Mati Dua Kali, Sakit Berkali-kali

Bagi publik awam dan agamis, tentu kunjungan itu adalah teladan baik. Simbol kebesaran hati seorang adipati, pimpinan tertinggi negara terhadap rakyatnya.

Senin, 10 Juli 2023 | 18:33 WIB
0
222
Mati Dua Kali, Sakit Berkali-kali
Presiden Jokowi dan Cak Nun (Foto: Poskota .id)

Judul ini adalah terjemahan dari peribahasa Jawa, yang telah lama dilupakan. Lama dipendam dan dilupakan karena nilai "kekejian" yang tersimpan di dalamnya. Orang Jawa menyebut ada sifat "telengas" di dalamnya. Aslinya adalah "mati pindo, lara bola-bali". Sedemikian kejinya, sehingga sering diplesetkan untuk hal-hal yang lebih menyenangkan dan bernada lucu: "rabi pindo, kelon bola-bali". Nikah dua kali, kawin berkali-kali. Ah!

Kontekstualisasi idiom di atas ingin menegaskan bahwa budaya Jawa selamanya tidak pernah linier. Apa yang yang dianggap luntur di permukaan, sebenarnya justru menandakan akan muncul ledakan yang jauh lebih kuat. Apa yang dipahami secara wadag menjelang hilang-lenyap, justru perlambang akan kembalinya kekuatan original yang sesungguhnya. Apa yang dianggap era terjajah, justru adalah masa kebangkitan yang akan datang menjelang.

Ketika di situasi hari sebagai yang dianggap puncak era "wong Jawa ilang Jawane". Ketika orang Jawa kehilangan jati dirinya, malu dengan masa lalunya, dan hanyut sebgai pengekor dalam banyak hal. Bagi sebagian orang justru dianggap sebagai masa-masa akan berbaliknya situasi. Setelah konon selama 500 tahun "Jawa dipinjamakan", dan cepat lambat akan jatuh tempo untuk dikembalikan pada nilai-nilainya yang paling original dan membumi. 

Dimana, di masa yang konon "agama budi" akan kembali hadir. Budi baik yang dipahami secara sosial-ekonomi sebagai kebaikan yang hakiki, dan kesejahteraan yang lebih merata akan tercapai. 

Di masa lalu, dalam masa-masa terbaik budaya Jawa berkembang secara mendalam dan mencapai keemasannya justru pada era terjajah dan tertindas. Itu adalah era equalibrium, dimana batas pemisah perbedaan sedemikian kuat. Berbagai stratifikasi terbentuk dan menemukan polanya secara lebih utuh dan nyata. Stratifikasi paling populer, yang menjadi teori klasik adalah apa yang dikemukakan oleh Cilifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa sebagai abangan, santri, priyayi. Suatu teori yang semakin dibantah, digugat dan dilecehkan justru semakin kuat.

Apa sebenarnya kekuatan teori ini, hingga walau pun selalu dinisbikan tetapi eksistensinya tetap lestari. Justru terutama karena kesederhanaan berpikir dan metodologinya. Dalam era Orde Baru pola ini digunakan untuk melebur banyaknya partai jadi hanya tiga. Untuk mengkoreksi sistem banyak partai di era Orde Lama, yang membuat negara sibuk ribut sendiri dibanding ngurus kesejahteraan rakyatnya. Pola yang selalu diejek sebagai anti-demokrasi, tetapi justru dirindukan karena kesederhanaannya. Gak ribet, gak buang banyak duit, dan terasa lebih sederhana. 

Karena menjadikan PPP sebagai rumah para santri, Golkar sebagai wadah para priyayi (atau minimal mereka yang bercita-cita jadi priyayi baru), dan PDI sebagai tidak sekedar simbolisasi tetapi terutama ideologinya berbagai isme sosialistik yang bermuara pada penguatan kaum abangan. Kebisingan, kesemrawutan, dan terutama kebusukan sistem politik era kontemporer hari ini justru dimulai dari pengingkaran dari tipologi Geertz yang sesungguhnya justru memungkinkan hadirnya stabilitas dan pertumbuhan. 

Tentu dengan catatan minus KKN yang memang sudah jadi bagian tak terpisahkan dari bangsa ini, jauh waktu bahkan sebelum era kemerdekaan. Yang sialnya ketika dimusuhi justru menemukan bentuknya yang paling gila di era yang disebut reformasi itu. Situasi busuk yang terulang hanya karena didasari kebencian terhadap figur Suharto yang dianggap sebagai seorang pseudo-dictator. Itulah spirit utama dari mati dua kali, sakit berkali-kali. Inilah yang harus kita alami dan jalani di hari-hari ini. 

Hingga dalam situasi fatalist seperti ini, orang Jawa sering menghibur diri sebagai "pati sajroning urip, urip sajroning mati". Situasi ulang-alik yang tak jelas lagi mana hidup, mana mati: terutama kapan, dimana dan kenapa-nya. Orang yang merasa dirinya dalam puncak sukses, dianggap pada pucuk piramida kehidupan. Padahal ia ada di justru sedang berada tubir jurang kematian. Orang merasa dirinya paling sempurna (yang hari-hari tak lengkap tanpa sentuhan operasi plastik), justru sesungguhnya adalah orang paling sakit jiwa-raganya. 

Dulu orang Jawa membedakan teks dan konteks "mati" dan "pati" dengan sangat konkret.

Mati ya mati, selesai, tamat, tutup buku. Tapi pati selain berarti mati, ia juga berarti inti-sari, nukleus, bahkan pangkat dan kekuasaan. Menunjukkkan kenapa dulu pimpinan tertinggi suatu komunitas atau koloni dipanggil adipati, yang bahkan hingga hari ini disebut bupati. Dalam konteks ini, sebagai "puncak piramida", kehidupan mereka akan selalu disorot justru terutama potensi kerentanan akan kejatuhannya. Dalam situasi kesendirian dan suasana kesepiannya. Merekalah orang pertama yang akan "dihukum mati" ketika bersalah. 

Namun demikian, sitausi paradoksal selalu terjadi. Alih-alih dijauhi, pangkat adipati atau bupati dalam berbagai strata-nya adalah impian semua orang. Karena tidak hanya menjanjikan aspek keberlimbahan, ketenaran, dan kekuasaannya. Yang dalam era demokratisasi ini, tidak hanya jadi impian laki-laki namun juga perempuan. Sesuatu yang secara sistem menganut azas elektoral, namun selalu dimanipulasi dan diharapkan dapat diwariskan.  

Siapa pun pemimpin beretnis Jawa, saya pikir tak terkecuali mengidap psiko-somatis ini. Bahkan dalam era Jokowi ini, persiapan ke arah tersebut jauh lebih nyata, walau harus diakui justru kalarena tersistematisasi secara baik. Jadi bagian yang paling mengerikan, yang tak ayal menimbulkan rasa antipati. Mereka yang makin sadar, dan akrenanya sangat antisipatif terhadap adanya siklus (orang Jawa menyebutnya cakra manggilingan), perputaran dan pergerakan itu satu-satunya yang abadi dan ajeg terjadi.   

Inilah yang disebut "dawakne umur", memperpanjang usia. Walau dalam realitasnya kita masuk dalam era kehidupan mati dua kali, sakit berkali. Mati pindo, lara bola-bali.  

Dan sialnya kita menikmati, menghormati, dan diam-diam ikut memimpikannya. Karena memang nikmat duniawi sekali....

NB: Aksara Jawa, menurut saya, adalah satu-satunya urutan abjad yang di luar sangat filosofif juga menggambarkan karakter asli orang Jawa itu sendiri. Bukan sekedar urutannya, tetapi juga sandangan atau pun pasangannya. Sandangan adalah simbol atau penanda yang akan mengubah vokal dasar. Dalam konteks ini di luar ia akan mengubah suatu huruf memiliki vokal yang berbeda (misal a, i,u, e, o) juga akan mengubahnya dengan akhiran konsonan lain. 

Dalam konteks ini akan memunculkan istilah pangkon. Di sana akan membuat huruf yang "dipangku" dianggap mati. 

Dari situlah, memunculkan idiom "wong Jawa yen dipangku mati". Suatu hal, yang mengisyaratkan cara paling efektif melawan orang Jawa adalah dengan cara memangkunya. Artinya kita harus bersikap hiperbolik, secara terbalik. Ketika hujatan, ejekan, antipati justru dibalas dengan diam, atau bila "lega atine" dibalas pujian, atau yang paling telak berbalik dalam simpati. Dalam situasi kotemperer hari ini, sangat terwakili dengan gaya berkomunikasi Jokowi terhadap para pembencinya. 

Ia jadi tampak "wagu dan norak", karena selalu terlihat jauh menghargai para pembenci dan penghujatnya, daripada memberi tempat bagi pendukung dan pembela sejatinya. Benarkah demikian? Tentu tidak!

Beberapa hari yang lalu, di tengah kesibukannya. Tiba2 ia datang ke Jogja menjenguk salah satu pembencinya yang paling akut. Pribadi yang menyebutnya sebagai Firaun. Seorang budayawan absurd dengan nilai2 tumpuk undung dan tumpang tindih tak karuan, yang tak lagi bergaya khas orang Jawa yang suka menggunakan pasemon dan bahasa kiasan. Ia sedemikian sarkastiknya. Sesuatu yang tidak saja membuat marah publik, bahkan di lingkaran keluarga intinya. 

Hingga ia mencoba menetralisirnya sebagai "kesambet". Ungkapan putus asa yang selalu digunakan orang Jawa untuk "menggamabarkan bahwa itu bukan dirinya". Bagi publik awam dan agamis, tentu kunjungan itu adalah teladan baik. Simbol kebesaran hati seorang adipati, pimpinan tertinggi negara terhadap rakyatnya. 

Pertanyaannya: setulus itukah? Semalaikatkah itukah tontonan yang diberikan? Nyaris tak masuk akal. 

Minimal bagi saya itu adalah apa yang saya sitir dalam awal tulisan ini. Itulah cara mempermalukan yang paling telak. Itu pembunuhan dua kali. Sesungguhnya itu adalah penghiburan yang paling dahsyat, terutama bagi mereka yang dihina. Hal ini adalah skakmat yang paling mengerikan, yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang Jawa. Sebab yang terkenanya akan menanggung rasa malu yang terperi di sisa hidupnya. Mungkin mereka menganggap dirinya telah dimaafkan, tapi ternyata tak ada kata maaf bagimu.

Itulah makna terdalam "mati pindo, lara bola-bali". Terbuh dua kali, dengan rasa sakit berulang kali. 

Itulah mengapa yang abadi dalam kepemimpinan politk di Indonesia adalah dendam yang selalu diturunkan dari generasi ke genearasi. Dendam yang dibungkus dalam segala bentuk maksud baik, keterbukaan kerjasama, dalam suasana komunikasi yang tak pernah tulus. Sesuatu yang selalu terlihat akrobatik, jungkir-balik. Apa yang terlihat di atas permukaan, tak pernah betul-betul sesuai kenyataannya. Menjelaskan kenapa kita tak pernah bisa menikmatinya dengan santai, riang dan penuh kelegaan. 

Di bawah berkelahi secara keras dan fanatik sekali, tak pernah mau peduli kalau yang di atas sedang memainkan drama dan melakukan pesta bagi-bagi secara asyik sekali....