Mengapa KAMI Mati Terlalu Dini

Diri sendiri dan kroni-nya yang memaksa orang lain untuk disebut atau menyebut diri Indonesia. Sembarangan pakai banget!

Senin, 19 Oktober 2020 | 08:43 WIB
0
3084
Mengapa KAMI Mati Terlalu Dini
Deklarasi KAMI (Foto: detik.com)

Di tempat saya bekerja yang baru, sebuah holding yang membawahi beberapa anak usaha. Terdapat satu perusahaan yang khusus menangani "nama" dan "logo". Bisnis nama dan logo untuk saat ini, diyakini bisa menyelamatkan atau mempertahankan posisi di atas.

Saya tidak percaya, tapi realitasnya sebuah perusahaan yang "baru di beli", biasanya si pemilik baru selalu ribet dan rewel pada keduanya. Aneh tapi nyata, tapi begitulah menguatkan bahwa dalam dunia bisnis, mistik itu jalan tercepat mencari solusi.

Tokohnya adalah orang yang dianggap sebagai guru dari Arkand Bodhana Zeshaprajna yang beberapa hari yang lalu meninggal di RS Bethesda. Doa terbaik untuk beliau. Tentu saja ilmu keduanya sama, bedanya Arkand lebih ilmiah pakai hitungan. Sedang teman saya ini, lebih mengandalkan naluri, insting, dan pengalaman yang konon lebih dari 40 tahun.

Bagi saya keduanya sama mistisnya. Sebab bagi saya, sebagaimana juga hari. Semua nama adalah baik. Saya penganut paham Shakespeare: apalah arti sebuah nama. Tapi karena terlalu sering ketemu dalam banyak meeting, saya juga bisa paham. Setidaknya saya mulai terpaksa belajar memahami.

Beliau ini, salah satu andalannya adalah logo Inter Milan. Dia yang diorder Eric Thohir mengubah sedikit tampilan logonya, hingga punya sedikit karakter keberuntungan. Konon dengan perubahan, sedikit lekak lekuk huruf, Inter Milan pernah jadi jawara di Seri A sekaligus mendapat treble di Eropa.

Jika ditanya kenapa gak bisa nembus lagi juara sejak itu. Nah di sinilah saya selalu sangsi pada hal-hal mistik kayak gini...

Tapi perbolehkan saya mencoba ikut menafsir, kenapa KAMI sebagai sebuah gerakan "moral" usianya cenderung pendek. Belum apa-apa mudah sekali digebuk, dan kalau kata Rizal Ramli cepat sekali berubah menjadi "juru bicara" pemerintah.

Pertama, Kami sebagai kosa kata. Menunjukkan irisan yang nyata, ia bagian dan tidak utuh. Cenderung egoistik, sektarian, dan partisan. Aku dalam jumlah banyak. Jika aku saja sudah cenderung sombong, maka kami adalah kumpulan kesombongan. Ia mendadak berposisi sebagai oposisi, sayangnya walau berisi kalangan tua, tanpa malu mereka turun ke jalan.

Sependek pengetahuan saya, orang tua yang berkeliaran di jalanan adalah gelandangan tunawisma. Yang semestinya disantuni negara. Ini melanggar prinsip alam, orang tua harus kembali ke menara gading, duduk di pohon tinggi dan memberi wejangan.

Mungkin konteksnya, mereka pun butuh "kembali" disantuni negara. Setelah sekian lama, diabaikan karena ketidak serba ini-itu-annya...

Kedua, akronim KAMI sendiri jelas adalah plagiasi dari gerakan yang dicetuskan lebih dari 50 tahun lalu. Sejarah memang bisa berulang, tapi tidak dalam nama yang berbeda kurun. Dulu seorang budayawan, yang mendadak kaya, karena bergabung dengan sebuah partai yang entah bagaimana cerita juga tiba-tiba sangat murah duit. Ia bersikukuh menghidupkan nama-nama lama untuk setiap produknya. Ia yakin bahwa setiap nama membawa mantra dan tuah. Sebut saja salah satunya Batavia Nouvelle, sebagai koran pertama yang pernah terbit di Jakarta.

Sempat terbit beberapa edisi, lalu tak jelas rimbanya. Saya berujar: wis tak bathin! Nama itu juga berkurun, bermasa, punya rentang pendek waktu....

Baca Juga: Gatot Nurmantyo, KAMI dan Bahaya Neo-Komunis

Ketiga, KAMI adalah akronim Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Bandingkan dengan KAMI lama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Persamaannya pada kata Aksi dan Indonesia. Kenapa yang tua relatif berhasil, yang kedua di ambang gagal total. Kuncinya pada kata "menyelamatkan" yang berwujud kata kerja.

Kata kerja dalam pembuatan nama perushaan atau gerakan seharusnya sangat dihindarkan. Penggunaan kata kerja itu pada akhirnya adalah suatu proses, bukan tujuan. Sesuatu yang tak pernah selesai, berhenti sebagai angan-angan. Tak salah kalau banyak orang menyebut gerakan yang baru terlalu halu, ngayal!

Ia tidak belajar dari Amien Rais, yang juga pernah menggunakan teks "Selamatkan Indonesia". Boro-boro menyelamatkan orang lain, mereka punya kecenderungan menyelamatkan diri sendiri.

Keempat, sekali lagi mereka ceroboh dengan menggunakan kata "selamat, slamet". Dalam kultur Jawa, Slamet sebagai sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri. Kecuali sebagai nama orang, yang tak lebih sebuah doa dan harapan orangtua.

Dalam kultur Jawa, slamet bergerak dan bekerja dengan idiom Slamun, Slumun, Slamet. Yang maknanya orang harus bekerja keras dulu, harus kreatif dan inovatif. Bila pun slamet itu dimaknai sebagai keberuntungan, atau dalam bahasa spiritual seizin Tuhan. Lah ini, gak ngapa-ngapain cuma modal conthong: bagaimana mungkin mereka akan selamat?

Lagi pula seberapa kritis sih Indonesia saat ini? Bukankah gerakan sejenis ini yang membuat Indonesia justru malah jadi "kritis". Mangkanya, ketika polisi berhasil membongkar rencana jahat mereka. Justru orang-orang yang berada di seberangnya yang berujar: Slamet, untung tidak kejadian...

Kelima, ketulusan dari gerakan ini. Mereka ini, siapa pun, yang tergabung dalam gerakan yang mendaku moralis itu. Sesungguhnya justru adalah orang-oran yang pernah duduk di bangku kekuasaan, mereka tahu betul bagaimana menyalurkan gagasan. Mereka jelas punya koneksi "orang dalam", tapi mengapa memaksa "main di luaran".

Gampang sekali ditebak, diluar mereka ingin "short cut" memperoleh publikasi. Juga barangkali mereka tak dianggap lagi. Karena itulah, mereka sangat memahami pilihan cara gerak-nya dengan "menunggangi moment".

Dan cilakanya moment-nya adalah keberatan tentang UU Cipta Kerja. Apa pun namanya UU-nya, sebetapa pun baik atau buruknya. Yang paling penting adalah implementasi dan penjelasan-penjelasannya. Dalam titik ini kenapan yang dikedepankan bukan dialog?

Sebentar lagi, kita akan disajikan drama korupsi yang lebih besar dari Jiwasraya yang terjadi di era SBY. Saya tak mau mendahului, walau tahu. Menjelaskan kenapa mantan-mantan jendral ini pada kalang kabut, menaikkan nilai tawar, menunggangi buruh, mahasiswa dan kaum pengkapling surga. Motivasinya sangat jelas: menyelamatkan diri sendiri?

Diri sendiri dan kroni-nya yang memaksa orang lain untuk disebut atau menyebut diri Indonesia. Sembarangan pakai banget!

Indonesia yang jatuh harga di tangan mereka, orang-orang yang tidak kreatif. Orang-orang yang selamanya hanya berbicara tentang dirinya sendiri. Para maling duit negara, yang hanya karena pernah berkuasa lalu merasa bahwa mereka pewaris saha dan terakreditasi untuk negeri ini.

Bah, babah! Mungkin memang benar, Indonesia harus segara kembali berganti nama Nuswantara.

***