Sejarah Kelam Timor Timur dan Bapak Saya

Selamat Hari Kemerdekaan, ingatlah setelah 1999 itu Indonesia bergerak jauh lebih baik berlipat-lipat dari negara yang menganggap kita sebagai sekedar penjajah itu...

Rabu, 18 Agustus 2021 | 10:53 WIB
0
213
Sejarah Kelam Timor Timur dan Bapak Saya
Ayahandaku (Foto: Dok. Pribadi)

Entah kenapa setiap kali Agustusan tiba, selalu saja ada momentum negara kita ini dihinakan sedemikian rupa justru sebagai "negara penjajah".

Entah itu karena persoalan HAM yang selalu diungkit-ungkit di Papua, atau yang paling sering kasus Timor Timur yang sebenarnya telah lama selesai. Tapi selalu saja ada alasan mengungkit-ungkit luka lama itu kembali.

Baru lalu ini, pemberian penghargaan kepada Eurico Gutteres dipermasalahkan, karena ia dianggap penjahat perang oleh warga Timtim. Dan seseorang menuliskan surat terbuka, yang mengingatkan betapa kejamnya dia dalam masa kekacauan saat peralihan Timtim dari sebuah provinsi bagian dari NKRI menjadi negara merdeka...

Halow, bukankah itu masa chaos dan rusuh. Di mana kondisi terburuk sangat mungkin terjadi, dimana kesalahan dan kejahatan bisa jadi ada pada dua pihak. Kenapa kita tak bisa saling memaafkan dan melupakan masa lalu yang sungguh brengsek itu. Seolah yang menjadi korban melulu masyarakat Timtim, sedangkan warga Indonesia hanya jatuh harga sebagai agresor, aneksator, penjajah, bla bla bla yang serba hitam, laknat, dan hina!

Padahal realitanya tidaklah seperti itu.

Perkenakan saya sedikit berkisah, bahwa keluarga besar kami adalah salah satu dari sedikit warga yang juga berkorban cukup banyak untuk daerah tersebut. Bukan sebagai apa-apa, tapi melulu sebagai "manusia untuk manusia". Atas dasar nilai-nilai kebajikan kemanusiaan. Tak lebih!

Pada tahun 1975, bapak saya selulus dari Fakultas Farmasi UGM, kemudian mendapat kesempatan "double rejeki". Bekerja di perusahaan farmasi di Australia, sekaligus menempuh pendidikan Pasca Sarjana di negeri kanguru tersebut.

Bagi orang desa dari latar belakang "wong tani utun", yang berasal dari kota yang tidak populer seperti Magetan. Tentu kabar baik itu langsung terdengar ke seluruh desa. Kakek saya yang miskin, pun bapak saya yang sekedar bisa selesai kuliah. Karena ibu mau banting tulang kerja pagi, siang, malam untuk membiayai bapak. Tentu tak punya cukup uang untuk sekedar membuat syukuran mangayubagya dan sekedar pamitan.

Entah bagaimana caranya, mbah kakung saya bisa melakukannya. Bahkan saking bangganya membiayai kami sekeluarga pulang ke Magetan dari Jogja. Sebuah pesta yang cukup meriah untuk ukuran kami saat itu. Menyembelih kambing dan acara terbangan ala Santri-Kejawen waktu itu.

Bagi saya kakung saya ini manusia paling asyik sedunia, kalau waktunya shalat ia tak pernah alpa pergi ke masjid. Tapi setiap malam tak pernah absen cakrukan, main kartu selepas Isya hingga Shubuh menjelang. Orang kampung menyebutnya main ceki. Belakangan kami tahu, komunitas inilah yang membiayai perayaan tersebut....

Singkat cerita, Bapak berangkat duluan ke Australia. Rencananya beberapa bulan kemudian kami akan menyusul, sambil ibu bersiap-siap mengurus pengunduran dirinya dari PNS di Dinkes DIY. Puluhan tahun kemudian, baru saya tahu ibu terhambat tidak boleh keluar dari Jogja, karena ialah penanggung jawab penyaluran bantuan pangan untuk anak-anak kurang gizi dari UNICEF untuk Provinsi DIY.

Di tengah keribetan itulah, kemudian keluar kabar yang benar-benar buruk. Bapak mendapat panggilan Wajib Militer (WAMIL) untuk turut berjuang dalam masalah Timtim.

Tentu bagi keluarga saya hal ini cukup aneh. Bapak saya ini perawakannya kecil, badannya kerempeng seolah kurang gizi. Sama sekali tidak pantas untuk menjadi tentara. Dan bagian terburuknya, posisi Bapak sudah di luar negeri dan terikat kerja dengan perusahaan asing. Pertanyaan bodohnya, apa gak ada orang lain?

Kasus yang menimpa bapak cukup pelik, karena menyangkut hubungan antar-negara. Tentu perusahaan tempat bapak bekerja tak semudah itu melepaskan, karena sudah keluar biaya ini itu. Hingga akhirnya Atase Pertahanan dari Kedubes RI di Canberra turun tangan, dan entah bagaimana prosesnya. Bapak akhirnya berhasil diseret pulang ke Indonesia. Tentu saja dengan perasaan malu, jengkel, dan hati hancur. Karena berarti segenap harapannya tiba-tiba menguap begitu saja....

Setiba di Indonesia, Bapak baru tahu bahwa ia merupakan salah satu orang yang dipilih untuk mendirikan Pabrik Obat Militer di Bandung. Di sebuah bekas gudang senjata yang tak jauh dari Stasiun Andir. Lembaga yang mula-mula dinamai Pobekkesau (Pusat Perbekalan Kesehatan AU), kemudian saat bapak jadi direktur berubah nama Lembaga Farmasi Angkatan Udara (Lafiau).

Kenapa di Bandung? Karena di kota inilah menjadi salah satu pangkalan udara yang memiliki hanggar untuk Pesawat Hercules. Dan dari sinilah seluruh kebutuhan obat-obatan dan medis untuk perjuangan Timor-Timur dikirimkan.

Karena rasa malunya, Bapak nyaris 10 tahun tak pernah pulang kampung ke Magetan. Syukurlah Mbah Kakung dan Mbah Putri kersa ngalahi menengok ke Bandung, bila kangen pada anak dan cucu-cunya...

Hal tersebut berlangsung nyaris selama 25 tahun, hingga terjadi huru-hara yang berujung pada Referendum dan lepasnya Timtim menjadi negara merdeka. Peristiwa ini tentu saja memukul perasaan Bapak, yang menghabiskan nyaris separuh hidupnya untuk melayani kebutuhan kesehatan tidak hanya bagi keperluan militer dan pegawai sipil. Namun terutama juga apa dan siapa yang selalu disebutnya dengan bangga sebagai "Sedulur-dulur Timor Timur".

Lepasnya Timor Timur, bagi bapak, teman-temannya sekantor dan barangkali warga TNI-AU se-Lanuma Husein Sastranegara merupakan pukulan ganda yang telak. Seolah-olah hidup mereka dihancurkan dua kali oleh BJ Habibie yang dianggap Bapak Teknologi Indonesia itu. Setelah sebelumnya pangkalan ini seolah direbut, dijajah dan dianeksasi oleh IPTN. Hingga warga AURI malah kayak numpang di rumahnya sendiri. Eh kemudian Timor Timur malah dilepaskan begitu saja....

Terlalu banyak bukti ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan warga Indonesia juga pernah berkorban dengan tulus untuk Timor Timur. Bagi saya, yang kebetulan warga Jogja. Guru-guru saat saya sekolah di Marsudirini, tiba-tiba juga di-Timor-Timurkan. Banyak PNS di nyaris semua instansi juga demikian.

Semua rata-rata karena beragama Katolik. Dengan harapan proses kemajuan di Timor Timur bisa diakselerasikan dengan cepat. Bahkan bus kota Tata yang semula menjadi kendaraan transportasi perkotaan pun di kota kami pun, juga dialihkan untuk memenuhi kebutuhan warga Timor Timur.

Dan apa balasannya: Indonesia justru dikenang sebagai penjajah yang laknat!

Semua tak lepas dari politik luar negeri double-standard dari Amerika Serikat. Negara inilah yang mula-mula mendorong Indonesia untuk membantu Timor Timur agar tidak jatuh menjadi negara komunis. Tapi ketika persoalan itu bisa diatasi, dan kemudian peta politik global berubah dan komunisme Rusia dan Eropa Timur jatuh. AS berubah haluan berbicara tentang penegakan HAM. Indonesia berubah dari hero menjadi zero. Makanya di Jogja ada idiom abadi bahwa "USA KUWI ASU!"

Apakah Timor Timur menjadi lebih baik selepas dari Indonesia? Saya tak berhak menjawabnya. Tapi bapak saya selalu masih suka bercerita pada saya bagaimana kemudian kekayaan minyak Timtim yang sebenarnya tidak seberapa itu telah habis dirampok Ostrali.

Bagaimana sampai hari ini, Timor Lorosae tidak kunjung memiliki mata uang sendiri yang kuat dan kredible, hingga ia masih tetap pakai US Dollar. Bagaimana ini, bagaimana itu.
Mungkin demikianlah cara orang tua, seperti bapak saya, harus menghibur diri atas kepahitan masa lalunya....

Kemerdekaan yang sangat mahal! Tentu Timor Lorosae tak akan pernah bergabung lagi menjadi bagian dari Indonesia, juga buat apa! Tapi setidaknya, tak perlulah saling mengejek dan mencela yang seolah tak ada habisnya. Biarkan saling mengurus negara masing-masing. Toh keduanya punya kepahitan, kegetiran, dan penyesalannya masing-masing...

Tidak di tingkat negara, dan bangsa. Tapi terutama dari dan bagi masing-masing kepala yang sebenarnya tak ada urusannya dengan politik atau kekuasaan. Urusan yang sekedar manusia ke manusia: antar manusia....

Selamat Hari Kemerdekaan, ingatlah setelah 1999 itu Indonesia bergerak jauh lebih baik berlipat-lipat dari negara yang menganggap kita sebagai sekedar penjajah itu...

NB: Perkenankan saya menyimpan sedikit foto-foto memori, saat perayaaan keberangkatan Bapak ke Australia. Suka cita dan kebanggaan yang pendek, karena kemudian bapak ditarik paksa untuk masuk camp militer di Sala.

Barangkali perasaan bapak waktu itu, nyaris menjadi manusia merdeka. Ditarik balik untuk jadi... Ah sudahlah!

Sungkem kagem bapak di Bandung.

***