Apa yang Salah?

Mengapa orang-orang yang semestinya memberikan pernyataan adem, menyejukkan, menenteramkan justru melakukan hal sebaliknya. Ibarat kata mereka justru menyiramkan bensin ke api

Sabtu, 18 Juni 2022 | 08:16 WIB
0
263
Apa yang Salah?
Stupa Borobudur (Foto: Wikipedia)

Ya, apa yang salah di negeri ini, Bung? Begitu pertanyaan seorang kawan, suatu sore pada hari Rabu, sebagaimana biasanya kami bertemu, untuk ngobrol dan ngopi. Kawan itu bertanya setelah jagad media sosial juga media online ramai membahas cuitan soal stupa di Candi Borobudur.

Memang, ada-ada saja yang dijadikan sebagai bahan untuk menyulut keributan, kehebohan, dan kegaduhan. Dan, ada pula orang yang hobi mencari-cari hal untuk diributkan, digoreng-goreng, dibumbu-bumbuin, dan kemudian disebarluaskan lewat media sosial.

Lantas–kalau sudah ribut, hiruk-pikuk, gaduh, muncul beragam komentar dari segala penjuru dan dari berbagai orang baik dari orang biasa sampai yang tidak biasa, media sosial heboh, muncul kebencian, masuk ke ranah hukum–minta maaf. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Padahal kata orang, “the damage has been done.” Maka, ucapan minta maaf itu sama sekali tak memulihkan keadaan. Memang, minta maaf itu penting. Itu adalah ekspresi, ungkapan dari rasa bersalah, pengakuan telah berbuat salah. Tetapi, sekali lagi, kerusakan telah terjadi. Anyaman tikar kebangsaan, robek sudah.

Dan hal seperti itu, berulangkali terjadi, dilakukan oleh berbagai orang dengan beragam motivasi, bermacam-macam kehendak hati dan tujuan. Seperti nggak ada persoalan yang lebih penting bagi bangsa dan negara ini ketimbang bikin bising heboh, gaduh, menebar hoaks, berita bohong, kebencian, dan juga isu-isu yang memecah-belah.

**

Layak dan pantas, kalau ada yang bertanya: Mengapa orang suka membuat keributan? Mengapa orang senang membuat kegaduhan? Apa yang ia atau mereka cari? Apakah mencari keuntungan politik? Keuntungan finansial? Melemahkan pemerintah atau mau menunjukkan bahwa pemerintah tak berdaya? Perpecahan bangsa? Atau sekadar cari popularitas?

Ya, banyak memang sekarang ini yang mencari popularitas. Tidak hanya politisi yang senang mencari popularitas, tapi juga pejabat atau yang sudah mantan, pemimpin agama,  dan juga rakyat biasa. Popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik. Berbagai cara dilakukan untuk popular, mulai dari cara yang elegan sampai yang, katakanlah, recehan. Maka disebut popularitas murahan, popularitas recehahan.

Dikiranya, popularitas itu segala-galanya. Padahal, popularitas itu bukan segala-galanya. Apalagi jika popularitas itu semu karena diperoleh melalui rekayasa sedemikian rupa tanpa usaha maksimum. Barangkali seperti “buah karbitan”, terlihat masak, matang tapi nggak manis sama sekal

Dalam politik, misalnya, popularitas tidak cukup menjamin seseorang untuk memperoleh suara yang memadai dari konstituen. Benar, bahwa politik adalah art of possibilities (definisi politik menurut Otto von Bismarck, 1815-1898, perdana menteri Prussia dan pendiri serta kanselir pertama Kekaisaran Jerman) tetapi art of possibilities juga membutuhkan strategi, dan strategi itu tidak hanya citr

Ada lagi yang merasa menjadi polisi kebenaran. Memang, memegang kebenaran merupakan keharusan. Akan tetapi kalau lantas merasa diri paling benar, paling saleh, paling bersih, dan paling suci, itu menjadi persoalan lai

Sudah merasa paling benar, lantas mengklaim sebagai pemegang kunci surga. Dan, seenaknya saja menentukan siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan dibuang ke neraka jahanam yang disana hanya ada ratap tangis dan geretak gigi. Saat itu, merasa seolah dirinya duduk di atas tahta kebenaran yang paling tinggi.

Padahal kata pepatah, ingat di atas langit ada langit. Nasihat orang-orang tua Jawa Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa. Jangan jadi orang yang merasa bisa dan merasa pintar tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.

**

Acap-kali, hati ini bertanya: Mengapa orang-orang yang semestinya memberikan pernyataan adem, menyejukkan, menenteramkan justru melakukan hal sebaliknya. Ibarat kata mereka justru menyiramkan bensin ke api.

Mungkin, lupa posisinya, lupa akan dirinya itu siapa. Maka benarlah bunyi pepatah lama ini, Stultus nil celat; quod habet sub corde revelat. Orang yang bodoh tak menyembunyikan apa pun, ia mengungkapkan semua isi hatinya.

Kata Mark Twain (1835-1910) seorang penulis kondang dari Amerika, lebih baik menjaga mulut Anda tetap tertutup dan membiarkan orang lain menganggap Anda bodoh, daripada membuka mulut Anda dan menegaskan semua anggapan merek

Akhirnya Bung, maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan situ: Apa yang salah di negeri ini? 

***