Berhentilah menghina dan menghujat keduanya, Jokowi maupun Prabowo, sebab kita pada dasarnya sama-sama terkhianati.
Kemarin ngompol, ngomong politik, bagaimana kalau sekarang kita ngos-ngosan, ngomong-ngomong soal perasaan. Ngompol sambil ngos-ngosan. Iya perasaan kita; perasaan kamu, juga perasaan saya.
Sesungguhnya sangat ga adil nyenyek dan menertawakan terus pendukung Prabowo yang bak layangan putus benang atau burung gereja kehilangan sayap terkait merapatnya Prabowo kepada musuh bebuyutannya, Joko Widodo.
Bagaimana mungkin sosok yang dibanggakan para pendukung militan jadi pemimpin besar itu kena-kenanya cuma jadi menteri, jadi bawahan dari orang yang dilawannya dalam palagan Pilpres, dua kali pula. Bukankah masih keren tetap menjadi oposisi dari pada hidup bersisian dengan Jokowi?
Kalahnya Prabowo di 2 Pilpres dan merapatnya Prabowo ke Istana saya sebut sebagai "Penaklukkan Kaffah" Jokowi terhadap Prabowo, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Peribahasa Jawa yang bermakna "dipangku, tapi dimatikan" pas bener untuk menggambarkan politik zigzag Jokowi, politik yang sukar ditebak. Ibarat film drama panjang, banyak kejutan di setiap akhir episode dengan ending yang tetap sulit ditebak.
Apa lagi yang bisa dibanggakan selain terus melakukan perlawanan? Sekarang, jadi oposisi sudah jauh panggang dari api, ga mungkin menjilat liur sendiri yang sudah muncrat ke luar. Sekali lagi, di mata para pendukungnya, apalagi yang bisa dibanggakan dari seorang Prabowo?
Maka, ucapan kekecewaan pun berhamburan bagai kawanan merpati lepas sangkar. Bagaimana pendukung yang biasa menghujat, menghina dan merendahkan Jokowi tiba-tiba harus menahan diri karena Jokowi sekarang atasannya Prabowo. Atau sebaliknya, Prabowo kini bawahan Jokowi. Sakitnya tuh di sini... (sambil nunjuk dengkul).
Saya ga menyebutnya tsunami kekecewaan, cukup badai tropis saja. Ada yang mengalihkan dukungan ke Anies Baswedan, Abdul Somad, bahkan Recep Tayyip Erdogan. Tiga orang ini memang "Mat Untung" yang selalu ketiban pulung.
Saking kecewanya, ada seorang pendukung militan Prabowo yang berpantun soal "kusangka singa padang pasir ternyata kucing rumahan". Dulu 'kan para pendukung Prabowo mengampanyekan orang yang didukungnya itu sebagai "Singa Asia". Sebaliknya, Jokowi mereka sebut sebagai Jokodok.
Pertanyaannya; apakah perasaan kecewa itu mutlak milik pendukung Prabowo? Ya ga lah, ternyata pendukung Jokowi pun idem ditto alias sama saja. Saya sebagai pendukung Jokowi, ya jelas kecewa! Kecewa lebih karena mengapa Prabowo mau nerima tawaran Jokowi hahaha....
Cobalah raba perasaan (jangan raba-raba yang lain), bagaimana yang dalam keseharian ngenyek Prabowo, merendahkan dan menistakan, tiba-tiba harus berhenti hanya karena Prabowo sekarang ada di sisi Jokowi, sudah menjadi bawahan Jokowi. Bagaimana mungkin menghina, ngenyek dan menghujat rekan kerja Jokowi sendiri?
Galau, maaaannn....
Terus, bagaimana dong sikap kita (elooo kaleee) baik para pendukung fanatik maupun pendukung Prabowo menerima kenyataan ini? Bagaimana harus bersikap.
Ya, berhentilah menghina dan menghujat keduanya! Kita pada dasarnya sama-sama terkhianati...
Tetaplah hikmah yang harus diambil (cieee bijak neh), bahwa mencintailah ala kadarnya, juga... bencilah ala kadarnya. Jangan benci dan cinta porsinya sama-sama "setengah mati". Sisakan nalar dan kewarasan, sebab membenci dan mencintai secara jor-joran itu bisa melumpuhkan nalar, bahkan merembet ke disfungsi nurani.
Toh Pilpres sudah usai. Tarik nafas, sisakan ruang di kepala untuk berpikir jernih. Percayakan kepada Jokowi yang kini bergandengan tangan dengan Prabowo menjaga keutuhan negeri, merawat keajegan NKRI dari musuh sesungguhnya yang sudah di depan mata.
Kamu tahu sendirilah musuh yang dimaksud.
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [16] Sebelas Tahun Kompasiana
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews