Mempertanyakan Kembali Keberadaan DPD RI

Ketika periode jabatan 2019-2024 dimulai, beberapa koreksi ditanggapi untuk ditindaklanjuti. Kalau tidak, maka akan sangat baik bagi negeri ini bila lembaga DPD RI dibubarkan.

Senin, 13 Mei 2019 | 07:58 WIB
0
411
Mempertanyakan Kembali Keberadaan DPD RI
Ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang (Gambar: detik.com)

Sejak pertama kali dibentuk sampai sekarang, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) telah terjadi sebanyak empat kali. Pemilihan pertama dilakukan pada Pemilu 2004. Pembentukan lembaga DPD RI berdasar pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada November 2001.

Kehadiran lembaga DPD RI turut mengubah sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia, dari unikameral menjadi bikameral. Artinya lembaga legislatif yang sebelumnya hanya ada DPR RI, kini bertambah karena keberadaan lembaga baru yang merupakan buah reformasi tersebut, DPD RI.

Jumlah anggota DPD RI di masing-masing periode antara lain, 128 orang (2004-2009), 132 orang (2009-2014), 132 orang (2014-2019), 136 orang (2019-2024). Jumlah tersebut merupakan gabungan dari seluruh provinsi, di mana tiap provinsi terdiri dari 4 orang. Perbedaan jumlah anggota DPD RI per periode sesuai update jumlah provinsi yang ada di Indonesia.

Pertanyaannya, apa sesungguhnya fungsi, tugas dan wewenang DPD RI, apakah ada bedanya dengan yang dimiliki oleh DPR RI?

Berdasarkan pasal 22 butir D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI, fungsi DPD RI menyangkut legislasi (legislating), pengawasan (controlling), dan penganggaran (budgeting). Sedangkan tugas dan wewenangnya adalah pengajuan usul rancangan undang-undang (RUU), pembahasan RUU, pertimbangan atas RUU dan pemilihan anggota BPK, serta pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang (UU).

Melihat fungsi di atas dapat disimpulkan, baik DPD RI maupun DPR RI punya fungsi yang sama. Bedanya di mana, ya pada tugas dan wewenang DPR RI yang lebih luas, sedangkan DPD RI tidak, cuma menyangkut kepentingan daerah yang diwakili. Lebih lanjut mengenai fungsi, tugas dan wewenang DPR RI, sila baca di sini.

Baiklah bila dikatakan bahwa keberadaan para anggota DPD RI merupakan satu kekuatan khusus dalam menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah atau provinsi yang diwakili. Pertanyaannya, betulkah demikian?

Bukan mengecilkan atau barangkali dianggap merendahkan posisi para anggota DPD RI, faktanya adalah ternyata selama ini fungsi, tugas dan wewenang yang diberikan kepada mereka tidak terlaksana optimal. Bahkan bisa disebut justru tumpang tindih dengan yang dimiliki atau diemban oleh para anggota DPR RI.

Adakah di antara para pembaca yang tahu jelas apa yang sudah dilakukan oleh para anggota DPD RI sepanjang menjabat, minimal empat tahun terakhir ini?

Terkait upaya memperjuangkan aspirasi masyarakat, entah untuk kepentingan apa pun, apakah para anggota DPD RI betul bersuara di parlemen dan kemudian oleh lembaga-lembaga lain mempertimbangkan untuk difasilitasi?

Ingat, salah satu tugas para anggota DPD RI yakni hanya mengajukan usulan RUU dan tidak berhak ikut memutuskan penetapannya menjadi UU. Dan mengenai penyerapan aspirasi masyarakat, bukankah ruang gerak para anggota DPR RI justru lebih luas dalam melakukan hal itu? Lalu kekuatan para anggota DPD RI ada di mana?

Dengan ruang gerak sempit serta porsi tugas dan wewenang lemah, masyarakat akan menilai bahwa keberadaan DPD RI sesuatu yang sangat tidak penting dan hanya buang-buang anggaran. Selanjutnya, jangan sampai pula masyarakat menganggap kerja para anggota DPD RI sebatas mengusulkan pemekaran wilayah baru. Kalau tidak ada daerah yang dimekarkan, maka mereka menganggur sambil menunggu gaji bulanan dari negara.

Perwakilan Daerah Tapi Kantornya di Pusat?

Sebagai lembaga negara yang diisi oleh orang-orang terbaik yang tugasnya menyangkut kepentingan daerah yang diwakili, sudah seharusnya para anggota DPD RI lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat. Dalam rangka menyerap aspirasi, mereka mestinya pro aktif menjangkau seluruh pelosok daerah untuk mendata kebutuhan apa saja yang diperlukan. Artinya para anggota DPD RI wajib sehari-hari berada di tengah masyarakat.

Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi jika mereka malah aktif bekerja di Jakarta karena memang kantornya di sana? Apakah cuma mau mendengar laporan saja dari daerah?

Kalau ditanya tentang hal ini, mereka pasti akan menjawab bahwa agenda kunjungan kerja ke daerah sudah diatur, jadi tidak perlu interaksi penuh waktu bersama masyarakat. Kalau begitu, bedanya dengan para anggota DPR RI di mana? Apakah mau diposisikan sama saja dengan DPR RI?

Sebenarnya UU MD3 telah menyebutkan bahwa karena para anggota DPD RI harus bekerja di domisili daerah pemilihannya, maka sebaiknya kantor mereka wajib pula berada di sana. Namun sepertinya implementasi terhadap UU tersebut tidak ditanggapi, sampai sekarang kantor DPD RI terpusat di Senayan, Jakarta.

Sekali lagi, jangan sampai masyarakat menilai kerja para anggota DPD RI hanya menunggu jadwal demonstrasi dan selalu berharap aksi tersebut berlangsung rutin supaya ketika itu terjadi, maka para anggota DPD RI dengan mudah menampilkan diri di tengah kerumunan massa.

Syaratnya Bukan Politisi Tapi Ketuanya Berasal dari Partai Politik?

Ternyata tidak hanya persoalan fungsi, tugas, dan wewenang lemah serta tempat kantor bekerja yang memunculkan keanehan bagi lembaga DPD RI, tapi keberadaan para anggotanya yang sejatinya diisi oleh orang-orang profesional dan jauh dari kepentingan partai politik.

Salah satu syarat keanggotaan DPD RI adalah tidak boleh berafiliasi dengan partai politik mana pun. Syarat ini tampaknya sangat keren karena terasa cukup ketat. Pertanyaannya, benarkah di antara para anggota DPD RI tidak ada yang berurusan dengan partai politik?

Bukankah setidaknya ada dua anggotanya pernah dan/atau sedang aktif sebagai kader partai politik, yaitu Ginandjar Kartasasmita di periode 2004-2009 (Partai Golkar) dan Oesman Sapta Odang di periode 2014-2019 (Partai Hanura)?

Sebagian publik tentu akan mengatakan bahwa ketika Ginandjar menjabat, beliau sementara non aktif dari partai politik. Pertanyaannya, betulkah urusan partai politik ditanggalkan penuh oleh beliau selama bertugas sebagai anggota DPD RI? Apakah benar tidak ada konflik kepentingan di sana?

Fatalnya lagi, Ketua DPD RI aktif saat ini adalah Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang. Lalu syarat keanggotaan tadi ditaruh di mana? Ditabrak dan dikesampingkan? Yang diperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah domisili pemilihan atau kepentingan partai politik?

Barangkali masih banyak lagi yang perlu dikoreksi terhadap lembaga negara yang anggotanya sering disebut "Senator" ini. Mudah-mudahan ketika periode jabatan 2019-2024 resmi dimulai, beberapa koreksi tadi ditanggapi untuk ditindaklanjuti. Kalau tidak, maka akan sangat baik bagi negeri ini bila lembaga DPD RI dibubarkan saja.

***