Memang rada sulit membedakan kapan presiden berperan sebagai capres atau sebaliknya. Begitu juga sulit membedakan kapan gubernur atau bupati berperan sebagai timses atau sebaliknya. Kalau Anies memang tidak tercatat sebagai timses. Kalau pro Prabowo, pastilah.
Kalau dia berpose dua jari di acara internal Partai Gerindra, itu aksi satu-satunya. Kan dia lagi berperan sebagai Anies karena sudah mengirim izin cuti ke Mendagri. Lagipula hanya berlangsung dalam hitungan detik. Kalau yang agak lamaan sewaktu menyambut kedatangan tim supporter Persija. Maklum, lambang jari Persija dengan lambang jari Prabowo Sandi kebetulan sama. Kalau Roger bilang, itu lambang akal sehat.
Cara yang paling mudah membedakan capres dengan presiden adalah dari kegiatannya. Kalau memakai mobil dinas lengkap dengan protokolernya, ya itu berarti sedang berperan jadi presiden. Ini penting.
Misalnya, presiden datang ke Ponorogo dalam rangka perjalanan dinas membagikan sertifikat tanah. Selagi berperan sebagai presiden, dia harus berada di atas semua golongan. Dalam musim pilpres ini presiden juga harus berada di atas dua lambang jari yang lagi cari perhatian.
Kalau rakyatnya menyambut kedatangannya dengan salam dua jari, ya mesti dipahami sebagai sambutan rakyat setempat yang kebetulan pro Prabowo. Karena berperan ganda, orangnya itu-itu juga, presiden mau tidak mau ya mesti membalas dengan lambaian tangan lima jari biar netral gitu.
Begitu juga jika disambut dengan lambang jempol atau satu jari, ya tetap dibalas dengan lambaian lima jari. Soal tafsir Hersubeno Arief yang bilang, sambutan dua jari itu sebagai bentuk pembangkangan rakyat (social disobedience) itu urusan pengamat.
Jadi, kalau misalnya ada DPD atau DPC salah satu parpol koalisi petahana mengadukan aksi lambaian dua jari itu ke Bawaslu, relevansinya apa? Peran sebagai presiden kan nggak ada urusan dengan Bawaslu. Presiden kan berada di atas dua golongan yang beda lambang jari. Kalau presiden datang sebagai capres menemui relawannya, lalu disambut dengan lambaian dua jari, beda lagi ceritanya.
Paspampres juga mesti berperan ganda. Kalau lagi mengawal presiden, ya biarain saja orang mau ikutan foto bareng presiden dengan lambang satu jari atau dua jari. Kalau lagi ngawal capres, boleh lah tertibkan lambang dua jari.
Goodbener Anies Baswedan kalau ada yang menyambut dengan salam satu jari juga pasti cuma senyum-senyum saja. Sebagai gubernur kan dia juga harus berada di atas dua golongan lembang jari. Dipanggil Bawaslu saja dia hadapi sendirian, apalagi cuma urusan jari. Soal banyak yang marah melihat Anies diperlakukan sebagai pesakitan di kantor Bawaslu, ceritanya beda lagi. Itu soal rasa keadilan yang terusik.
Nah, kalau rasa keadilan sudah terusik, biasanya lambang dua jari itu nggak peduli lagi, mau presiden berperan sebagai presiden atau capres, pokoknya selfie foreground lambang dua jari dengan background presiden atau capres rasanya puas saja, gitu. Kalau sudah tahap itu, bolehlah disebut sebagai pembangkangan rakyat atawa social disobedience.
Terus, membedakannya gimana? Mau tahu banget atau mau tahu saja? Nanti saya kirim kisi-kisinya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews