Deradikalisasi dengan Cara Radikal

Secara simbolis, rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo, adalah untuk membangun Persatuan dan kesatuan bangsa.

Minggu, 3 November 2019 | 18:44 WIB
0
361
Deradikalisasi dengan Cara Radikal
Foto: Jatengtoday.com

Tidak Salah kalau masyarakat diberikan pemahaman apa itu radikalisme dan bahayanya radikalisme. Jadi tidak ujug-ujug pemerintah bertindak melalui  komponennya di kabinet, lantas menarasikan radikalisme secara tidak tepat.

Bayangkan kalau tiba-tiba Menko Polhukam, Menhan, Mendagri, Mendikbud, serta Menag serentak dengan narasi yang sama memerangi radikalisme, seperti apa gaduhnya negara ini.

Padahal rekonsiliasi politik yang baru saja dilakukan paskapemilu, adalah untuk menciptakan kondusifitas keadaan dari keriuhan berbagai perbedaan pilihan. Kalau tiba-tiba kembali gaduh atas dasar deradikalisasi, itu artinya pemerintah sendiri sudah melakukan tindakan yang radikal.

Visi deradikalisasi itu harus jelas, begitu juga implementasinya. Deradikalisasi itu tidak bisa diselesaikan dengan cara yang juga radikal. Boleh saja pemerintah menjadikan memberantas radikalisme sebagai prioritas, namun tidak serta merta semua bergerak dengan pola dan cara masing-masing.

Deradikalisasi harus diformulasikan sebagai sebuah gerakan persuasif, melalui pendekatan lewat mediator penceramah, untuk men-counter ceramah-ceramah yang ekstrim ditempat peribadatan, dan itu bukan cuma tempat peribadatan umat muslim.

Radikalisme itu tidak melekat cuma pada umat muslim, penceramah non muslim pun ada juga ekstrim. Membendung ruang gerak ekstrimis agama dengan masuk pada kantong-kantong peribadatan yang sudah terlebih dahulu diindikasikan radikal, adalah bentuk upaya persuasif.

Persoalan ini sangatlah sensitif, jangan sampai pemerintah malah blunder kalau salah dalam strategi. Lihat saja pernyataan Menag, Fahrul Razi yang begitu frontal, tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang, seketika langsung menjadi polemik.

Pernyataan Menag itu sendiri tergolong ekstrim dan radikal, mudah dipelintir dan digunakan pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan pemerintah. Kalau sampai apa yang dikatakan pak Menteri tersebut menjadi biang keributan, maka Pemerintah blunder dalam menyikapi radikalisme.

Sebagai Mantan prajurit TNI, seharusnya Menag sudah memetakan seperti apa kelompok yang akan dihadapi. Tegas itu dalam tindakan, tapi bukan keras dalam pelaksanaannya.

Setiap kementerian yang mempunyai tugas memerangi radikalisme, pastinya sudah punya Pola dan program yang akan dilaksanakan. Masing-masing kementerian tentunya punya pola yang berbeda dalam memerangi radikalisme, sesuai dengan standar operasional prosedur masing-masing.

Yang jelas, pemerintah harus melibatkan Ormas agama terbesar di negara ini, seperti NU dan Muhamadyah. Dua Ormas ini tentunya juga punya pandangan dan cara sendiri untuk memerangi radikalisme.

Kesetiaan dan Komitmen Ormas

Komitmen ormas terhadap Pemberantasan radikalisme ini juga patut dipertanyakan, karena kalau melihat kondisi akhir-akhir ini, NU malah ingin berangkulan dengan FPI, yang nota bene dianggap sebagai bagian dari kelompok radikalis.

Inikan bisa menjadi sesuatu hal yang mengganjal, karena selama ini publik tahu kalau NU tidaklah seperti itu, kenapa tiba-tiba balik badan dan malah ingin berangkulan dengan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah.

Apakah Muhamadyah sendiri juga akan mengikuti jejak NU.? Rasanya tidak ada alasan bagi Muhamadyah untuk bersikap seperti itu. Dua Ormas besar ini harus tetap berkomitmen dan setia disamping pemerintah, kalau tidak maka upaya Pemerintah memerangi radikalisme akan sia-sia.

Presiden Jokowi perlu menstabilkan kembali hubungan Pemerintah dengan kedua Ormas tersebut. Kalau ada ganjalan politik yang menyebabkan NU balik Badan, sebaiknya diselesaikan segera, karena biar bagaimanpun NU adalah pendukung Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres yang lalu.

Begitu juga kalau ada ganjalan secara politik dengan Muhamadyah, yang kemungkinan besar tidak terakomodirnya Muhamadyah secara maksimal di Kabinet, sehingga ikut-ikutan NU balik badan.

Secara simbolis, rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Prabowo, adalah untuk membangun Persatuan dan kesatuan bangsa. Harusnya, ini pun sebagai titik awal dari perbaikan Persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa, termasuk juga NU dan Muhamadyah.

***