Ijtima’ Ulama III dan Provokasi Terang-terangan

Segala bentuk provokasi yang berkaitan dengan Pemilu, sangatlah riskan dalam melahirkan bibit perpecahan.

Jumat, 3 Mei 2019 | 21:57 WIB
0
416
Ijtima’ Ulama III dan Provokasi Terang-terangan
Foto : Google

Pemilu telah usai, para ulama yang ada dibelakang Prabowo juga telah menyelesaikan hajat Ijtima’ Ulama III dan menghasilkan 5 rekomendasi. Salah satu dari rekomendasi tersebut adalah mendiskualifikasi Jokowi sebagai Capres 2019.

Acara yang dilaksanakan bertepatan dengan hari buruh tersebut, tidak dihadiri oleh Cawapres Sandiaga Uno. Lima dari rekomendasi yang dihasilkan adalah: 

Menyimpulkan bahwa telah terjadi kecurangan dan kejahatan yang bersifat terstruktur dalam Pemilu 2019.

Mendorong dan meminta BPN Prabowo – Sandiaga untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal.

Mendesak KPU dan Bawaslu untuk memutuskan dan membatalkan, atau mendiskualifikasi pasangan calon capres dan cawapres nomor urut 01.

Mengajak seluruh umat untuk mengawal dan mendampngi perjuangan penegakan hukum dengan cara syar’i dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan, dan kejahatan serta ketidakadilan, termasuk perjuangan pembatalan / diskualifikasi paslon capres – cawapres nomor 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan dalam pilpres 2019.

Memutuskan bahwa melawan kecurangan dan kejahatan serta ketidakdilan merupakan amar ma’ruf naim munkar, serta konstitusional dan sah secara hukum dengan menjaga keutuhan NKRI dan kedaulatan rakyat.

Sementara itu Penanggungjawab Ijtima’ Ulama III Yusuf Muhammad Martak menyatakan bahwa, Habib Rizieq telah menyarankan kepada BPN Prabowo Sandi agar segera mendesak KPU untuk menghentikan real count. Oleh Habib Rizieq, real count dinilai bisa berbahaya dan membentuk opini salah di mata masyarakat.

Hal ini tentu bisa disebut provokasi secara terang – terangan, padahal jelas – jelas ada mekanisme yang bisa dilakukan oleh BPN apabila menemukan kecurangan. Apalagi dengan adanya rekomendasi nomor 3 yang dimaksudkan untuk mendiskualifikasi Jokowi – Ma’ruf Amin, apakah ini menjadi pertanda bahwa mereka takut kalah? Toh selama ini mereka yakin menang karena hasil survey internal yang tidak dijelaskan secara publik.

Juru Bicara TKN Ace Hasan Syadzili menanggapi hasil ijtima’ tersebut dan mengatakan bahwa rekomendasi itu adalah akal – akalan dari kubu pasangan 02 Prabowo – Sandiaga. Dirinya menyebukan bahwa segala upaya yang dilakukan oleh kubu 02 adalah salah satu tanda untuk tidak mengakui kekalahan vers hitung cepat atau quick count sampai meminta Jokowi – Ma’ruf didiskualifikasi.

“Mentalitas timses 02 yang tidak siap kalah membuat mereka kalap. Tabrak kiri, tabrak kanan, termasuk menggunakan lagi manuver yang diberi label ijtima’ Ulama,” tutur Ace.

Dirinya juga mempertanyakan, rekomendasi tersebut muncul ketika sebelumnya tim pemenangan Prabowo – Sandiaga melakukan upaya delegitimasi KPU. Dan tudingan kecurangan masif kepada KPU yang terus dilancarkan.

Menurut Imam Pituduh selaku Wasekjen PBNU, Ijtima’ Ulama III sudah sepatutnya dihormati sebagai bagian dari demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat. Namun seharusnya hasil dari Ijtima’ tersebut tidaklah mengarah pada hal – hal yang provokatif.

“Ketika pendapat itu sudah mengarah kepada hal yang bersifat provokatif dan diluar kewajaran, dan diluar hal yang berlaku di Indonesia, maka kita seharusnya menggunakan pendapat – pendapat yang betul – betul sesuai dengan kaidah berbangsa, bernegara dan aturan hukum yang berlaku,” tutur Imam.

Segala bentuk provokasi yang berkaitan dengan Pemilu, sangatlah riskan dalam melahirkan bibit perpecahan. Apalagi jika provokasi tersebut tidaklah berdasar. Maka tidak menutup kemungkinan, perang saudara dapat muncul, sehingga masyarakat tidak saling sapa hanya gara – gara berbeda pilihan.

Jangan sampai provokasi yang ada menjadi seperti Negara Venezuela, dimana Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, bahwasanya Donald Trump akan meninggalkan Gedung Putih dengan berlumur darah jika ikut campur dalam urusan Venezuela.

Hal tersebut karena Pemerintah AS mendesak warganya untuk meninggalkan Venezuela dan memerintahkan staf pemerintah non darurat setelah kepala angkatan bersenjata negara itu memperingatkan perang saudara.

Perang saudara tersebut dipicu oleh rencana kriminal yang didukung AS untuk menyingkirkan Presiden Nicolas Maduro atas dukungan pemberontak.

Tentu hal seperti itu jangan sampa terjadi di Indonesia, dalam setiap kontestasi politik, semua kandidat harus siap mengemban amanah jika menang dan harus legowo jika kalah. Segenap upaya untuk mendelegitimasi KPU dalam bentuk apapun, hanya akan semakin menunjukkan sikap politis yang belum matang.

***