Paham khilafah yang masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1998 membuat masyarakat resah. Pasalnya, mereka bertentangan dengan pancasila.
Berarti bisa dianggap sebagai separatis, karena menolak dasar negara dan tidak mau memahami perbedaan di Indonesia. Pasca orde baru runtuh, ada paham yang sayangnya berhasil menyusup di negeri ini, yakni khilafah.
Ia dibawa oleh sebuah ormas (yang kini sudah dibubarkan oleh pemerintah), dan berprinsip bahwa sebuah negara harus dipimpin oleh seorang khalifah, bukan presiden. Masyarakat tentu shock karena paham ini bagai menyeret Indonesia ke masa kerajaan, tetapi bernuansa Timur Tengah.
Di banyak negara di Timur Tengah memang berbeda dari Indonesia, ketika pemimpinnya disebut dengan khilafah dan merupakan negara yang religius. Sementara di negeri kita, penduduknya juga religius tetapi ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah, dan tidak saklek pada 1 aturan di 1 keyakinan.
Beda negara beda peraturan, dan ini yang tidak dipahami oleh kelompok khilafah.
Ketika sebuah ormas menggembar-gemborkan paham khilafah sebagai solusi terbaik bagi Indonesia, maka masyarakat terngaga.
Penyebabnya karena mereka bersebrangan dengan prinsip pancasila, yakni persatuan Indonesia. Bagaimana NKRI bisa bersatu, ketika hanya ada 1 golongan yang diakui, sementara golongan lain dipaksa harus menurut? Sungguh tidak adil.
Prinsip negara khilafah ditolak mentah-mentah karena mereka sering tidak menenggang rasa terhadap perbedaan di Indonesia. Padahal perbedaan itu indah dan kita bisa belajar darinya. Khilafah jelas tidak cocok di Indonesia, karena sering memaksakan diri dan merombak aturan yang sudah susah-payah dibuat oleh plokamator dan pejabat di era Orde Lama.
Pluralisme dan bhinneka tunggal ika lebih cocok di NKRI, karena negeri ini memang terdiri dari banyak suku, ras, antar golongan, dan agama.
Buktinya, selama ini kita bisa rukun dan saling menghormati perbedaan. Tidak ada lagi kerusuhan antar warga, karena semua memahami satu sama lain dan saling pengertian.
Berbeda dengan prinsip khilafah, di mana aturan diberlakukan hanya dari 1 pihak.
Ketika tidak ada toleransi, bagaimana bisa masyarakat hidup dengan aman dan bahagia? Malah mereka bisa didera trauma karena takut akan melanggar peraturan yang dijalankan oleh kelompok khilafah.
Lagipula, di negara lain yang berprinsip khilafah, aturannya berbeda-beda. Ada yang menjadi kerajaan, sementara ada yang menjadi republik.
Hal ini memperlihatkan bahwa khilafah diberlakukan secara berbeda, tergantung dari sifat dan tipe rakyatnya. Sementara warga negara Indonesia sudah jelas tidak cocok dengan prinsip khilafah. Karena ketika jadi kerajaan, sama dengan mundur 75 tahun.
Selain itu, prinsip khilafah juga ditolak karena pentolan mereka ngotot kalau demokrasi itu haram. Bagaimana bisa demokrasi haram, padahal sebenarnya demokrasi sangat menjunjung prinsip keadilan? Seharusnya mereka kuliah politik terlebih dahulu, sebelum asal men-judge dan ngomong ngawur.
Ormas yang ngotot mendirikan negara khilafah sudah dibubarkan oleh pemerintah. Mereka tidak bisa beroperasi di Indonesia, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Jangan sampai ada kebangkitan ormas ini, karena akan meresahkan masyarakat NKRI yang pluralis.
Masyarakat juga menolak ormas tersebut karena lebih cenderung mementingkan kelompoknya sendiri dan tidak mau melihat perbedaan di Indonesia. Sudah bagus ketika mereka dibubarkan, karena sering membuat masyarakat ketakutan. Karena mereka tidak bisa bertoleransi dan menghormati kelompok lain.
Prinsip khilafah tidak cocok di Indonesia karena masyarakatnya pluralis. Sementara khilafah hanya cocok untuk rakyat yang terdiri dari 1 suku bangsa dan keyakinan. Kelompok yang mengusung paham khilafah harus dibasmi, karena mereka menentang pancasila dan berprinsip bahwa demokrasi itu haram hukumnya. (Fandi Aldebaran)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews