Hegemoni Oligarkis

Mereka menggiring netizen untuk berceloteh saling kecam pada isu parsial saja agar tidak fokus pada strategi meloloskan grand designnya.

Sabtu, 21 September 2019 | 21:57 WIB
0
543
Hegemoni Oligarkis
Ilustrasi kekuasaan (Foto: Kiblat.net)

Mudah-mudahan publik jelas bahwa revisi UU KPK merupakan bagian dari desain kekuatan oligarki politik yang mencoba melakukan hegemoni pemerintahan Jokowi jilid 2. Bagi mereka, menghambat gerak lincah KPK mengejar kompradornya yang rampok uang negara sudahlah cukup.

Seraya berharap uji materi atas UU itu bisa menang di MK, publik mesti memantau siapa yang duduk di Dewan Pengawas. Apakah yang nanti duduk adalah orang-orang mereka atau figur yang diinginkan publik. Dan apakah KPK makin hebat atau makin tumpul memberantas korupsi.

Publik juga mesti memantau bagaimana kadal medsos yang menjadi buzzer mendukung revisi UU KPK menyebarkan postingan mereka. Berpijak pada masifnya isu Taliban yang disebarkan terstruktur, sistematis dan masif, maka sangat bisa jadi pola yang sama akan dipakai ketika pemilihan Dewan Pengawas dilakukan.

Tidak berhenti disitu saja.

Agenda menguasai titik penting hajat hidup orang banyak kini sedang diincar oleh para oligarkis tadi.

Pelemahan KPK menjadi pintu masuk mereka menjarah negeri ini melalui pintu-pintu lain. RUU Pertanahan misalnya bisa menjadi pintu masuk para perampok negara memenjarakan warganya yang menolak rumahnya digusur. Bank Tanah Pemerintah dalam RUU menjadi pintu masuk bagi pengusaha menguasai lahan dan meniadakan hak adat untuk kepentingan mereka.

Jika RUU Pertanahan lolos maka RUU Minerba bakal mendapat penguatan karena monopoli batubara mendapat penguatan.

Jika RUU Ketenagakerjaan diloloskan, upah minimum tidak disesuaikan setiap tahun dan PHK dipermudah.

Perubahan drastis ini akan terjadi sampai berakhirnya bulan September. Jika berbagai pihak tidak menolak RUU itu. Dan lebih percaya pada postingan kadal medsos yang menjadi bagian buzzer para oligarkis.

Euphoria ditundanya RUU KUHP hanyalah jeda untuk membuat orang lengah. Histeria tumbangnya Taliban dan Tempo hanyalah sisi tabir yang menyembunyikan para pelaku oligarkis menggangsir kekayaan negara ini.

Di tengah kelengahan dan histeria publik ini, mereka berharap aneka RUU kontroversial itu bisa diloloskan tanpa perlawanan. Dengan asumsi, masyarakat kelelahan dan bosan dengan perdebatan yang memanfaatkan isu radikalisme di KPK dan RUU KUHP.

Jika perlawanan masih kuat, para oligarkis memanfaatkan ketakutan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Dan memakai Presiden Jokowi sebagai tameng agar bisa berlindung dari sorotan publik. Mereka berusaha mendorong Presiden Jokowi ke tengah untuk menyetujui atau menolak rancangan yang mereka coba hidangkan.

Mereka akan melihat arah angin di media sosial untuk mempengaruhi persepsi publik. Bagaimana penolakan dan penerimaannya. Apa saja isu yang dapat dimainkan agar bisa diviralkan oleh para kadal medsos agar kepentingannya bisa lolos.

Mereka menggiring netizen untuk berceloteh saling kecam pada isu parsial saja agar tidak fokus pada strategi meloloskan grand designnya.

Mereka menggiring netizen untuk tidak mempercayai media mainstream dan beralih pada postingan viral para buzzer mereka.

Dan masifnya para buzzer meloloskan UU KPK akan berulang kembali dengan menerapkan pola semburan kebohongan ( firehose of falsehood) lewat multichannel, baik di media sosial dan di alam nyata.

Teknik ini juga akan dipakai berkali-kali pada aneka isu yang dinilai menghambat gerak mereka. Dengan menunggangi serta memainkan aneka isu yang bisa menggerakkan sentimen kebencian masyarakat , utamanya radikalisme dan anti Jokowi.

Mereka tidak akan berhenti sampai berhasil melakukan hegemoni atas pemerintahan Jokowi. Ukurannya adalah ketika mereka berhasil menempatkan Presiden Jokowi dalam posisi ini. Apakah dia dicaci atau dipuji, menjadi korban atau pahlawan. Mereka tidak perdulikan.

Apapun yang dialami Jokowi posisi mereka tetap diuntungkan. Karena bisnis tetap mulus berjalan. Itu titik lemah yang tidak kita sadari. Karena dalam ber media sosial kita lebih mengandalkan emosi...

***