Karena yang menjalankan roda Pertamina tetaplah Direktur Utama. Lagi pula sejak keluar dari penjara Ahok belum pernah lagi bersuara lantang, mengecam perilaku korup pejabat negara
Sekalipun menurutnya sendiri karir politiknya sudah tamat, tapi saya sejujurnya tak berharap Ahok, atau yang sekarang ingin dipanggil Basuki Tjahaja Purnama (BTP) berubah total dalam menyuarakan kebenaran. Ahok yang dulu bukanlah Ahok yang sekarang. Itulah transformasi yang dia alami sejak keluar dari penjara karena kasus penistaan agama pada 24 Januari 2019 lalu.
Setelah habis-habisan menggebuk para pejabat korup sejak menggantikan Jokowi yang naik menjadi presiden. Ahok pun akhirnya jatuh juga setelah terus digoyang oleh berbagai pihak. Ironisnya, jatuhnya Ahok pun menggunakan isu agama. Dengan doktrin dan kekuatan massa Hakim akhirnya memvonis Ahok dengan penistaan agama saat dia mengutip surat Al-Maidah ayat 51.
Ahok digoyang dengan demo besar-besaran, bahkan di rumah-rumah ibadah, siapa yang memilih Ahok diancam masuk neraka. Hingga akhirnya tepat setelah kalah dalam pilgub DKI Jakarta 2017 Ahok dijebloskan ke penjara. Perlawanan sempat muncul dengan aksi seribu lilin untuk Ahok, tapi tetap saja suara mayoritas menang.
Dalam pengakuannya Ahok banyak belajar dipenjara. Dia bahkan berkata, kalau dia tetap jadi gubernur, mungkin dia akan berkuasa atas DKI Jakarta dalam beberapa tahun, tapi dipenjara membuat dia belajar menguasai lidahnya seumur hidup. Memang ucapan Ahok yang keras kadang menimbulkan kontroversi dan sakit hati untuk beberapa pihak.
Tapi menurut saya, mungkin hanya beberapa kosa kata saja yang harus dieliminasi. Ya mungkin agar tidak ditiru anak-anak, dan masih dalam koridor kesopanan. Tapi sejatinya apa yang dilakukan Ahok memang perlu untuk membangkitkan spirit pemberantasan anti korupsi. Tentu seperti yang dicontohkan Ahok, menegur sekaligus membangun sistem yang membuat pejabat mustahil untuk korupsi. Seperti e-budgeting misalnya, dimana proses penginputan anggaran jadi satu pintu sehingga tidak bisa diotak atik banyak orang.
Memang akhirnya Jokowi menunjuk Ahok sebagai komisaris utama Pertamina, tapi rasanya posisi itu kurang greget untuk Ahok. Mungkin Ahok cocok untuk jadi ketua KPK, atau maju lagi sebagai kepala daerah. Saya jadi ingat kisah nabi Elia di Alkitab. Dalam 1 dan 2 Raja-raja dikisahkan Elia berjuang agar bangsa Israel dan raja Ahab menyembah Yahweh (Allah Abraham, Ishak, Yakub), tidak kepada dewa Baal yang dibawa oleh ratu Izebel, isteri Ahab, ke Israel.
Perlu diketahui Elia adalah salah satu nabi besar yang tercatat dalam Alkitab.Elia adalah nabi sejati yang berani menegur dengan keras raja Ahab dan para nabi palsunya. Elia dengan berani memperingatkan mereka tentang amarah Tuhan jika mereka terus berbuat dosa.
Sampai akhirnya Elia melalui kuasa Tuhan membuat hujan tidak turun sehingga terjadi kekeringan dan kelaparan.
Lalu setelah 3,5 tahun kekeringan dan kelaparan, Elia muncul dan meminta Ahab untuk mengumpulkan semua nabi Baal, 450 orang semuanya, untuk membuktikan siapa yang hidup, TUHAN atau Baal. Nabi-nabi Baal dan Elia masing-masing membuat mezbah dengan seekor lembu di atasnya, kemudian masing-masing harus meminta allahnya untuk mendatangkan api dari langit supaya membakar korban di mezbah.
Nabi-nabi Baal tidak berhasil, sedangkan doa Elia didengar TUHAN, yang mengirim api dari langit untuk membakar habis korban di mezbah. Setelah rakyat melihat itu, mereka mengaku TUHAN adalah Allah, lalu menangkapi semua nabi-nabi Baal dan Elia membunuh mereka semua di sungai Kison. Selanjutnya Elia berdoa dan turunlah hujan ke wilayah Israel.(1 Raja-raja 18)
Masih ada lagi contoh-contoh di Alkitab dimana nabi-nabi Allah menegur dosa dengan sangat keras. Tidak seperti sekarang ini, tokoh agama malah sibuk berpolitik, dan melemparkan ucapan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dosa. Tokoh agama saat ini tidak peka dan tak punya sensitivitas pada murka Allah.Terkhususnya di kalangan kristen, Pendeta bukannya menubuatkan bahayanya perbuatan dosa, tapi malah sibuk bernubuat tentang Corona, ekonomi, dan hal-hal aneh lainnya.
Maka saat itu, saya pikir, sekalipun bukan seorang pendeta, telah lahir seseorang yang menjalankan fungsi kenabian, yaitu Ahok.Dimana dia menegur dengan sangat keras perbuatan dosa.Saat ini, dikalangan kekristenan sendiri, tak banyak Pendeta yang bersuara layaknya nabi sejati seperti di perjanjian lama (Alkitab).
Bahkan tokoh agama secara umum, malah sibuk berpolitik, melempar isu yang tidak-tidak, menjilat pemerintah, memprovokasi umat, dan mengajarkan hal yang aneh-aneh.Maka kita perlu Ahok yang dulu, yang dengan keras mengecam perbuatan dosa, yang mana sudah pasti itu adalah pelanggaran hukum.
Di Alkitab dikisahkan, sejatinya nabi-nabi palsu, selalu bicara yang baik-baik untuk menyenangkan hati raja.Apapun yang terjadi, nabi palsu selalu menubuatkan hal-hal yang menyenangkan raja.Sampai akhirnya suatu hari, Israel harus dijajah, mengalami pembuangan dan kehilangan negerinya.
Tentu pemerintahan yang bersih harus didukung, tapi teguran keras tetap dibutuhkan, apalagi yang menyangkut moral dan akhlak umat dan pejabat.Karena pejabat yang di atas dan umat yang di bawah harus bersinergi dalam perilaku yang bersih.Maka kalau memang Ahok sudah "mati" maka kita rindu lahirnya Ahok-Ahok lain yang ganas seperti dulu.
Memang kita tidak tahu, bisa saja saat menjadi komisaris utama Pertamina Ahok tetap berkarya dalam melahirkan pejabat-pejabat yang bersih.Tapi tetap saja, jabatan komisaris utama Pertamina sangat terbatas. Karena yang menjalankan roda Pertamina tetaplah Direktur Utama. Lagi pula sejak keluar dari penjara Ahok belum pernah lagi bersuara lantang, mengecam perilaku korup pejabat negara, atau dalam hal ini pejabat BUMN.
Harusnya kalau Ahok benar, beliau tidak perlu takut untuk kembali menyuarakan kebenaran.
Penikmat yang bukan pakar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews