Sebagai masyarakat biasa, kita tidak perlu terbawa arus pikiran politisi gagal dewasa, karena mereka memang sedang tidak melakukan apa-apa, mereka hanya bicara yang tidak ada isinya.
Menjadi politisi itu tidak mudah, ada tanggung jawab besar di pundaknya, harus mampu mendidik masyarakat dengan perilaku yang baik, karena politisi itu 'role model' pemimpin bangsa.
Kedewasaan berpikir seorang politisi adalah kedewasaan secara mental, emosional, dan spiritual. Sementara kedewasaan intlektual hanyalah faktor pelengkap kedewasaan lainnya. Tanpa itu semua, maka muncullah istilah "Politisi Gagal Dewasa"
Politisi yang "Gagal Dewasa" (pinjam istilah Gus Ulil), sama seperti kaum agama yang Gagal Dewasa, dikarenakan pandangannya yang sempit dan kekanak-kanakan, mudah marah sebelum tahu jelas duduk persoalan.
Inilah fenomena yang terjadi dewasa ini, mereka ini rerata sulit menerima perbedaan pandangan, terlalu berpikir mainstream dalam alam pikiran konvensional, sehingga yang pikiran yang terlalu terbuka dianggap liberal.
Betapa susah mereka mencerna alur berpikir seperti Arief Poyuono yang kadang meletup-letup, padahal cara berpikir yang ekstrim dan berani seperti itu, sangat dibutuhkan didalam dunia politik.
Dengan Gagal Dewasa, maka kita bisa melihat kegagalan mereka dalam melihat alur berpikir Presiden Jokowi, mereka yang gagal dewasa, orang lain yang disalahkan.
Menjadi orang nomor satu di Indonesia itu tidak mudah, bukanlah orang bodoh yang ujug-ujug terpilih menjadi Presiden. Kita menyaksikan berapa banyak orang yang ingin menjadi Presiden, tapi tidak pernah jadi.
Kalau kata Dahlan Iskan, untuk menjadi Presiden, usaha manusia cuma 10 persen, 90 persen sisanya adalah campur tangan Tuhan. Artinya kalau Tuhan tidak meridhoi, tidak akan menjadi Presiden.
Banyak langkah yang tidak populis, secara berani diambil oleh Presiden Jokowi, meskipun banyak penolakan, namun secara konsisten dan penuh keyakinan tetap dilaksanakan, begitu melihat hasilnya semua terdiam.
Politisi gagal dewasa ini sekilas terlihat sangat vocal, dan cerdas, padahal tidak cermat dalam mengkritisi, bahkan hanya asal bunyi. Belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya, mereka sudah ramai di sosial media, seakan-akan peduli dengan keadaan negara dan bangsa.
Padahal mereka hanya sedang menaikkan populeritas, dengan perantara masalah yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Kalau ditanya solusinya apa, mereka pun tidak tahu cara mengatasinya.
Karena mereka bersuara memang bukan untuk mencari solusi dari masalah tersebut, mereka butuh masalah itu untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok mereka. Hampir rerata karakteriatik politisi gagal dewasa hampir sama.
Suara mereka nyaring terdengar, tapi tindakan mereka tidak ada. Mereka menciptakan kegaduhan di tengah kegaduhan yang ada. Mereka sangat menikmati fasilitas yang ada, tanpa sedikit pun merasa berdosa.
Kalau mau melihat mereka, bukalah media sosial, hampir setiap hari mereka bersuara, karena dengan cara itulah mereka bisa hidup. Tanpa media sosial, mereka bukalah apa-apa, hidup dan populeritas mereka ditunjang oleh media sosial.
Kalau mereka benar-benar bekerja untuk bangsa dan negara, mereka tidak butuh media sosial untuk membumikan diri mereka, karena dengan kerja dan karya, pastinya mereka akan tetap eksis di dunia politik.
Sebagai masyarakat biasa, kita tidak perlu terbawa arus pikiran politisi gagal dewasa, karena mereka memang sedang tidak melakukan apa-apa, mereka hanya bicara yang tidak ada isinya.
"Sejak zaman nabi sampai kini, tidak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik." (Pramoedya Ananta Toer)>
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews