Pilkada serentak yang akan diselenggarakan tanggal 9 desember 2020 sangat rawan akan politisasi bantuan sosial. Sudah ditemukan beras yang dibungkus dalam plastik bergambar kepala daerah yang akan maju lagi dalam pilkada 2020. Banwaslu menyemprit dan mengingatkan agar hal ini jangan sampai terulang lagi.
Di saat pandemi covid-19, bansos alias bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun daerah, sangat membantu rakyat untuk bertahan hidup. Mereka senang karena mendapat paket berupa 5 kg beras dan sembako lain. Terlebih, bansos ini rencananya tidak hanya diberikan hanya sekali, namun bulan depannya ada lagi. Semua ini dilakukan karena banyak orang miskin baru karena efek domino dari pandemi corona.
Sayangnya paket bantuan sosial ini kemudian diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Di beberapa daerah seperti Lampung, Bengkulu, Klaten, dan beberapa kota di Sumatera Utara, ditemukan bansos berisi beras yang dikemas dalam plastik dan ada sablonan bergambar kepala daerah. Rata-rata mereka adalah petahana dan tujuan dari pemberian gambar di paket bansos ini adalah mempromosikan diri, agar terpilih lagi di pilkada serentak, 9 desember 2020.
Modus lain dalam politisasi bansos adalah memberikan label simbol politik alias logo partai di sablonan plastik pembungkus sembako atau tas bansos. Jadi masyarakat hafal dan memilih partai tersebut di pilkada. Ada pula paket bansos yang diberikan langsung ke rumah dengan embel-embel pemberian pribadi dari calon walikota atau bupati, padahal itu adalah bantuan dari pemerintah daerah.
Kejadian seperti ini membuat Badan Pengawas Pemilu berang. Mereka sudah mengawasi keadaan di kota-kota di Indonesia, agar tidak ada lagi politisasi bantuan sosial seperti ini. Hal ini merajuk pada Undang-Undang pasal 76 ayat 1, bunyinya adalah: kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Anggota Banwaslu, Fritz Siregar, menegaskan bahwa kepala daerah yang melakukan politisasi bansos bisa dicopot dari jabatannya. Di dalam Undang-Undang pasal 78 ayat 2, kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diberhentikan, jika melanggar UU pasal 76 ayat 1 tersebut. Jadi jika ia nekat membungkus paket bantuan sosial dengan plastik bergambar wajahnya atau partainya, bisa di-impeach. Ini adalah sebuah hukuman yang tidak main-main. Jadi jangan sampai ada kejadian seperti ini di masa yang akan datang.
Mengapa hukumannya sampai segitu beratnya? Karena politisasi bansos adalah tindakan yang tidak beretika. Ketika ada bantuan sosial dari presiden atau pemerintah daerah, tapi malah diakui sebagai bantuan pribadi. Begitu juga jika ada kepala daerah yang ketahuan menggunakan dana APBD untuk menggelontorkan bantuan sosial, tapi diatasnamakan pribadi. Bisa ditindak Banwaslu dengan keras dan jabatannya terancam.
Pilkada serentak jadwalnya diundur dari 23 september ke 9 desember 2020. Jadi jadwal kampanye di 270 daerah pun mundur. Ketika ada kasus bansos yang ternyata bergambar seorang kepala daerah, sayangnya belum bisa ditindak tegas karena belum masuk masa kampanye. Namun ketika ada kejadian seperti ini, masyarakat diminta untuk melaporkannya ke Banwaslu agar bisa bersiap-siap sehingga jika sudah masa kampanye akan menegurnya dengan keras.
Ketika ada politisasi bantuan sosial berupa bungkus paket diganti dengan plastik bergambar kepala daerah atau logo partai, atau diakui sebagai bansos pribadi, maka sudah melanggar Undang-Undang. Kepala daerah yang melakukannya bisa dikenai hukuman keras. Banwaslu mengawasi keadaan ini jelang pilkada serentak, karena sangat rawan untuk terulang, terutama di desa-desa kecil. Masyarakat diharap turut mengawasi proses pemberian bansos agar tidak ada lagi politisasi yang mengiringinya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews