Syahwat berkuasa menjadi bagian manusia. Hanya saja, syahwat ini ketika dikelola dengan cara yang tepat, akan mendatangkan kemaslahatan.
PPP yang dulu terbelah, dengan adanya Muktamar Jakarta dipimpin Djan Faridz dan berhasil menguasai sekretariat, walau akhirnya tetap kalah pamor dengan Romahurmuziy.
Kini, Suharso Monoarfa yang menjadi ketua umum PPP melakukan konsolidasi internal. Pihak-pihak yang bertikai dulunya, dirangkul kembali dan juga diberi kesempatan untuk turut bersuara.
Bahkan di sela pidato politik ketua umum, Djan Faridz diberikan momen khas untuk memberi sambutan. Setelahnya Suharso kembali meneruskan pidatonya.
Itu dalam Rapimnas, 12 Maret 2021.
Kita sejenak menengok awal pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung. Dimana Susilo Bambang Yudhoyono menggandeng Jusuf Kalla. Kader Partai Golkar.
Juni 2004, usulan pemecatan Jusuf Kalla dari Partai Golkar mengemuka. Mendampingi calon presiden yang justru bukan diusung Golkar.
Soal pemecatan ini, Juli 2012, Jusuf Kalla merespon tentang hal ini dengan pandangan “selama tidak pakai partai untuk pencalonan, tidak ada masalah. Bahkan dipecata dua sampai tiga kali, juga bukan masalah”.
Pemecatan di 2004, justru menempatkan orang-orang yang dipecat Kembali Namanya direhabilitasi dan kemudian menjadi petinggi partai.
Bahkan Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar 2004-2009. Perolehan suaranya mengungguli Akbar Tanjung, dalam dua putaran pemungutan suara. Ketika itu munas dilaksanakan di Bali. Dua bulan setelah pelantikan wakil presiden.
Kondisi sekarang, Partai Demokrat juga mulai memecat kader-kadernya. Justru kader-kader yang dipecat, juga ada pendiri dalam bagian itu, melaksanakan perhelatan yang disebut Kongres Luar Biasa.
Tentang Partai Demokrat ini, kita tunggu perkembangan di masa yang akan datang. Dinamikanya masih bergelora.
Dari paparan kondisi di atas, maka partai politik perlu dilihat sebagai instrumen kekuasaan. Kalau kemudian ada partai politik yang netral dalam perhelatan politik seperti pemilihan presiden, ataupun kontestasi lainnya, maka ada pertanyaan terkait dengan fungsi partai politik yang memang sejatinya untuk kekuasaan.
Sisi manusiawi, Ketika seseorang berkuasa maka akan berusaha mempertahankan kekuasaan.
Sementara itu, sifat manusia yang lain, berusaha merebut kekuasaan.
Dua sisi inilah yang akan berseteru dalam gelanggang perebutan kekuasaan dari masa ke masa. Bagi individu yang bisa mengkonsolidasi kekuatan secara penuh, dialah yang akan menduduki tahta itu.
Namun, kekuasaan tidak pernah selamanya dalam genggaman. Maka rekomendasi yang dapat dicermati adalah dengan menggunakan kekuasaan itu untuk kemaslahatan bersama. Paling tidak, untuk kepentingan kelompok kecil yang mengelilingi sang pemimpin. Bukan untuk dirinya sendiri.
Hanya amsal kecil saja, seorang ketua dewan eksekutif mahasiswa yang merespon kebijakan pimpinan fakultas dengan cara melawan. Walau pada akhirnya, kekuasaan dema memang hanya diatur untuk satu tahun.
Apa yang terjadi pasca kekuasaan dema itu? Pesan singkat mantan sang ketua dema dijawab oleh pimpinan fakultas “salah sambung”. Ini dapat dipahami betapa kesalnya pimpinan fakultas tersebut dengan respon yang dijalankan ketum dema selama ini. Sehingga untuk tugas bimbingan skripsipun juga ditampiknya karena masih dongkol.
Boleh jadi, dalam skala yang luas dapat terjadi seperti itu. Ketika ketua umum partai meberi respon terhadap lingkungannya dengan cara yang tidak proporsional. Maka, semasa lengser dari kekuasannya, akan ditampik pula dengan kekesalan oleh orang lain.
Tak ada kekuasaan yang tak berakhir. Gambaran kewenang-wenangan seperti Firaun-pun juga akhirnya mengakhiri kekuasaannya. Apapun itu, termasuk pemimpin yang dianggap adil juga pada akhirnya akan mengakhiri kekuasaan yang digenggamnya.
Syahwat berkuasa menjadi bagian manusia. Hanya saja, syahwat ini ketika dikelola dengan cara yang tepat, akan mendatangkan kemaslahatan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews