Sia-sia Cari Simpati di Ijtima Ulama 4

Prabowo tidak ada dendam dengan Jokowi, ia dan para anggota partai Gerindra juga sudah merasa legowo atas kemenangan Jokowi, dan telah bersiap ambil peran sebagai oposisi.

Selasa, 23 Juli 2019 | 15:59 WIB
0
801
Sia-sia Cari Simpati di Ijtima Ulama 4
Novel Bamukmin (Foto: Inisiatifnews.com)

Euforia pertemuan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo di MRT masih terngiang di kepala masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, keduanya seakan bertemu seperti seorang sahabat lama, keduanya tersenyum dan keduanya pun berujar bahwa saat ini tidak ada cebong atau kampret. 

Pernyataan tersebut tentu cukup menyejukkan telinga masyarakat Indonesia yang menginginkan perdamaian di antara keduanya. Namun permasalahan pasca rekonsiliasi ternyata juga muncul dari beberapa simpatisan pendukung Prabowo, yakni PA 212 yang menganggap bahwa pertemuan Prabowo dengan Jokowi dinilai kurang beradab.

Baca Juga: Inginkan Khilafah di Indonesia, PA 212 Perlu Diwaspadai

Juru Bicara PA 212 Novel Bakmumin, secara tegas menyatakan menolak rekonsiliasi tersebut. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya tidak lagi berkomunikasi dengan Prabowo sejak 28 Juni lalu, selepas putusan sengketa pemilihan presiden oleh Mahkamah Konstitusi.

Bahkan Novel juga menyatakan, ada kemungkinan Prabowo mendapatkan masukan dari pihak–pihak yang semestinya tidak didengarkan.

Pernyataan itu hanyalah kemungkinan, namun jika kemungkinan itu benar, tentu ada semacam cacat logika jika pertemuan antara Prabowo dan Jokowi dianggap kurang beradab, lagian tujuan pertemuan itu karena keduanya adalah teman karib, rivalitas keduanya hanya berada di panggung panggung politik, di luar itu keduanya tetap berteman dan berkomunikasi dengan baik.

Jika perbuatan Prabowo dianggap kurang beradab oleh PA 212, lantas apakah dengan terus menunda rekonsiliasi merupakan sesuatu yang beradab, apakah dengan menebar kebencian dan fitnah merupakan sesuatu yang beradab, apakah pemeliharaan cebong dan kampret juga sesuatu yang beradab?

Dalam hal ini PA 212 merasa kecewa akan kedamaian antara kedua mantan capres yang bertarung. Hal ini tentu menjadi dasar yang kuat bagi masyarakat Indonesia untuk menolak adanya Ijtima Ulama 4, karena seluruh drama pilpres telah berakhir happy ending.

PR terbesar Indonesia pasca pemilu adalah merajut persatuan antarmasyarkat yang sempat terbelah, tak ada lagi perdebatan antara 01 dan 02 di tempat kerja ataupun di lingkungan masyarakat, semua kembali bekerja sesuai dengan keilmuannya masing–masing.

Hal ini menunjukkan bahwa Prabowo berada dalam 2 sisi yang sama–sama beresiko, pertama jika ia tak kunjung bertemu dengan Jokowi, maka dia akan dianggap sebagai sosok yang tidak legowo dan tidak cinta damai, namun ketika ia merajut kedamaian di MRT, suara–suara seperti goodbye Prabowo juga cukup santer di media.

Namun tentu mereka berdua harus mengedepankan kepentingan bangsa terlebih dahulu, pertemuan keduanya di MRT menunjukkan bahwa keduanya senantiasa melupakan gengsi politisnya, kalau pertemuan tersebut dilaksanakan di Istana negara, tentu jagat media sosial akan semakin geger dan akan memunculkan berita–berita yang semakin brutal.

Ijtima 4 bisa juga disebutkan sebagai bentuk ungkapan ekspresi dari pengusung yang merasa tidak sreg dengan junjungannya, mungkin nantinya dalam acara tersebut tidak hanya membahas perihal sikap para ulama yang mendukung 02 saja, melainkan juga membahas terkait habib rizieq yang tak pulang–pulang.

Oleh karena itu, Ijtima Ulama 4 tak perlu menjadi prioritas untuk dipikirkan, apalagi jika mereka memiliki rencana untuk menerapkan khilafah di Indonesia. Dengan menolak Khilafah bukan berarti masyarakat muslim di Indonesia menjadi auto kafir, karena memang khilafah tidak cocok diterapkan di negara yang bhineka seperti Indonesia.

Saat ini kita tentu bisa berasumsi bahwa Prabowo tidak ada dendam dengan Jokowi, ia dan para anggota partai Gerindra juga sudah merasa legowo atas kemenangan Jokowi, dan telah bersiap ambil peran sebagai oposisi. Bagaimanapun juga oposisi tentu dirasa penting agar pemerintahan berjalan seimbang.

Tuduhan pemilu curang ternyata tidak berhasil membuat MK menggeser kemenangan untuk Prabowo, jika memang PA 212 masih meyakini pemilu curang, tentu hal tersebut sudah terlambat, segala upaya BPN sudah dikerahkan untuk menggugat hasil KPU. 

***