SKB 11 Menteri, Upaya Cegah Radikalisme di Kalangan ASN

Tak menampik peranan dunia digitalisasi ini membuat penggunanya menjadi ketagihan. Pengakuan akan esksitensi serta diikuti sebagai tren dinilai sebagai pencapaian yang mengagumkan.

Jumat, 13 Desember 2019 | 19:32 WIB
0
331
SKB 11 Menteri, Upaya Cegah Radikalisme di Kalangan ASN
Ilustrasi PNS (Foto: Harian Nasional)

Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri merupakan pedoman untuk mencegah Aparatur Sipil Negara (ASN) terpapar radikalisme dan bukan kebijakan Islamophobia. Politisasi SKB 11 Menteri yang dikaitkan dengan Islamophobia merupakan cara berpikir sempit dan menganggap remeh ancaman nyata paham anti Pancasila. 

Rencana penerapan Surat Keterangan Bersama (SKB) 11 menteri tengah menuai kontroversi. Ada pihak-pihak yang menuduh keputusan ini ialah wujud dari Islamophobia. Lalu apa itu Islamophobia?

Islamophobia secara singkat dapat diartikan sebagai bentuk ketakutan terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan Islam. Bisa dikatakan Islamophobia ini adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir yang kuat tentang Islam bahkan bisa disebut dengan mengada-ada.

Mereka yang berpaham Islamophobia biasanya adalah mereka yang telah memiliki persepsi salah tentang muslim, ber-prasangka buruk kepadanya, serta menyatakan bahwa Islam adalah agama yang penuh kebencian, intoleran, kekerasan dan membatasi umatnya dengan segala larangan-larangan.

Menurut Cendekiawan Muslim Prof Komaruddin Hidayat, akar dari Islamophobia ini berasal dari perbedaan teologi atau keyakinan beragama. Antara Islam dan agama lain jelas berbeda teologinya bukan? Termasuk, perbedaan kemajuan dari segi teknologi.

Opini umum menyatakan bahwa Islam adalah agama perusak yang penuh dengan kekerasan ini awalnya digelontorkan oleh Barat agar masyarakat dunia tidak mengenal Islam apalagi memeluknya. Kebencian mereka akan Islam makin terlihat dengan usaha dan kerja keras sehingga membentuk sebuah tata dunia baru yang menjadikan Islam sebagai agama yang harus dihindari, ditinggalkan, bahkan kalau perlu dilarang baik secara pengenaan atribut, pelaksanaan ibadahnya, dan yang paling penting adalah jangan sampai hukum Islam yang adil dan bijaksana mewarnai suatu negara.

Islamophobia ini makin diperkuat dengan kejadian-kejadian teror. Pelakunya ditengarai merupakan kelompok Islam radikal dari negara-negara yang memiki basis penganut Islam cukup besar di dunia, Misalnya saja, Bom bunuh diri di Inggris, Bom Bunuh diri di Spanyol, tragedi WTC di Amerika, dan juga sederet insiden lain yang membuat publik melabeli Islam adalah agama terorisme.

Pemahaman ini tentunya sangat salah dan cukup disayangkan. Mengingat SKB 11 menteri ini lahir dari keprihatinan pemerintah kala melihat penyebaran radikalisme yang kian mengkhawatirkan. Khususnya di lingkungan ASN (Aparatur Sipil Negara). ASN yang tak hanya berfungsi sebagai pelayan masyarakat namun juga berperan dalam mewujudkan ketatanegaraan secara sehat. Jika ASN-nya saja terpapar radikalisme bagaimana orang-orang yang bersinggungan dengan ASN ini?

Sebagai contoh; guru adalah anggota ASN, katakanlah guru ini terpapar radikalisme dan mengajar bibit-bibit generasi bangsa, bukankah nantinya akan menimbulkan kekhawatiran? Kemungkinan paham-paham radikal yang dianutnya akan disalurkan kepada anak-anak didiknya.

Entah secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Sehingga wajar saja suatu negara menindaklanjuti kasus ini dengan menerbitkan SKB 11 menteri. Pemberlakuan ini bukanlah tanpa alasan, yakni salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap ASN atas radikalisme yang dinilai telah mengancam integritas nasional.

Penerapan SKB 11 menteri ini ditengarai memiliki 11 butir, yang intinya ialah pelarangan atas berbagai tindakan berbau radikalisme seperti, ujaran kebencian, hoax, penyebaran meme yang tidak mendidik melalui media sosial. Sanksi akan diberlakukan bagi pengunggah konten termasuk orang-orang yang berdiskusi dalam percakapan tersebut yang mana memberikan kontribusinya dengan cara klik like, dislike, share, retweet, broadcast dan sebagainya.

Hal ini merupakan sebuah kebijakan baru yang harus dipahami betul-betul. Jika dilihat dari pengalaman, kebanyakan masyarakat selalu meneruskan berita-berita yang belum tentu kebenarannya.

Akibatnya, konten yang disajikan menjadi simpang siur dan membingungkan. Maka dari itu, pemerintah secara tegas ingin menekan aktivitas yang merugikan ini melalui aturan SKB 11 Menteri. Namun, jika ada yang menganggap bahwa SKB 11 Menteri ini Islamophobia adalah salah besar! Karena membenturkan keagamaan dengan pemerintah tidaklah dibenarkan.

Tak menampik peranan dunia digitalisasi ini membuat penggunanya menjadi ketagihan. Pengakuan akan esksitensi serta diikuti sebagai tren dinilai sebagai pencapaian yang mengagumkan. Padahal, ancaman negatif berupa paparan radikalisme yang terus menggeliat melalui media sosial ini tidak mereka sadari. Beragam ujaran kebencian, hoax hingga meme yang tidak mendidik seolah menjadi suatu hal yang biasa. Bahkan, mereka menganggapnya bahan lucu-lucuan saja.

Padahal aktivitas ini dapat memicu permasalahan lain yang lebih luas. Menjadikan penggunanya bersifat lebih ekstrim, benar sendiri, hingga menunjukkan perilaku menyimpang. Pemberlakuan SKB 11 menteri ini khusus ditujukan negara untuk melindungi seluruh warganya dari paparan radikalisme yang kian menguat ditengah perkembangan zaman 4.0 yang makin mengkhawatirkan.

***