah, tanpa ada protes.
Seperti sekarang inilah keadaan negara kita sesungguhnya, yang sedang berusaha mencapai apa yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, tanpa merekayasa keadaan seoalah-olah sejahtera.
Kalau saja 60 tahun pertama paskakemerdekaan negara ini dikelola dengan benar, kita sudah sejajar dengan bangsa dan negara lainnya di dunia. Kita tidak kekurangan orang pintar, hanya saja kita tidak banyak orang jujur.
Sekarang negara ini sangat gaduh, karena terlalu banyak orang pintar, sehingga semua bersuara dengan kepintarannya, tidak ada lagi yang menjadi yang mendengar, sehingga tidak ada yang tahu bagaimana solusinya. Semua yang pintar cuma bisa menyalahkan, tanpa memberikan solusinya.
Mungkin kita harus dipimpin oleh seorang otoriter, sehingga kita baru bisa merasakan betapa berharganya kebebasan berpendapat, dan kita bisa menghargai seorang pemimpin yang tangannya begitu terbuka untuk memeluk rakyatnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews