Korupsi Bukan Perkara Kecilnya Gaji

Selasa, 22 Januari 2019 | 06:28 WIB
0
431
Korupsi Bukan Perkara Kecilnya Gaji
Ilustrasi gaji (Foto: Berempat.com)

Debat perdana Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Kamis (17/01/2019) kemarin masih terasa hangat, bahkan perdebatan mulai mengemuka di ruang-ruang publik, termasuk media sosial. Debat yang membahas 4 topik besar yakni Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme ini, menjadi tema krusial yang memang selalu disebut-sebut sebagai isu besar bangsa ini.

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas jalan keluar persoalan korupsi yang ditawarkan Prabowo. Meski dalam teks yang bisa kita baca, visi-misi kedua calon cukup bagus, namun dalam perdebatan kemarin, saya melihat Prabowo malah agak membingungkan ketika selalu menekankan jalan keluar persoalan korupsi hanya dengan uang, bahkan memberikan contoh seperti gaji gubernur yang kecil, diumpakan Gubernur Provinsi Jawa Tengah yang ujung-ujungnya malah salah data soal luas wilayah Jateng vs Malaysia.

"Kita harus cukup uang untuk menjamin kualitas hidup semua petugas yang punya wewenang mengambil keputusan sehingga dia tidak bisa dikorupsi. Tia tidak bisa tergoda oleh godaan-godaan koruptor atau yang akan menyogok dan akan mempengaruhi dia. Menurut kami, kita harus gaji hakim kita begitu hebat sehingga dia tidak akan terpengaruh, demikian jaksa, demikian polisi. Untuk itu kita harus menguasai sumber-sumber ekonomi bangsa Indonesia." Uang Prabowo saat debat kemarin.

Apakah paparan Prabowo ini benar? Sebenarnya, dalam banyak kasus korupsi, ini bukan persoalan kecilnya penghasilan pegawai negeri, birokrat, atau siapapun itu, tapi lebih pada persoalan "kesalehan" mereka sebagai orang yang diamanahkan tugas dan jabatan.

Sebaliknya, malahan, paparan Jokowi dinilai cukup menohok dan tepat sasaran, seperti gaji ASN yang dianggap sudah cukup dengan tambahan tunjangan kerja yang cukup besar, dan justru yang harus diperhatikan adalah perampingan birokrasi dan merekrut putra-putri terbaik sebagai aparatur negara sesuai dengan prestasi dan rekam jejak mereka.

Kalau mengikuti logika Prabowo yang menyatakan bahwa dikhawatirkan apabila gaji yang kecil akan menjadi akar masalah korupsi. Maka, ini jelas bisa dinyatakan logika berpikir yang kurang pas, karena banyak pejabat di negeri ini yang bergelimang harta dan berpenghasilan besar namun tetap masih korupsi.

Lagi pula, seharusnya menjadi aparatur negara adalah persoalan mengabdi untuk bangsa, bukan perkara uang. Seperti kata John F Kennedy. "Jangan tanyakan apa yang akan negara berikan untukmu tapi tanyakan apa yang kau berikan untuk negaramu".

Kalaulah persoalan uang menjadi akar korupsi, maka seharusnya orang seperti Emirsyah Satar tidak akan korupsi, sebab gajinya tembus 138 juta per bulan selama menjadi Dirut Garuda Indonesia, Patrialis Akbar sang mantan Hakim MK juga takkan korupsi karena gajinya 78 juta perbulan, ada juga mantan Ketua MK Akil Mochtar dengan gaji 121 juta perbulan tidak seharusnya menerima gratifikasi, dan satu lagi aktor koruptor yang dulu menghebohkan seindonesia dengan kasus tabrak tiang listrik dan "drama" lainnya yaitu mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang mengantongi 60 juta perbulan.

Kalau melihat segelintir kasus di atas, rasanya kok miris. Ini bukan persoalan kecilnya gaji tetapi buruknya mental pejabat dan jauhnya mereka dari praktik astektisme hidup atau asketisme politik bagi para politisi. Khusus untuk para politisi, sebagai jalan tengah, tawaran saya adalah menumbuhkan sikap asketis, termasuk asketisme politik bila melihat kondisi politik kekinian.

Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme sebagai upaya menjalankan aktivitas berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.

Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, kesalehan mengampu jabatan dan tanggung jawab, baik di tingkat pribadi maupun institusional.

Begitupun bagi para pejabat negara, prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak adalah suatu keharusan dan kesadaran diri. Cara taktisnya adalah tidak mengedepankan kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kerja para pejabat dan aparatur negara tak boleh lagi terjebak dalam kubangan MCM alias money-commodity-and more money. Kalau orientasi dan ketakutan dalam bekerja berpusat pada uang, maka lambat laun akan  berubah menjadi satu-satunya godaan yang tak bisa lagi ditolak.

Bangsa ini akan hancur bukan karena uang tapi mental dan sikap para pejabat yang mata duitan, yang saban waktu bekerja menyuburkan satu kejahatan laten bernama korupsi.

Sudah saatnya, berbicara mutu dan kualitas kerja itu, baik dalam hajat hidup politik maupun pekerjaan para aparatur negara, haruslah menyentuh hal substansial yakni lebih dari sekadar merasa kekurangan dan tamak uang, melainkan pengabdian. Hidup memang butuh uang, tapi tujuan kesejatian hidup ini bukan untuk mendapatkan uang. Begitupun dalam politik yang memang butuh uang secara operasional, tapi bukan politik uang.

***