Terkait Rocky Gerung, meski sebenarnya kalah, bersuara dengan berbagai narasi adalah upaya mempertahankan eksistensi. "Aku ngeyel maka aku ada".
Belum lama lalu, setelah memarahi Mendagri Tito Karnavian (dituding bikin hoax karena mengatakan Jakarta seperti kampung), Rocky Gerung, di program televisi juga, lagi-lagi menuding pejabat negara tidak mutu.
Tak tanggung-tanggung, yang ditudingnya kini adalah Presiden Republik Indonesia. Menurut RG, Jokowi juga tidak mengerti Pancasila, karena melakukan ini dan itu.
Beruntung, RG tak tinggal di Cina. Meski pun tentu juga di Indonesia ia tetap beruntung, karena presidennya adalah Jokowi. Kita tidak tahu jika dipegang SBY, atau Megawati, apalagi Soeharto.
Di Cina, jika rakyatnya berani 'ngomongin' Presiden mereka, apalagi dalam pengertian negatif, pasti jadi persoalan hukum. Kenapa? Karena setuju atau tak setuju dengan pilihan presiden, marwah negara menjadi persoalan nomor satu. Hal itu berkait konsolidasi bangsa dan soliditas negara.
Indonesia, dengan banyak orang pintar, tak mengerti skala prioritas. Juga bukan warga bangsa dengan karakter kedisiplinan serta kerja keras. Sebagaimana kritik Rendra, "Negara gaduh, bangsa rapuh. Kekuasaan kekerasan merajalela,..." Bukan kekuasaan dalam otoritas pemerintah, melainkan wacana kekerasan yang 'operasional', dari sejak kalangan jelata hingga intelektualnya.
Semua orang ngotot-ngototan, saling berebut benar. Saling bicara. Tapi siapa yang mendengar? Dalam teori perang Sun Tzu, yang akan menang ialah yang mau mendengarkan. Namun model intelektual, atau budayawan, atau filsuf seperti RG, mendengarkan berarti kalah. Makanya, meski sebenarnya kalah, bersuara dengan berbagai narasi adalah upaya mempertahankan eksistensi. Aku ngeyel maka aku ada.
Bangsa Indonesia memang sangat beragam, juga latar belakang dan kepentingannya. Itu yang membuat persoalan menjadi tak mudah.
Jika para elite partai ngomong GBHN, lebih hanya untuk tujuan jangka pendek kekuasaan. Bukan GBHN sebagai roadmap bangsa dan negara, hingga katakanlah untuk 2045, 2145, dan seterusnya.
Lihat saja, komentar orang-orangtua jadul, termasuk Fadli Zon pada Billy Mambrasar. Atau katakanlah Anies Baswedan dan majoritas anggota DPRD DKI Jakarta pada Willy Aditya. Dengan mudah mereka menuding anak muda cari panggung, melanggar etika. Karena apa? Karena nilai etika mereka adalah bagaimana ngomong ngawur, ngeles, curang, nipu, dan sibuk pencitraan.
Akankah bonus demografi menjadi buah, yang bisa dipanen 2045? Jika pun tidak, tak apa. Karena generasi RG, Zon, Anies, mungkin sudah rata dengan tanah (termasuk saya, hiks). Artinya jika sebuah generasi tak bisa melakukan transformasi nilai, waktu biasanya memproses dengan lebih jujur, dan presisi. Artinya yang out of date, di jaman 4.1+ akan tergilas dengan sendirinya.
Akan masih ada Reuni 212 juga? Tidak. Karena dari test DNA makin ketahuan Rizieq keturunan siapa. Meski kita tak bisa nanya pada Fahrur Razi, karena mereka yang ngerti sejarah Pam Swakarsa pada tahun 2045 juga sudah kelar. Kalau sekarang, generasi analog masih akan terus sibuk dengan analogi-analogi mulu.
Namanya juga generasi analog. Nggak ada yang presisi. Mutusin apa itu sastra, juga nggak kelar-kelar. Tapi senyampang itu masih bisa jumawa bilang; begitulah seni. Nggak ada yang bisa dipercaya. Apalagi kalau ukuran ketidakdunguan seseorang hanya karena mendukung RG. Nggak banget deh!
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews