Masyarakat menolak buruh mogok dan demo yang rencananya akan dilakukan pada 6-8 Desember 2021. Selain menghambat pemulihan ekonomi nasional, mogok kerja dan demo buruh berpotensi memicu kluster baru Covid-19.
Permasalahan gaji selalu menjadi isu yang sensitif karena bagi beberapa orang nominalnya kurang. Padahal besar kecilnya gaji itu relatif, dan pengusaha sudah berusaha menaati peraturan dengan memberi gaji karyawan sesuai dengan UMP. Mereka sadar bahwa saat ini banyak yang kesusahan akibat corona sehingga pemberian gaji tidak dipotong sama sekali, walau keadaan sedang belum stabil.
Tiap tahun juga ada kenaikan gaji bagi para pegawai, sesuai dengan ketentuan yang ada. Akan tetapi para buruh selalu protes. Tahun ini ada kenaikan gaji tetapi mereka merasa kurang, sehingga akan melakukan mogok kerja. Ketua KSPI Said Iqbal menyatakan bahwa mogok massal akan dilakukan secara nasional karena para buruh tidak setuju akan kenaikan gaji yang hanya 1%.
Said Iqbal melanjutkan, mogok kerja akan dilakukan oleh lebih dari 2 juta buruh dan mereka memprotes akan kenaikan gaji yang dianggap kurang sesuai. Mereka juga tidak menyetujui formula batas bawah PP nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan.
Padahal kenaikan gaji ini sudah jadi kesepakatan, sehingga tidak bisa dianulir. Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani menyatakan bahwa mogok kerja boleh dilakukan asal ada ketidak sepakatan antara pengusaha dan buruh. Dalam artian, jika sudah ada kenaikan gaji maka mau tak mau buruh menyetujuinya, karena sesuai dengan aturan pemerintah. Sehingga dalam hal ini tidak ada ketidak sepakatan antara kedua belah pihak.
Buruh seharusnya bersyukur karena ada kenaikan gaji walau 1%, daripada stagnan atau bahkan dipotong. Apa para buruh ingin bernasib seperti kawan mereka di pabrik lain yang mau tak mau dilakukan potong gaji, agar perusahaannya tidak bangkrut? Rasanya jika ada mogok kerja mereka tidak bersyukur, padahal UMP DKI Jakarta lebih dari 4 juta rupiah.
Selain itu, mogok kerja dikhawatirkan memicu kluster corona baru. Jika ada aksi mogok maka buruh akan berkumpul dan biasanya melakukan long march sebagai bentuk perlawanan. Padahal kegiatan ini membentuk kerumunan karena para buruh berdiri berdempetan sebagai solidaritas, sehingga tidak bisa jaga jarak dan melanggar protokol kesehatan.
Apalagi saat mogok kerja rata-rata kepanasan dan para buruh akhirnya membuka masker. Ketika masker tidak dikenakan, di sanalah virus covid-19 menyerang, dan mereka bisa bernasib naas karena tidak tahu siapa di antara kawannya yang bersatus OTG. Apalagi jika banyak yang belum divaksin, penyebaran corona akan makin mudah.
Jangan sampai mogok kerja beujung petaka karena akhirnya mereka semua kena corona. Walau sudah mencuci tangan, para buruh yang mogok bisa saja lupa dan melepas masker, lalu berjabat tangan, memeluk kawan-kawannya dan duduk berdempetan. Mereka melanggar beberapa poin dalam protokol kesehatan sekaligus.
Jika terbentuk klaster corona baru akibat pemogokan maka buruh sendiri yang kena batunya. Mereka harus beristirahat selama minimal seminggu dan ketika masih berstatus buruh harian, terpaksa tidak mendapatkan upah. Maksud hati ingin menaikkan gaji, yang ada malah menderita karena corona.
Belum lagi resiko penularan corona di dalam rumah. Apakah mereka tidak takut jika berkontak dengan OTG saat mogok kerja, lalu menularkannya ke anak-anak tercinta? Alangkah menderitanya bocah cilik yang tak tahu apa-apa, tetapi menderita akibat keegoisan bapaknya.
Oleh karena itu hentikan rencana mogok kerja wahai para buruh. Ingatlah saat ini masih masa pandemi, sehingga berkumpul dan mogok adalah hal yang berbahaya, karena menyebabkan kerumunan. Daripada nanti kena corona dan menderita pada akhirnya.
Putu Prawira, Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews