Fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto.
Soal JPO di jalan Sudirman yang tanpa atap akhirnya jadi polemik. Secara fungsional, JPO jelas untuk penyeberangan orang, makanya juga namanya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).
Atas dasar sense of aesthetics, untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, ada kepentingan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengubah bentuk JPO, yang tadinya tertutup menjadi terbuka.
Dan itu tidak semua JPO di jalan Sudirman dibuka atapnya. JPO yang terintegrasi dengan halte transjakarta tetap akan memakai atap. Hanya ditempat tertentu atas pertimbangan estetika yang buka atapnya.
Secara estetika memang terlihat Indah dan bagus, meskipun secara fungsional agak terabaikan. Dibukanya atap JPO tersebut pastinya bukan semata difungsikan untuk berswafoto, namun dengan dibuka atap JPO ditempat-tempat tertentu, masyarakat juga bisa berswafoto.
Seorang kepala daerah memang harus mempunyai inovasi, dan mau melakukan inovasi terhadap hal-hal yang dianggap perlu, dan Anies Baswedan punya hal itu.
Hal yang biasa setiap kebijakan akan menimbulkan pertentangan pendapat, tapi selama gagasan tersebut rasional, kenapa tidak dipertahankan.
Sebagai masyarakat, kita juga harus mau mendengarkan alasannya, dan ada hak untuk memberikan pertimbangan dan masukan yang lebih baik. Tapi semua keputusan tetap ada ditangan yang punya kebijakan.
Kalau menurut penulis, alasan dan pertimbangan yang disampaikan Pemprov DKI Jakarta, masih cukup masuk akal, dan dari hasil yang terlihat juga memenuhi persyaratan secara estetika.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan pada Tirto.id, tak hanya JPO itu yang atapnya dicopot. JPO yang ada di Jalan Sudirman-Thamrin memang akan dikonsep beratap terbuka.
"Jadi terbuka itu bisa melihat view dari Thamrin-Sudirman, trotoar yang sudah besar, lebar, dan bagus. Kemudian view ke gedung-gedung tinggi, menambahkan suasana dan pengalaman lain," katanya saat dihubungi Rabu siang.
Masih menurut Hari, pencopotan atap hanya berlaku pada JPO yang tak menyatu dengan halte Trans Jakarta.
"Konsep kedua, kalau memang dari awal tertutup seperti sebelahnya (JPO setelahnya yang terhubung dengan halte Trans Jakarta), menghubungkan ke halte, itu tetap kanopinya ditutup, bukan dibuka. Mosok orang mau naik TJ basah kuyup?"
Pencopotan atap JPO juga bertujuan agar masyarakat bisa swafoto dengan pemandangan itu.
"Pengalaman lain lagi nih. Selain untuk pejalan kaki, juga untuk swafoto, ber-selfie ria. Instagrammable-lah," katanya.
Kalau melihat alasan diatas, orientasi dari pembukaan atap JPO lebih kepada pemenuhan aspek Estetika, meskipun nilai fungsionalnya terabaikan. Tapi memang perlu dilihat terlebih dahulu problem kedepannya.
Yang perlu diantisipasi kedepannya, disaat musim hujan, jelas "ojek paying" akan marak disekitar JPO, karena mereka menjadi fasilitas alternatif bagi penyeberang yang ingin melintasi JPO.
Namun juga perlu dipikirkan, dimusim hujan lantai JPO akan terasa licin, faktor keselamatan pengguna JPO juga mesti dipikirkan, terutama dibagian tangga turun-naiknya JPO.
Pengamat tata kota Nirwono Ikut menanggapi pencopotan atap JPO di jalan Sudirman, menurutnya Pemprov DKI Jakarta harus lebih mengutamakan fungsionalnya JPO ketimbang aspek estetika-nya.
Fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto. Fungsi utama JPO adalah untuk menyeberang bukan berswafoto.
"Sebaiknya JPO itu ada atapnya untuk menyesuaikan musim dan cuaca di Jakarta, sebentar lagi sudah masuk musim hujan, apa akan ada yang mau menyeberang Dengan JPO terbuka tersebut,?" kata Nirwono seperti dilansir Antara, Kamis 7 November 2019. Sumber
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews