Untuk itu wajar saja bahwa ia jadi bohir di arena politik? Tentu bukan hanya dia saja, banyak juga yang lainnya. Lalu anehnya di mana? Justru aneh kalau tidak.
Haji Kalla, sang ayah sudah sejak usia belasan memulai bisnis di kampung halamannya di Bone. Dari berdagang kain sutra, dijajakan dari kampung ke kampung, tentu dengan berjalan kaki. Tak lama, kemudian mereka punya warung sendiri dan dagangannya makin pepak. Karena selain kain juga berdagang barang kelontong. Itu sekira tahun 1938-an. Baru setelahnya mereka mengembangkan diri dalam bisnis transportasi, yang dikenal dengan brand "Cahaya Bone". Sejak saat itulah, perkembangan usaha keluarga ini menjadi sangat pesat melalui NV Hadji Kalla.
Bisnis mereka sempat terganggu, ketika terjadi pemberontakan DI/TII. Sedemikian terdampaknya, sehingga mereka memutuskan mereset ulang bisnisnya, lalu pindah ke Makassar. Point ini menjadi penting, kenapa? Mereka sekeluarga pernah mengalami pengalaman pahit berhadapan dengan kelompok "Islam Radikal" yang ngaco! Menjelaskan kenapa Kalla muda, kelak selalu tampil sebagai "juru damai" dalam berbagai konflik yang melibatkan gerakan Islam garis keras.
Ingat kasus GAM di Aceh, gerakan Islam di Pattani di Thailand Selatan, atau Gerakan Moro di Filipina. Ia terlibat sangat intens. Artinya, dia adalah orang yang mengerti betul dampak atau kekuatan penggangu yang muncul dari para separatis itu. Mereka lebih sekedar paham: bahwa gerakan separatis apa pun ideologinya hanya mengganggu "urip normal". Dari sini ia tahu betul, cara menghadapi dan (sebaliknya) cara-cara memanfaatkannya.
OK, sampai di sini dulu! Kita pindah kembali ke cerita bisnis-bisnis keluarga ini....
Sementara Kalla tua, terus mengembangkan bisnisnya yang terus membesar. Ia sangat diuntungkan tatkala Orde Baru mengundang banyak investor asing yang memungkinkan joint-venture. Kalla tua banyak melakukan kongsi dagang yang memungkinkan menjadi bukan saja terkenal, tapi sangat berkuasa di Makassar.
Sementara itu Kalla muda aktif sebagai aktivis mahasiswa. Puncaknya ia terlibat dalam Gerakan KAMI di Makssar, yang karakternya sangat anti-komunis itu. Sesuatu yang membuatnya memiliki reputasi politik yang menggiringnya masuk kandang Golkar. Hingga kelak, ia berkesempatan duduk di puncak tertinggi partai ini sebagai Ketua Umum.
Bagaimana mungkin, ia kan bukan Jawa?
Dalam catatan saya, ia adalah orang yang sangat taktis dan kritis. Saat Habibie, dikepung oleh perpecahan Golkar dalam kelompok Garis Barat dan Timur. Maksudnya gank "orang Jawa-Sumatera" di bawah Akbar Tanjung, melawan genk orang Indonesia Timur di bawah Baramuli dan Tanri Abeng. Ia memilih bermain bersih sangat menghindari konflik dan berada di jalan tengah.
Justru ia bisa memanfaatkan riak dan onak di antara kedua kubu, sebagai penengah. Maklum walau ia orang Timur, tapi istrinya orang Barat. Sang Istri beretnik Padang. Kenapa ia bisa menjadi "pemersatu" Golkar walau tuk sementara.
Secara bisnis, sesungguhnya keluarga ini baru masuk kategori "konglomerat" sejak tahun 1995. Mereka tidak saja, berhasil menjadi kelompok usaha nomer satu di Sulawesi Selatan. Tapi juga Indonesia Timur. Nyaris tidak ada usaha yang tidak berbau keluarga ini. Ia merambah nyaris semua bidang usaha, tidak lagi hanya hasil bumi, kendaraan umum, dan pelayaran. Ia msuk ke sektor konstruksi, yang tentu saja karena berteks Indonesia Timur selalu menjadi "proyek mahal dan tak perlu inspeksi".
Saya pikir, dari konteks seperti inilah "oligarkis" dimulai. Di tangan kiri kekuatan ekonomi, di tangan kanan kekuasaan politik. Kalau kata Andra & Back Bone: sempurna....
Sisi baik dari keluarga ini, mereka selalu merangkak dari bawah. Bukan melulu hasil potong kompas dan KKN. Tapi oligarki tetaplah oligarki. Ia tak peduli terhadap masa lalu, di hari dan untuk masa depan cara kerja mereka sama: bertahan, membesar, atau mati....
Dalam konteks di atas, menjelaskan banyak hal kenapa ia bisa terpilih dua kali sebagai Wakil Presiden untuk dua presiden dengan karakter yang berbeda. Ia dipilih, di luar punya duit juga punya massa. Kekuatan yang justru membuatnya tampak lebih agresif dan penuh inisiatif dibanding Sang Presidennya sendiri. Ini tampak nyata, ketika ia mendampingi SBY yang peragu dan terlalu penuh perhitungan itu.
Saat menjadi pendamping Jokowi, karena sama-sama pengusaha, ia terlihat relatif canggung. Karena Jokowi ternyata "lebih gila". Dan perhatiannya ternyata tidak hanya Jawa, tapi ternyata luar Jawa. Ia mati kutu. Walau proyek luar Jawa tampak sangat banyak, namun karena mengurangi potensi KKN Jokowi lebih memilih menggunakan BUMN yang dianggapnya lebih mudah disetir dan dituntut. Di sinilah barangkali walau ia kembali "menjabat", ia sebenarnya hanya benar-benar pelengkap.
Sialnya, pada masa Jokowi ini pula. Banyak binsisnya, terutama yang pseudo bisnis banyak yang kena tilang institusi hukum. Sebut saja salah duanya Pelindo yang ternyata tak lebih "negara dalam negara". statusnya milik negara, tapi dikelola secara swasta dan keuntungannya tak mengalir ke kas negara. Tapi... ya wis. Pun di Lion Air, yang tampak membesar dengan kontrak pengadaan pesawat terbesar di dunia. Di atas kertas milik Rudi Kirana, tapi ya wis... Saya bisa sebut perusahaan yang lain, tapi buat apa?
Di sinilah, ia sadar bahwa kalau semuanya dibiarkan "sesuai mau Jokowi", ia juga akan terlibas sendiri. Di sinilah ia bereaksi....
Di hari-hari ini, secara politik JK mempunyai dua anak emas. Keduanya saya kenal dekat. Eep Syaefullah Patah sebagai pemikir, dan Anies Baswedan sebagai operator. AB jelas cocok ditaruh di DKI Jakarta, ia adalah seorang "denial sejati". Keduanya berprofilling pintar, tapi menurut saya sebagaimana tupai. Sepintar-pintar mereka cenderung ceroboh. Mereka bukan karakter maling, sehingga ketika mencuri selalu meninggalkan jejak. Bisa tetap bertahan karena faktor sentimen (apa pun itu, agama kek, politik kek) dan mereka sangat dibutuhkan karena tak ada figur yang lain yang barangkali tepat.
Tapi, sekali lagi, itulah kelemahan dasar keduanya mereka tetap saja cuma anak wayang. Walau tetap dengan ambisi sangat besar. Saya tahu faktor yang tetap menjaga daya tahan keduanya: ESF karena istrinya yang motivated, sedang AB karena pertaruhan menyandang nama besar keluarga.
Di hari ini, keduanya sedang dalam masa krisis berat. ESF justru lagi punya masalah di Makassar, di kandang sang tuan. AB tak kalah runyam, dengan kebegoan banyak kebijakannya di DKI Jakarta.
Dan solusi pengalihannya adalah HRS.
Dia adalah orang dengan profiling arogan dan tak pedulian, setipe dengan Donald Trump. Orang yang akan selalu berteriak, entah benar atau salah. Yang penting media tetap meliputnya. Dan sialnya, ia didukung banyak elemen. SJW akan dengan senang hati mengglorifikasi, sebagai figur musuh pemerintah. Ia punya peran penting menjadi alat pemersatu, agar media fokus padanya dan menutup banyak kasus lain. Baik itu politik,, hukum, ekonomi, atau apa pun. Kasus Kejagiung, Joko Candra, Jiwasraya, apa saja....
Di sinilah kecerdasan dari JK. Ia benar-benar Jalan Keluar....
Ia cukup bawa uang sekoper. Bayar denda bawa pulang si porn fugitive. Bikin, heboh di bandara, bikin soal baru di pernikahan anaknya. Ia mengambil resiko paling besar dan sangat banyak, justru pada masa depan dirinya sendiri. Ia sebagaimana dikatakannya, ia seorang lanun (penghalusan dari kata bajak laut dari sisi poistif), yang berani mengambil resiko. Ia akan selalu berpikir sebagai lanun, orang yang berani melawan siapa pun jika kepentingannya terganggu...
Jika judul dari tulisan ini, benarkah ia si Bohir? Bohir berasal dari bahasa Belanda: "bouwheer" berarti “pemilik modal”. Ya, kan sudah lumrah ia konglomerat, tentu ia punya modal. Ia adalah orang yang sangat paham, bahwa titik kritis bisnis konglomerasi itu berada di generasi kedua. Terpeleset sedikit, ia akan jatuh dan hanya dikenang sebagai sejarah masa lalu. Tentu ia tidak mau.
Untuk itu wajar saja bahwa ia jadi bohir di arena politik? Tentu bukan hanya dia saja, banyak juga yang lainnya. Lalu anehnya di mana? Justru aneh kalau tidak.
Jadi bohir itu 'kan juga cara bertahan hidup!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews