Misnah Attas, Debat Etik dan "Trust" Publik yang Tergerus

Menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2020 sebaiknya penyelenggara bersikap ekstra hati-hati dan bertindak hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kamis, 28 November 2019 | 22:58 WIB
0
377
Misnah Attas, Debat Etik dan "Trust" Publik yang Tergerus
Misnah Attas (Foto: detik.com)

"Jika ada tak sesuai dengan integritasnya, selayaknya dilepas jabatan. Integritas segala- galanya yang sudah tertanam di jati diri para alumni,” kata guru besar FE yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) menanggapi pengunduran diri Misnah Attas dari jabatan Ketua KPU Sulawesi Selatan.

Support moral memang seharusnya diberikan institusi terhadap alumni yang membutuhkan dukungan. Misnah sendiri sebelumnya mengungkapkan alasan pengunduran dirinya sebagai ketua karena berkaitan dengan prinsip pemilu. Selebihnya Misnah memilih diam.

Sikap Misnah yang memilih mundur dari ketua tapi tetap bertahan sebagai komisioner memantik banyak kritik, terutama alasan dikemukakannya problematik. Misnah menolak menjelaskan alasannya secara gamblang akibatnya masalah jadi melebar.

Apa yang dimaksud sebagai prinsip pemilu oleh Misnah memiliki implikasi yang tidak sederhana. Secara normatif prinsip ini berkaitan erat dengan asas pemilu serta kewajiban penyelenggara yang diatur ketat dalam berbagai regulasi yang manakala dilanggar bisa berimplikasi pada pelanggaran kode etik.

Peraturan Bersama KPU, BAWASLU dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum mengatur mengenai berbagai asas serta kewajiban penyelenggara yang bertujuan untuk menjaga kemandirian, integritas serta kredibilitas penyelenggara. Sikap serta tindakan penyelenggara yang menyimpang dari prinsip serta kewajiban ini berpotensi bersinggungan dengan DKPP.

Apakah pengunduran diri Misnah sebagai Ketua KPU dengan alasan prinsip pemilu merupakan perwujudan integritas?

Jika Misnah mundur dari KPU sebagai komisioner karena alasan kesehatan misalnya, tidak perlu ada perdebatan. Tapi karena pengunduran diri beliau sebagai ketua dan masih bertahan sebagai komisioner dengan alasan etik, maka ini jadi masalah serius.

Kalau Misnah mundur dari KPU sebagai ketua sementara tetap bertahan sebagai komisioner karena alasan tidak ingin melanggar prinsip pemilu atau karena menjaga integritas, bukankah secara ekstrim bisa dianggap membiarkan penggantinya terjebak dalam pelanggaran yang dihindarinya. Bukankah sikap seperti itu bisa dianggap lebih tidak berintegritas?

Adalah tanggungjawab Misnah termasuk komisioner yang lain menjelaskan secara detail ke publik sebagai bagian dari asas transparansi yang harus dipedomani setiap penyelenggara. Jika tidak, sikap tertutup penyelenggara akan memunculkan berbagai spekulasi. Publik bisa menduga macam-macam, semisal dugaan adanya problem yang jauh lebih kompleks dibalik alasan integritas dan prinsip pemilu.

Lagi pula setiap keputusan KPU bersifat kolektif kolegial, artinya dalam hal pengambilan keputusan apakah Misnah bertindak sebagai ketua atau anggota tidak akan diminta pertanggungjawaban pribadi terhadap putusan yang diambil secara kolektif kolegial.

Mundurnya Misnah sebagai ketua dengan alasan yang menimbulkan debat etik akan menjadi catatan penting bagi publik yang akan mempengaruhi reputasinya ke depan sebagai komisioner.

Perjalanan karir Misnah sebagai komisioner terbilang moncer, Posisi Ketua KPU Provinsi Sulawesi Selatan adalah jabatan prestisius. Sebagai mantan aktivis, Misnah sebelumnya merupakan Komisioner Panwas Gowa, mantan Komisioner KPU Makassar dan terakhir menjabat sebagai anggota KPU Sulsel 2013-2018.

Sejatinya Komisioner KPU hanya bertindak sebagai penyelenggara yang menjalankan perintah undang-undang. Moral serta integritas penyelenggara diukur berdasarkan sikap konsistensinya dalam menaati aturan yang berlaku terutama jika berkaitan dengan pengambilan keputusan yang bersifat krusial. Mengabaikan prinsip kepastian hukum serta mempertimbangkan aspek lain di luar aturan hukum misalnya berpotensi menimbulkan konflik yang berujung caos.

Transparansi penyelenggara dalam setiap pengambilan keputusan menjadi variabel penting yang ikut berkontribusi terhadap tingkat keberhasilan pada setiap kontestasi pemilu. Sebaliknya sikap tertutup penyelenggara akan menggerus trust publik dan berpotensi membahayakan proses demokrasi.

Menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2020 sebaiknya penyelenggara bersikap ekstra hati-hati dan bertindak hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

***