Amien Rais dan Para Oposannya

Rabu, 26 Desember 2018 | 20:22 WIB
0
716
Amien Rais dan Para Oposannya
Amien Rais (Foto: Tarli Nugroho)

Foto dan figura ini sekarang umurnya lebih dari 20 tahun. Saya membuatnya saat masih duduk di bangku SMA dari potongan gambar yang muncul di koran-koran, tabloid, serta majalah yang terbit pada 1998. Foto dan figura ini masih tersimpan di rumah orang tua saya di kampung. Tadi sore, saya meminta adik saya untuk mengambilkan gambarnya.

Masih 17 tahun, ketika saya ikut menghadiri rapat-rapat pembentukan partai berlambang matahari itu di Karawang. Partai yang saya anggap sebagai simbol perubahan. Saya tidak ingat persis alasan orang-orang tua itu melibatkan saya dalam pertemuan-pertemuan yang mestinya hanya dihadiri oleh para pinisepuh yang sungguh-sungguh.

Saya bukan berasal dari keluarga Muhammadiyah, dan meski saat kuliah Mahfud Ikhwan selalu mengejek saya sebagai orang Persis, kenyataannya saya tidak pernah berafiliasi dengan ormas keagamaan manapun.

Yang mudah diingat, pada Mei 1998 saya adalah orang pertama yang menurunkan gambar-gambar Soeharto di seluruh ruang kelas lalu menggantinya dengan foto-foto dan poster Amien Rais. Tak lama kemudian saya mulai mengedarkan formulir keanggotaan partai itu kepada teman-teman sekolah.

Rumah kontrakan saya yang berlokasi di Jalan Kereta, kemudian menjadi markas KERETA (Kelompok Reformis Tanah Air). Ah, ya, bukan anak muda namanya kalau tak pandai berlagak. Satu dua kali demonstrasi ke Jakarta makin melengkapi lagak masa itu.

Bertahun kemudian, satu per satu saya bisa ketemu dengan para pendiri partai itu, yang umumnya adalah para cendekiawan terkemuka. Saya masih mengingat foto ikonik yang tersebar di seluruh surat kabar sehari sesudah partai itu dideklarasikan di Jakarta: Amien Rais berdiri mengepalkan lengan didampingi oleh M. Dawam Rahardjo di sebelah kanannya dan Faisal Basri di sebelah kirinya.

Amien dan Dawam adalah kolumnis favorit saya sejak masih duduk di bangku SMP. Awalnya tulisan keduanya saya ikuti melalui Majalah Panji Masyarakat. Belakangan, saat kuliah saya baru mengetahui jika keduanya pernah bersaing memperebutkan posisi kolumnis terbaik versi Mingguan Mahasiswa Indonesia yang dipimpin Nono Anwar Makarim.

Amien akhirnya dinobatkan sebagai kolumnis terbaik, sementara Dawam menjadi juara kedua. Menurut Dawam, dalam banyak obrolan kami saat saya menjadi asistennya, seharusnya dialah yang juara pertama, dan Amien seharusnya juara kedua.

Banyak orang mengira Amien Rais baru bicara mengenai suksesi menjelang 1998. Pandangan itu sangat keliru. Amien telah melontarkan gagasan pentingnya suksesi sejak tahun 1990.

Pada 23 Desember 1989, ketika MPR RI menyebarkan daftar pertanyaan yang dikirim ke berbagai perguruan tinggi mengenai Konsep GBHN 1993-1998, oleh UGM surat tersebut direspon dengan membentuk Tim 9, yang dibentuk berdasarkan penugasan Senat Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Mei 1990. Tim itu ditugasi untuk menyusun usulan konsep GBHN yang nantinya akan disampaikan kepada MPR.

Hasil kerja dari Tim 9 adalah sebuah buku kecil berjudul "GBHN dan Pembangunan Nasional Jangka Panjang tahap Kedua, 1993-1998" yang terbit pada penghujung 1990. Meski tipis, buku itu pernah membuat "geger" dan menghiasi halaman surat kabar dan majalah berita nasional.

Sumber kegegeran itu tak lain dari keberanian Tim 9 UGM dalam mengajukan sejumlah persoalan penting yang waktu itu sangat tabu dibicarakan, yaitu soal (1) pembatasan masa jabatan presiden; (2) dikuranginya Dwifungsi ABRI; (3) diterapkannya Demokrasi Ekonomi/Ekonomi Pancasila; (4) diterapkannya gagasan reforma agraria; (5) desentralisasi; (6) pengurangan utang luar negeri; (7) isu korupsi.

Tujuh isu itu telah membuat pemerintah kebakaran jenggot dan pengurus universitas kalang kabut. Waktu itu rektor UGM dijabat Prof. Dr. Mochamad Adnan, dari Fakultas Teknologi Pertanian.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, Amien Rais pernah membuat geger karena cukup gigih berbicara mengenai perlunya suksesi. Amien mengklaim bahwa isu suksesi yang dikemukakannya waktu itu sebenarnya bukan hal baru, karena sejak awal 1990-an ia telah melontarkan isu itu dalam kerangka akademis, dan bukan politis.

Pengakuan Amien memang benar, karena dia termasuk ke dalam anggota Tim 9. Artinya, sejak 1990 dia memang telah terlibat dalam perguliran wacana mengenai suksesi, jadi bukan baru pada 1997, ketika ia bikin geger dengan pernyataannya di YLBHI.

Siapa sajakah anggota Tim 9 itu, yang telah membuat UGM "naik daun" dan menjadi berita di berbagai media nasional pada akhir 1990? Anggotanya adalah Dr. Amien Rais, Dr. Ichlasul Amal, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Nasikun, Dr. Loekman Soetrisno, Dr. Yahya Muhaimin, Drs. Herqutanto Sosronegoro, dan Dr. Bambang Sudibyo. Dan yang menjadi anggota kesembilan, sekaligus menjadi ketua tim tersebut tak lain adalah Prof. Dr. Mubyarto.

Kembali ke soal partai berlambang matahari itu, pada Pemilu 1999 dan 2004 saya memberikan suara untuk partai itu. Selepasnya adalah periode patah hati. Namun, saya tak akan seperti penyair tua itu, yang sibuk menghardik partai yang pernah dihidupinya, serta menghardik-hardik Amien Rais sembari dia sendiri membuat pilihan-pilihan politik yang mutunya tidak pernah lebih baik.

Seburuk-buruknya Amien Rais, ia selalu berposisi kritis terhadap kekuasaan, bahkan ketika partai yang pernah didirikan dan dipimpinnya menjadi bagian dari pemerintahan.

Sementara, sebaik-baiknya tokoh yang kini meminta Amien Rais untuk mundur, mereka hanya bisa beroposisi terhadap Amien Rais.

Tidak kurang dan tidak lebih.

***