Mencegah HTI, Lebih Baik daripada Menyesali Runtuhnya NKRI!

Rabu, 10 Oktober 2018 | 15:12 WIB
0
490
Mencegah HTI, Lebih Baik daripada Menyesali Runtuhnya NKRI!

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto telah mengumumkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat.

Apa yang dilakukan Pemerintah terhadap HTI, bukan berarti pemerintah anti terhadap keberadaan ormas Islam. Pembubaran HTI, semata-mata untuk menjaga dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Perlu diketahui, gagasan besar Hizbut Tahrir, yang dinamakan dengan Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (2009) itu dijadikan pegangan HTI.

Manifesto itu terangkum dalam sebuah buku setebal delapan puluh halaman, yang berisi sembilan bab pembahasan, mulai dari sistem pemerintahan ketika Khilafah berdiri, sistem ekonomi, sistem peradilan, sistem pergaulan, media dan informasi, politik luar negeri, politik dalam negeri, dan strategi pendidikan.

Dalam manifesto itu, HTI menyatakan diri menentang keras konsep-konsep yang lahir dari paham sekulerisme seperti demokrasi, patriotisme, sosialisme dan kapitalisme atau isme-isme lain. Titik temu dari manifesto tersebut terletak  pada sosok kekhilafahan  seperti apa yang dimaksud oleh HTI.

 

Bubarkan Hizbut Tahrir, Fadli Zon Nilai Pemerintah Ngawur Fadli Zon Menilai Langkah Pembubaran HTI Tidak Tepat. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)

 

HTI Layak Dibubarkan

Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia oleh Pemerintah adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ini menyangkut eksistensi NKRI. Mungkin saja, banyak kalangan menilai bahwa tindakan Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini terlalu gegabah, dan terkesan dipaksakan. Komentar bernada miring ini banyak kita temui, khususnya dari kalangan yang selama ini berseberangan dengan Jokowi. Tentu saja ada tujuan politik dari penolakan ini, dibandingkan keinginannya menjaga keutuhan NKRI.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, menilai pembubaran HTI merupakan bentuk pencabutan hak warga negara dalam berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, menurut Fadli, pembubaran Ormas secara sepihak juga merupakan kemunduran dalam sistem demokrasi yang dianut oleh negara. Bahkan ada dugaan, pembubaran HTI oleh pemerintahan Joko Widodo bisa jadi adalah proses untuk membubarkan ormas Islam lainnya.

Lain halnya yang dikatakan Din Syamsuddin, tokoh Muhammadiyah ini menilai cita-cita atau wacana pendirian negara khilafah oleh HTI tak perlu direspon pemerintah dengan menuding mereka sebagai kelompok anti-Pancasila. Menurut Din, khilafah bagi umat Islam layaknya eksistensi Vatikan yang menjadi kiblat umat Katolik di seluruh dunia.

Namun, jika kita melihat keberadaan Hizbut Tahrir di beberapa negara, apa yang dilakukan Pemerintahan Jokowi yang melakukan pembubaran HTI sangatlah tepat dan beralasan.

Negara-Negara yang Melarang Hizbut Tahrir

Di antara negara-negara yang secara tegas melarang aktivitas Hizbut Tahrir, mempunyai berbagai alasan yang kuat. Di Yordania misalnya, Hizbut Tahrir sudah dilarang sejak 1953 karena dianggap mengancam kedaulatan negara. Begitu pula, dengan negara tetangga kita Malaysia, yang mulai melarang keberadaan Hizbut Tahrir pada 2015 dengan alasan sebagai kelompok yang menyimpang. Di Tiongkok, Hizbut Tahrir dilarang sejak 2006 lalu dengan alasan organisasi ini dianggap sebagai kelompok teroris.

Demikian pula yang dilakukan Kerajaan Arab Saudi, keberadaan Hizbut Tahrir dilarang di era Raja Abdul Aziz pada tahun 1950-an, karena Hizbut Tahrir dianggap sebagai ancaman kerajaan. Sedangkan di Eropa, Hizbut Tahrir dilarang di Jerman dan Rusia. Kedua negara tersebut melarang Hizbut Tahrir sejak 2003.

 

Negara-negarayang Menolak Hizbut Tahrir/https://twitter.com/Kemenkumham_RI

Alasan yang membuat pemerintah membubarkan HTI,di antaranya HTI dianggap tidak melaksanakan peran positifnya untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan nasional, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan aktivitas dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan, ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

 

Secara prinsip, HTI memang melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya, atau bahkan tindakan biadab, seperti yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1948 dan 1965. Namun, jika dicermati, bahwa HTI memang tidak menggunakan kekerasan, namun terkadang mendukung orang lain yang melakukannya.

Sejumlah aksi kekerasan dan teror, ternyata meninggalkan jejak bahwa pelakunya merupakan eks (bekas) anggota Hizbut Tahrir. Seperti Bahrun Naim, orang yang dituduh melatari aksi bom di Sarinah pada Januari 2016 ini, ternyata pernah bergabung di Hizbut Tahrir, sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada ISIS.

Kitab Mafahim Hizbut Tahrir

Memamg diakui, HTI tidak melakukan kekerasan dalam menyebarkan dakwahnya. Namun, HTI tetap perlu diwaspadai karena memiliki agenda mengubah sistem pemerintahan RI menjadi khilafah.

Hal tersebut perlu dikaitkan dengan kitab Mafahim Hizbut Tahrirkarya Syaikh Taqiyuddinan-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir). Dalam kitab itu, disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan politiknya, HT (termasuk HTI) menempuh tiga metode/tahapan dakwah. Ketiga metode tersebut, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalahats-tsaqif), tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalahtafa'ulma'aal-ummah), dan tahap menerima/meraih kekuasaan (marhalahistilaamal-hukm).

Tahapan pembinaan dan pengkaderan dilaksanakan dengan membentuk kelompok-kelompok pengajian kecil dengan tujuan doktrinasi kepada para kader. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan berinteraksi dengan masyarakat, yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk dakwah secara personal, tabligh akbar, seminar, diskusi terbuka, dan bahkan aksi unjuk rasa. Tujuannya untuk menyadarkan umat (masyarakat non-HTI) bahwa seluruh permasalahan yang ada saat ini bersumber dari ketiadaannya khilafah selaku institusi yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.

Hingga saat ini, baru kedua tahapan di atas yang telah dilakukan HTI secara simultan dan berkesinambungan. Adapun untuk tahapan ketiga, atau tahap menerima/meraih kekuasaan, belum dilakukan oleh HTI maupun Hizbut Tahrir di belahan dunia manapun. Alasannya sederhana, karena belum adanya kemampuan untuk melaksanakan tahapan tersebut. Namun demikian, justru di tahapan terakhir inilah terletak potensi "ancaman" HTI terhadap NKRI dalam tataran empirik.

Dengan demikian, pembubaran HTI yang dilakukan Pemerintah merupakan langkah preventif untuk mencegah hal-hal yang ditakutkan bangs dannegara ini ke depannya. Bukankah mencegah berkembngnya HTI itu lebih baik, daripada menyesali keruntuhan NKRI? Pembubaran HTI ini, mendapat dukungan dari mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurut Gatot, bukan hanya HTI, organisasi apapun yang hidup di negara ini harus berdasarkan Pancasila.

***