Pemimpin memang dilahirkan oleh rakyat. Jika rakyat berubah baik, semoga melahirkan pemimpin yang lebih baik lagi. Pemimpin yang tidak baperan.
Ketika masyarakat Jepang tergila pada segala jenis fast-food, serapan produksi beras mereka macet. Itu memunculkan problem. Pemerintah sebagai pemegang regulasi, mengambil keputusan (sesuai posisi secara politik sebagai eksekutif, yakni mengeksekusi), membuat aturan anak-anak sekolah wajib sarapan nasi.
Dengan tingkat kedisiplinan masyarakat (bukan hanya faktor keterdidikan melainkan juga aturan hukum yang dijalankan secara persisten oleh Pemerintah), para orangtua Jepang yang mempunayi anak sekolah, mau tak mau menyiapkan sarapan anaknya dengan nasi. Sebagai warga negara dengan kultur hemat (sederhana dan apa perlunya), orangtua pun ‘mau tak mau’ ikut sarapan nasi (yang mereka olah sendiri). Hasilnya, serapan beras nasional kembali normal.
Seorang sosiolog Jepang pernah berkata; Kedisiplinan masyarakat bisa dilihat bagaimana mereka ketika berada di jalan umum. Dari sana kita melihat, orang Jepang berkendara atau berlalu-lintas di jalan raya. Dalam time-lapse film dokumenter Baraka, kita bisa melihat semacam permainan puzzle antara penyeberang jalan dan laju kendaraan. Mekanis. Meski ramai, tetapi tidak terjadi kemacetan atau kekacauan.
Orang Jepang, naik escalator atau tangga berjalan, selalu berdiri di sisi kiri. Membiarkan ruang kosong di sebelah kanannya. Jika berombongan, semuanya akan berada di posisi kiri secara berurutan. Tidak bergerombol memenuhi area. Ruangan kosong di kanan, untuk memberi jalan bagi yang tak sabar atau karna diburu waktu.
Tak ada yang makbedunduk. Semuanya by process. Dari sejak kanak-kanak. Di sekolah mereka diajari praksis berkendaraan dengan aturan-aturan lalu-lintas. Budaya shitsuke (disiplin) adalah pelajaran wajib. Untuk menumbuhkan kreativitas dan produktivitas, dimunculkan karakter kartun seperti Dora Emon dengan kantong ajaibnya. Siap melayani apapun permintaan kita. Tidak ada jawaban, “Wah, lagi kosong je. Ndak ada barangnya. Situ telat sih, tadi ada.”
Singapura sekarang, aturan bersama menjadi agama sosial (social religion). Juga tidak mak-bedunduk. Lee Kuan Yew awalnya juga menghadapi resistensi masyarakatnya. Tetapi ia persisten dengan doktrinnya, “Saya yang memimpin, saya yang mengatur’. Hingga agama hanya ada di ruang private.
Negara bisa memenjarakan sesiapa yang jualan agama di ruang publik. Masyarakatnya patuh, karena pemerintah tegas menegakkan aturan. Tak ada kompromi, apalagi karena tekanan majoritas, atau mban cindhe mban siladan. Diskriminasi karena nganu tertentu.
Namun itu hanya bisa tumbuh dari kepemimpinan yang bukan berdasar pathos belaka (yang menjadi pilihan kebanyakan politikus kita hari ini). Membayangkan diri punya kapasitas pemimpin, hanya karena kedekatan etnis, agama, budaya, ataupun kesamaan ideologi. Tanpa ethos dan logos, pemimpin seperti itu hanya memunculkan fanatisme buta. Menjadi tidak proporsional. Kritik tak dimungkinkan dalam situasi itu. Apalagi jika sudah ewuh-pakewuh. Sungkanisme.
Pentingnya ethos dan logos, agar demokrasi tak mendidik pemimpin menjadi otoriter. Atau kepemimpinan yang transaksional. Pemimpin yang memiliki ethos ialah yang dapat dipercaya. Apa yang diucapkan berdasar fakta dan kebenaran. Terdapat tata nilai yang dijunjung tinggi.
Logos, pemimpin mempengaruhi orang lain dengan menyampaikan sesuatu yang masuk akal. Bukan dengan membual atau berkhayal, atau apalagi membangun narasi pesimistis. Pemimpin seperti itu (tanpa logos), hanya memberikan mimpi kosong. Meninabobokan masyarakat, hingga frustrasi sosial yang melahirkan apatisme politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemimpin memang dilahirkan oleh rakyat. Jika rakyat berubah baik, semoga melahirkan pemimpin yang lebih baik lagi. Pemimpin yang tidak baperan. Menurut Bu Tejo dalam film ‘Tilik’; “Sing solutip ngono lho, Yu!
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews