Debat Capres, Tema Seksi yang Bikin Logika Kacau

Senin, 21 Januari 2019 | 20:41 WIB
0
470
Debat Capres, Tema Seksi yang Bikin Logika Kacau
Joko Widodo dan Prabowo Subianto (Foto: IDN Times)

Debat capres merupakan tema aktual dan seksi untuk ditulis. Banyak hal yang bisa diulas menjadi tulisan menarik. Mulai dari konten debat, jalannya acara debat dari sesi pertama hingga ke sesi berikutnya. Selain itu cara dan penampilan masing-masing kubu capres/cawapres, moderator, termasuk sikap penonton pendukung masing-masing kubu.

Bisa juga desain dan tata panggung debat. Bisa juga tentang  kejadian "behind the scenes" dan "out of the scenes" yang dialami para capres di belakang panggung dan di atas panggung.

Saya sempat memperhatikan dasi merah Sandiga Uno. Kok "nyantolnya" tidak rapi? Terlihat terpasang secara ceroboh.  Padahal sebagai pengusaha muda kelas atas, biasanya Sandi fashionable yang perfect. Apalagi kalau memakai jas lengkap, tentu dia sudah khatam. Inikah akibat dari produk tim yang suka  menggampangkan detail, data dan kebenaran?

Sempat terpikirkan, Sandi saat itu terlalu gugup dan tersipu malu karena banyak memikirkan tempe yang ternyata tidak setipis ATM sehingga dia gagal fokus ketika memasang dasi, kayak grasa-grusunya Prabowo bikin pernyataan Ratna Sarumpaet digebuk orang suruhan karena aktifitas politiknya.

Hal menarik lainnya adalah saat Prabowo "mendadak dangdut". Dia berjoget, kemudian diikuti Sandi "mendadak tukang pijet". Ada apa? Apakah memang disiapkan tim? Atau  karena begitu gugupnya Prabowo ditanya soal korupsi, dia menjawab "korupsi kecil tidak masalah". Kemudian dia tersadar telah melakukan blunder yang bikin malu.

Dia ketahuan tidak menguasai data dan tidak komitmen terhadap masalah korupsi. Untuk menutupi malu, dia berjoget sehingga perhatian publik  tidak fokus pada penyataan blunder nya itu?

Atau mungkin juga Prabowo berjoget karena saking gugupnya berhadapan dengan Jokowi yang berprestasi, sementara Prabowo sendiri  selama empat tahun menunggu Pilpres  tidak banyak berbuat apa-apa untuk negeri ini. Malahan para keder dan simpatisannya sering bikin "keributan" dan "kehebohan"  dengan beragam berita bohong di negeri ini, sehingga menguras energi yang sebenarnya tidak perlu.

Atau bisa juga kemungkinan Prabowo gugup karena  dihadapannya itu Jokowi seorang presiden hebat yang dimiliki Indonesia, yang kini menjadikan Indonesia disegani dunia. Sementara Prabowo cuma bisa berkoar-koar mau jadi macan asia, tapi ngurus tim koalisinya saja tidak solid.

Padahal pada Debat Capres 2014 dulu, mereka berdua sama-sama masih capres. Apakah kenyataan itu yang bikin seorang Prabowo gugup sehingga "mendadak dangdut?"

Tentu saja beragam hal itu bisa diulas secara menarik. Tapi entah kenapa, sampai sekarang saya belum mampu menuliskannya. Apakah saya terlalu banyak omong daripada bekerja, sampai kehabisan energi untuk menulis secara benar?  

Atau, terlalu banyak maunya, sampai bingung sendiri menentukan fokus tema untuk kemaslahatan umat pembaca?  Atau sebenarnya saya  sudah tidak mampu nganu lagi ? #eeeh...

Karena tidak juga bisa menulis, saya sempat berpikir ingin merevisi misi dan visi rencana menulis. Dengan alasan untuk menyesuaikan kondisi, sembari menyamarkan ketidakmampuan saya menulis Debat Capres 2019.

Saya sungguh mengalami kekacauan stadium 4, menduga dan ingin melempar isu telah terjadi upaya kecurangan yang terstruktur, sistematis, masif, romantis, melankolis dan lebayistis oleh pihak penyelenggara Debat Capres 2019--sehingga saya tidak bisa menulis. Karena itu, saya sempat terpikir membuat ancaman mundur dari kepenulisan Debat Capres 2019.

Tapi kemudian saya berpikir lagi, hal itu paranoid yang terlalu berlebihan. Paranoid yang bikin saya terjebak pada lebay-isme akut stadium 4. Menjauhkan diri saya dari sifat ksatria dan sportif. Hal itu bisa mencederai marwah dunia kepenulisan yang sudah saya bangun secara susah payah berpuluh-puluh tahun. Apalagi saya punya pengalaman menulis tentang dua kali Debat Capres yang  seharusnya membuat saya bijak.

Sungguh saya tidak mau dianggap penulis yang pengecut. Beragam sanggahan dan hujatan para pembaca bagai desingan peluru saja bisa saya hadapi. Lalu, kenapa hanya gegara ketakutan yang tak jelas membuat saya takut menulis Debat Capres 2019? Uuugh!

Selama ini saya dikenal para pengikut sebagai penulis tangguh dan pemberani. Saya sudah ditempa dikawah candradimuka dunia kepenulisan. Berbagai penghargaan menulis telah saya dapatkan.  Mosok karena kuatir dicurangi lalu saya mundur menulis? Sungguh super lebay, bukan? Bikin malu sejarah dunia kepenulisan, aaaw!

Didalam perenungan saya antara mau atau tidak menulis Debat Capres 2019. Sempat ada suara-suara misterius pada pendengaran saya. Suara itu konon bisa memperkuat semangat saya.  Lalu saya mengecek ke negara Haiti.

Ternyata bohong kalau potensi menulis saya cuma 1 persen. Saya juga ke perlabuhan untuk mengecek apa benar ada 7 kontainer obat kuat menulis, ternyata itu berita bohong. Saya mengecek RSCM soal adanya kabar selang yang  biasa dipakai 40 orang agar bisa kuat menulis. Ternyata itu bohong.  

Ada kabar lain, bahwa teman seperjuangan saya, seorang perempuan, digebuk orang suruhan sehingga wajahnya bonyok. Tujuannya untuk melemahkan semangat saya untuk menulis Debat Capres 2019. Ternyata kabar itu bohong. Nyatanya teman perempuan saya hepi-hepi operasi plastik agar tambah cantik.

Saya juga mendengar bahwa TNI kita lemah, sehingga bisa menjadikan saya kuat menulis. Ternyata itu bohong.  Kenyataannya, kehebatan  TNI nomor 1 di Asean, nomor 4 Asia  dan nomor 15 di dunia. Saya mendengar stok beras kita Cuma untuk 21 hari yang berpengaruh pada daya tahan saya menulis.  

Ternyata kabar itu bohong. Kenyataannya, stok beras kita bisa untuk kebutuhan 6 bulan-sebuah waktu persediaan yang lama yang pernah dibuat republik ini. Sempat juga saya dengar bahwa gaji dokter lebih rendah dari tukang parkir, hal itu membuat kebanggaan menulis saya runtuh.

Tapi nyatanya tidak demikian. Saya tetap bangga menjadi penulis, dan tetap apresiasi pada  dokter dan tukang parkir. Kalau tidak ada mereka, tentu karier kepenulisan saya tidak bisa seperti sekarang.

Berbagai bisikan misterius itu kini membuat saya minder atau mengalami inferioritas karena tidak berprestasi untuk menulis soal Debat Capres 2019. Apakah perlu saya menaikkan gaji aparat hukum yakni polisi, hakim dan jaksa secara berlipat-lipat agar mereka menjaga saya untuk tetap menulis dan tidak ada yang mencuri semangat menulis saya?

Aah, setelah dipikir ulang, cara saya itu terlalu menggampangkan persoalan. Hanya berupa solusi tunggal. Tidak komprehensif. Hilangnya semangat menulis saya merupakan soal yang kompleks, yang harus diselesaikan secara komprehensif. Bukan dengan angin surga naik gaji.

Saya minder di depan laptop. Seolah-olah si laptop tahu banyak tentang saya. Ingin rasanya bersembunyi di bawah meja. Menunduk malu sambil memainkan ujung rambut. Atau, dalam situasi itu ingin rasanya berjoget-joget untuk menutupi rasa malu. Semua itu membuat saya menjadi sulit untuk menulis tentang Debat Capres 2019 .

Padahal, sejak jaman prasejarah, saya sudah menunggu momen Debat Capres tersebut. Telah saya siapkan segala strategi. Tak lupa latihan fisik angkat barbel, naik kuda, lari-lari kecil dan besar. Saya juga keluar masuk pasar tradisional sambil menenteng jengkol dan petai. Selain itu makan makanan bergizi dan suplemen. Tapi saya tidak mau doping. Kuatir dikartu merah PSSI.

Sampai sekarang saya belum bisa membuat tulisan tentang Debat Capres 2019. Tapi saya berbesar hati, karena  pembaca telah menyelesaikan bacaan ini.

Saya percaya dan yakin, walau saya tidak bisa bisa menulis soal Debat Capres 2019, Indonesia tidak akan punah. Dan kalau memang ditakdirkan tidak bisa menulis Debat Capres, aku sih rapopo...

***