Ini negeri yang mengaku beragama, tetapi mungkin dengan mazhab salawi. Semua salah Jokowi.
Negeri ini, Indonesia, memang masih bermasalah dalam soal agama. Tak bisa ditutupi, dua periode kepemimpinan Jokowi, bukan hanya direcoki oposan.
Kelompok dengan latar agama Islam, bukan agama tertentu karena yang tertentu hanyalah sebagian penganutnya, tidak masuk barisan oposan, tetapi terasa lebih mengganggu.
Entah itu yang berkiblat ke ISIS, pencinta khilafah, penerus Piagam Jakarta, yang notabene kesemuanya dengan bunga-bunga demokrasi, intinya beraliran salawi. Semuanya salah Jokowi.
Perhatikan komentar Tifatul Sembiring soal pernyataan Bipang Ambawang dari Jokowi; Dengan gaya PKS yang khas, sinis tapi oportunis, impresi yang diinginkan bahwa Jokowi adalah musuh Islam.
Kenapa marak di jaman Jokowi? Karena Jokowi lemah? Justeru karena Jokowi kuat, dan tanpa kompromi. Meski tampak muter-muter dan membuat orang mual-mules. Jokowi bukan SBY. Jokowi juga tidak meniru Soeharto, yang dalam periode terakhirnya menunggangi agama sebagai alat (bumper) politik.
Di situ Jokowi terlihat tangguh. Dia bisa tak pedulikan dalil MUI soal Kapolri yang tidak beragama majoritas. Dia tetap mempertahankan Nadiem Makarim, meski ada ormas Islam yang mendesak Jokowi untuk diberikan mereka, sebagaimana banyak dibahas para pengamat politik yang kepo soal reshuffle kabinet.
Meski problemnya, Jokowi sendirian. Di parlemen dan sektor judikatif, masing-masing punya agenda. Dan yang terbesar adalah agenda pribadi serta kelompok. Tak lepas dari kepentingan pribadi dan kelompok, untuk mengkapitalisasi kekuasaan.
Apakah di sekeliling Jokowi bersih dari kaum oportunis, juga merupakan persoalan.
Karakter kepemimpinan Jokowi, justeru dianggap berbahaya bagi kelompok yang selama ini lebih ingin mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan.
Dua hal itu menjadi sumber ilham gerakan politik mereka. Karena kebodohan dan kemiskinan, tema sentralnya menciptakan ketergantungan. Memastikan patron-client berjalan normal.
Sementara seperti hujan kepagian, revolusi mental yang ditawarkan Jokowi, terbukti mental terbang tinggi entah kemana. Jangankan revolusi mental, reformasi birokrasi saja, bukan barang mudah. Dua kali keputusan MK yang mutakhir, mementahkan SKB 3Menteri mengenai pakaian seragam sekolah, dan aturan lulus tes ASN (Wawasan Kebangsaan) bagi 'pegawai' KPK tidak boleh merugikan.
Dua keputusan itu, dari sisi keberpihakan, tidak menguntungkan gagasan Jokowi mengenai wawasan kebangsaan dan upaya mereduksi intoleransi.
Intoleransi memang tak selalu berkait dengan radikalisme (agama) apalagi terorisme. Tetapi bisa menjadi pintu bagaimana negara beragam seperti Indonesia, bisa masuk dalam doktrin-doktrin agama yang semakin sulit dikontrol dalam sistem demokrasi. Makanya klaim mereka, jangan menghina ulama. Dan RUU Perlindungan Ulama sedang diajukan.
Keyakinan negara berdasar agama (Islam) akan menjadi lebih baik daripada negara sekuler (atau Pancasila, atau toghut dalam istilah yang sinis), tidak pernah menjadi jaminan dan terbukti lebih baik.
Dari berbagai penelitian empirik, negara-negara sekuler, kehidupan rakyatnya jauh lebih sejahtera. Sebuah penelitian baru menyebutkan, negara-negara berdasar agama, memunculkan generasi dengan angka rendah dalam kualifikasi akademik (scientifik).
Jokowi, yang mau tak mau adalah cermin generasi baru dengan kesadaran baru, bukan sosok yang ramah. Bukan hanya di kalangan agama (Islam berfaham khilafah), melainkan bagi kalangan politik dan pengusaha, yang susah migrasi dan lebih menginginkan situasi sebagaimana jaman Soeharto dulu.
Sementara, dunia yang berkembang dengan revolusi teknologi komunikasi dan informasi, makin tak bisa didekati dengan cara-cara analog, dengan analogi-analogi. Tetapi lebih menuntut perhitungan yang presisi, dengan password dan coding yang tak bisa dikorupsi.
Di sisi lain, yang tak suka pada Jokowi bukan hanya 3 kelompok itu, tetapi di sisi lain para SJW (Social Joker Warrior), juga melihat Jokowi dari sisi kepentingan kelompok ini yang juga terganggu. Dengan agenda masing-masing, para penghayat mazhab Salawi, secara sadar tak sadar bersekutu, dan kita lihat bagaimana berbagai manuver mereka.
Di Indonesia, juga penuh cerita lucu; Ada doktor ahli hukum tatanegara lebih senang menjadi youtuber, karena lebih mendatangkan uang. Ada seorang akademisi yang doktor pula, mengembalikan gelar profesor ke negara, karena merasa gagal.
Negeri ini, masih butuh waktu untuk bersih dari gerakan determinan itu. Sementara transformasi sosial dan politik menuju 2045, makin mencemaskan jika bonus demografi yang dulu kita banggakan, meleset karena salah hitung.
Banyak terbukti, anak muda berprestasi yang muncul ke permukaan, dan apalagi direkrut ke pusat kekuasaan, cenderung dibantai beramai-ramai. Bukan oleh generasi jadul saja, tapi bahkan oleh kakak-kelasnya yang merasa dilewati, atau tak kebagian.
Kita bangsa yang berangkat dari budaya gotong-royong dan religius? Kayaknya bullshit sih. Kita bangsa yang lebih banyak dididik oleh konflik kekuasaan yang berangkat dari konflik tipologis. Bukan hanya berdasar hukum benar dan salah, melainkan juga suka dan tidak suka.
Seorang anggota parlemen, yang partainya pendukung Pemerintah, bisa berkomentar; "Saya kenal baik Munarman, dia orang baik, shalatnya rajin, tidak mungkin dia seorang teroris,...!"
Sementara di Padang Pariaman, Sumatera Barat, seorang pemilik pondok pesantren melaksanakan shalat, diawasi anggota Polisi dengan senjata laras panjang. Apa pasal? Pemilik pondok pesantren itu, sebelum dibawa ke kantor Polisi, minta ijin untuk shalat terlebih dulu. Sebelum diinterograsi karena tuduhan memperkosa santrinya yang belum akhil-baliq.
Ini negeri yang mengaku beragama, tetapi mungkin dengan mazhab salawi. Semua salah Jokowi. Senyampang itu, serombongan lelaki berdaster di Madura, keluar dari mobil sembari bertakbir. Mereka bilang tidak takut mati di jalan allah. Mereka disuruhpaksa putar balik, berkait aturan PSTKM.
Pertinyiinnyi: Sebenarnya, mereka takut pada tuhan, atau Polisi? |
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews