Harmoko, Bukan Sekadar "Hari-hari Omong Kosong"

Sedipecatnya Harmoko selaku Menpen, Pak Harto tidak mau mempermalukan bekas anak buahnya di mata publik. Mungkin juga melihat jasa-jasa yang diberikannya selama ia menjadi pembantuya di kabinet.

Jumat, 30 November 2018 | 07:38 WIB
0
1093
Harmoko, Bukan Sekadar "Hari-hari Omong Kosong"
Harmoko dan Soeharto (Foto: Beritaeksis.com)

Lagi asyik ngopi di "Tenda Biru" warung samping DPR, tiba-tiba Siemens S4 di saku celana berdering. Otomatis saya mengangkatnya. James Novak Luhulima menelpon. Pasti ada informasi penting. "Ya, James!" sahutku sebelum disapa.

"Pep, Elu di mana?" terdengar pertanyaan standar dari balik kotak henpon yang lumayan keren pada masanya, di tahun 1997. Saya jawab sedang di DPR. Liputan saya memang di sana selain "nglencer" ke partai-partai politik. "Ada perintah, James?" tanya saya kepada atasan saya itu.

"Coba elu ke DPP Angrek Nelly, cari Harmoko di sana, dia dipecat tuh!"

"Dipecat selaku Ketua Umum Golkar atau Menpen, James?"

"Ya elu tanya dia langsung!"

Di lapangan, saya belum mendengar kalau Harmoko selaku Menteri Penerangan -jabatan yang disandangnya saat itu selain Ketua Umum DPP Golkar- dipecat dan diganti oleh sosok lain. Bisa juga kemungkinan pemecatan terjadi pada dirinya selaku orang nomor satu di Golkar. Ini baru berita, pikir saya.

Saya cabut dari "Tenda Biru", nama yang diambil dari judul lagu yang dinyanyikan Dessy Ratnasari yang saat itu masih ngetop. Belakangan artis "No Comment" yang pada zaman Orde Baru diisukan jadi pacar Menteri sekaligus pengusaha Abdul Latief itu malah menjadi Anggota DPR. Tetapi ia tidak akan pernah tahu di sana ada "Tenda Biru", warung yang tendanya memang biru.

Dengan mengendarai Vespa pinjaman dari kantor, saya ngebut kantor DPP Partai Golkar di kawasan Slipi, tepatnya Jalan Anggrek Nelly Murni. Tidak lupa membayar kopi dua cangkir. Ya sudah, saya sekalian duhur di sana saja. Di dalam perjalanan, saya membayangkan sosok menteri berambut klimis yang punya narasi tersendiri, yaitu, "Menurut petunjuk Bapak Presiden!"

Informasi itu memang sahih, di saat media sosial belum lahir dan media online masih terbatas dalam memberitakan peristiwa, unsur kasak-kusuk masih dominan. Tetapi di level Redpel atau Pemred sebuah media, informasi bahwa Harmoko dipecat sebagai menteri sudah merambat.

Jadi ketika kemudian saya berhadapan langsung dengan Harmoko di pintu masuk kantor DPP Partai Golkar saat dia ke luar, wartawan tidak harus bertanya kebenaran akan berita pemecatannya itu. Wartawan langsung bertanya, "Apakah ada pemberitahuan sebelumnya dari Presiden Soeharto?"

Harmoko memang jagoan dalam menjawab. Ia tidak menjawab langsung pertanyaan itu. Sebagai mantan wartawan, ia sudah terlatih baik saat harus bertanya maupun berkilah. "Begini, Saudara-saudara....," katanya membuka jawaban. Selanjutnya Harmoko mengutip pepatah lawas bahasa Jawa.

"Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan!"

Sebagai orang yang sering mendengar bahasa Jawa dari percakapan teman-teman di kantor, saya paham makna "telu ojo" dalam bahasa Jawa itu; jangan mudah keheranan, jangan mudah menyesal, dan jangan mudah kagetan. Mohon koreksi kalau saya keliru!

Saya pikir, itulah akhir karier Harmoko sebagai politikus di bawah kuasa Orde Baru. Ia telah didapuk sebagai Menteri Penerangan menggantikan Ali Moertopo di tahun 1983. Artinya, pada tahun 1988 dan 1993 ia dipilih kembali oleh Soeharto di posisinya yang sama, tiga periode bertutur-turut. Betapa moncer karier dan prestasinya, bukan?

Setelah 14 tahun memimpin Departemen Penerangan, Harmoko akhirnya dilengserkan oleh orang yang mengangkatnya. Itulah satu-satunya "reshuffle" Kabinet Pembangunan yang didirikan Soeharto kalau itu boleh dikatakan sebagai "kocok ulang". Mungkin istilah ini kurang tepat. Yang lebih tepat ya dipecat itu.

Apa alasan Harmoko dipecat Soeharto?

Ini yang menarik. Informasi akurat yang beredar saat itu, Harmoko sudah terlalu jauh melenceng membawa Golkar. Ia kerap jalan sendiri, tidak sesuai dengan maunya Pak Harto.

Padahal, Golkar itu bikinan Soeharto dan Harmoko harus disebut sebagai "orang upahan" atau "petugas partai" saja di sana. Kebetulan dia juga Menpen. Saat memimpin Golkar, kerap ia bentrok dengan "unsur militer".

Tetapi bisa jadi di mata Soeharto, Harmoko makin lama makin populer, makin "dekat" dengan rakyat sebab sering turun ke pelosok-pelosok desa. Harmoko juga menguasai "corong pemerintah", yaitu TVRI, RRI dan sejumlah media yang berafiliasi ke (pejabat) pemerintah.

Pendek kata, intensitas Harmoko tampil di media pemerintah itu jauh lebih besar tinimbang Presiden-nya sendiri hahaha....

Sepertinya berkelakar, tetapi mungkin juga ini salah satu pertimbangan mengapa Harmoko harus segera dilengserkan.

Saudara-saudara perlu tahu bahwa Golkar dan Militer (ABRI) adalah mainan kekuasaan Soeharto selain PNS. Ada istilah ABG pada masa itu, yaitu ABRI-Birokrasi-Golkar, tiga anasir yang dipelihara Soeharto sebagai kekuatan utama kekuasaannya.

Tetapi isu yang juga berembus saat itu, Golkar sudah saatnya dipegang dan dikendalikan salah satu anak biologisnya, yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana (namanya saat itu memang demikian). Hampir seluruh putra-puteri Soeharto ada di mesin politik Golkar dengan berbagai jabatan yang mereka sandang, berbagai formasi yang mereka isi.

Tetapi dalam konteks birokrasi dan kekuasaan Orde Baru, Harmoko yang kemudian digantikan oleh R Hartono, seorang Jenderal TNI Angkatan Darat yang dekat dengan Cendana, adalah fenomena tersendiri. Banyak cibiran mampir ke alamat dirinya, misalnya namanya, Harmoko, kerap diplesetkan menjadi "Hari-hari Omong Kosong".

Padahal coba lihat prestasi Harmoko saat menjadi Menpen selama 14 tahun, menyebut kata "Temu Kader" (untuk konteks Golkar), "Safari Ramadhan" dan bahkan "Kelompencapir", adalah hasil karyanya. Tiga istilah sekaligus kegiatan politik pada masa itu adalah hasil karya nyata Harmoko.

Tetapi begitulah, orang yang sudah dinilai "macam-macam" di mata Soeharto, ia harus secepatnya dilengserkan. Jangankan mengganti pembantunya seperti Harmoko, bahkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Ketua PB Nahdlatul Ulama dan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua PDI, mau dilengserkan juga. Gus Dur bisa bertahan, tetapi Megawati lewat.

Sedipecatnya Harmoko selaku Menpen, Pak Harto tidak mau mempermalukan bekas anak buahnya yang dulu paling setia itu di mata publik. Mungkin juga melihat jasa-jasa yang diberikannya selama ia menjadi pembantuya di kabinet. Soeharto kemudian menciptakan jabatan baru bagi Harmoko, yaitu Menteri Urusan Khusus.

Inipun kemudian diplesetkan jadi "Menrakus".

***