Saya tersenyum ketika pemain sepakbola bersiap menendang dalam adu pinalti PSM dan Persija. Sekawanan penonton meneriakkan Allahu Akbar. Masing-masing pendukung kesebelasan, adu kuat meneriakkan dukungan.
Di meja sebelahnya, penggemar lain membaca shalawat berulang-ulang. Lalu, ketika PSM menelan kekalahan, semuanya bersiap pulang. Setelah mengetikkan status di facebook. Atau setakat memberikan komentar pada media sosial soal kekalahan PSM malam ini.
Termasuk mengetikkan kalimat-kalimat di grup pesan singkat, whatsup.
Walau secara khusus, tidak menanti tayangan sepakbola. Namun ketika piala dunia sepakbola berlangsung di Asia, semasa itu Jepang dan Korea Selatan, saya menikmatinya dengan nyaman.
Tanpa perlu begadang. Termasuk adanya hiburan ketika Korea Selatan mengalahkan Italia. Semasa berkunjung ke Korea Selatan, saya mampir di stadion tersebut, Daejon. Sekadar melihat bahwa dalam sepakbola, sebatas permainan belaka. Juga menyerap atmosfer bahwa dalam sepakbola ada saja faktor tidak diperhitungkan, namun tetap bisa memenangkan permainan.
Tak ada status mantan juara dunia. Memiliki penggemar liga di seluruh dunia. Bahkan sering mengisi daftar senarai pemain dengan biaya yang mahal.
Namun itu bukan sebuah status yang tak tertaklukkan. Justru Korea Selatan, bisa mengalahkan kesebelasan itu. Sekalipun dengan status yang tersematkan tadi.
Dalam sepakbola, bukan pula soal kedamaian sebuah negara. Dalam piala Asia 2007, Irak menjadi kampiunnya. Walau dilanda pertengkaran internal setelah penggulingan Saddam Husain. Mereka memiliki kemampuan untuk merengkuh piala sebagai tim terbaik di Asia.
Secara teologis, Tuhan tidak akan pernah ikut dalam permainan sepak bola. Ganjaran bagi pemenang ditentukan oleh banyak faktor. Bukan dengan memberi kemenangan begitu saja.
Maka, istilah gol tangan tuhan hanya menandai momentum dimana sesungguhnya Maradona sendiri tidak pernah menyangka itu akan menjadi gol. Istilah itupun tercipta, bahwa sisanya setelah usaha, ada kuasa Tuhan disana, begitu ucap Maradona.
Hanya karena kuasa Tuhanlah sehingga tercipta menjadi gol. Bagi pendukung Argentina, itu sebuah keuntungan. Sementara bagi pencinta Inggris, itu merupakan kecurangan.
Lagi-lagi, pendapat akan ditentukan dimana posisi berdiri.
Dalam permainan yang sama, gol berikutnya yang dicetak Maradona memberikan pesan bahwa kemampuannya membukukan gol, selalu saja ajaib.
Melewati empat pemain Inggris, kemudian menjebloskan bola itu dan membawa kemenangan Argentina atas Inggris.
Piala dunia sepak bola ketika itu menjadi kesan tersendiri. Dimana kampung kelahiran saya, Camba, Maros. Satu-satuya televisi ada di stasiun relay di atas bukit, Lappapai. Untuk menontonnya, harus ikut kepada keluarga atau kakak kelas. Ketika itu, saya masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Bagi penggemar sepakbola, acapkali pula menyangkutkan dengan Dewi Fortuna. Bahwa itu sebuah keberuntungan semata untuk menenangkan pertandingan sepak bola.
Bukan saja sola sepakbola sesungguhnya tetapi ada aroma lain yang mengiringinya. Pertandingan sepakbola Inggris-Argentina pada piala dunia 1986, sebelumnya diwarnai dengan perang Malvinas.
Bagi pencinta Argentina di kampung saya kemudian menamakan tim sepakbolanya dengan nama pulau yang diperebutkan itu.
Kadang perterkaran yang terjadi di luar lapangan sepakbola menghangatkan suasana pertandingan. Diantara kejadian itu, atmosfer Malvinas memengaruhi pertemuan kedua kesebelasan.
Memang, sepakbola hanya 90 menit saja untuk tempo permainan. Namun, keriuhan baik sebelum ataupun setelahnya itulah yang berkepanjangan. Sehingga “pertengkaran” ataupun “adu-emosi” yang menjadi warna-warni sepakbola.
Sementara itu, soal keberadaan Tuhan, terlebih lagi dewi Fortuna. Semata-mata soal keriuhan itu saja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews