Banteng Ketaton

Walau simbolnya adalah banteng yang sedang marah, pada dasarnya kerja mereka hanya sebagai Tim Pengintai.

Sabtu, 20 Maret 2021 | 16:10 WIB
0
443
Banteng Ketaton
Ilustrasi Banteng Ketaton (Foto: Istimewa)

Dalam tradisi Jawa, seekor banteng itu baru akan disebut (atau dianggap ada), jika ia mengamuk. Lalu muncullah istilah "banteng kataton", banteng yang terluka. Jika ia sedang tenang-tenang saja, aman damai sejahtera. Mungkin ia akan dianggap sekedar kerbau, atau sapi, atau bahkan mungkin hanya kambing berukuran raksasa. 

Demikian juga mungkin hari ini, si banteng hitam dengan latar belakang merah namun dengan moncong putih itu tampak adem ayem saja. Duduk manis, sambil makan rumput yang makin hijau. Ada tak ada pandemi, rumputnya tetap subur dan berlimpah.

Lumrah, ia partai mayoritas, pemilik kursi terbanyak di Parlemen. Partai dengan jumlah menteri di Kabinet terbanyak. Dan sialnya, ia adalah produsen pemimpin kerakyatan-nasionalis yang masih tersisa. 

Tak ada tanda-tanda ia akan mengamuk. Karena tak ada lagi musuh tersisa. Kalau pun masih ada satu tersisa, ia tak perlu mengotori tangannya. Cukup ia meminjam tangan orang lain untuk menabok. Mengobrak-abrik, dan syukur-syukur bisa meluluhlantakkan "partai paria" yang dulu pernah berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Partai dengan cacat sejarah paling akut, yang rusak karena terlalu bertumpu pada satu karakter pemimpinnya yang penuh dengan kebohongan. 

Saya selalu bertanya, ketika ada tokoh yang masih membelanya atas nama "demokrasi" dan "tata negara". Bahkan tega menuduh negara sebagai melakukan aksi brutal terhadapnya. Padahal seumur partai itu berdiri brutalitas justru adalah karakter sejati partai ini. Saya mencatat, ia lah satu-satunya partai yang tidak sekedar korupsi, memanipulasi, tapi juga dengan tanpa malu melakukan nepotisme. 

Dan jangan lupa, ialah satu-satunya partai yang tega selama sekian lama menjual negara, dengan segala sumber dayanya. Tega mengobrak-abrik arti penting toleransi yang berpuluh tahun dijaga dengan banyak pengorbanan. 

Sampai di situ? 

Tolong dicatat: ia adalah satu-satunya partai yang dengan bebas merdeka membiayai aktivitasnya dengan mencetak uang "asli tapi palsu". Hingga negara ini nyaris mengalami inflasi tak terkendali, akibat peredarannya tak terkontrol. Hingga ketika rezim baru, mencoba menariknya dan menggantinya dengan mata uang baru. Justru balik difitnahnya sebagai bersimbol PKI. 

Apakah para pengamat sadar tentang itu? Dan apakah masyarakat cukup mengerti dengan apa yang terjadi....

Sayang, sekali lagi sayangnya.... Negeri ini dipimpin oleh sekali lagi oleh simbol banteng, tapi banteng yang sangat feminim dan keibuan. Ia terlalu bersabar. Padahal ia lah akar masalah sejak dari awal. Dialah orang yang menemukan, mengangkat, dan memberi kepercayaan pada "bandit super" itu. Bahkan tatkala ia telah diingatkan secara serius. Sebelum akhirnya dikhianati dan ditusuk dari belakang. Dan lalu rela bersabar selama sepuluh tahun, negeri yang didirikan ayahnya dirisak sedemikian rupa...

Lalu, ia tetap diam saja. Malah mungkin bersiasat, menunggu apa yang akan terjadi setelahnya. Tetap diam, dan menganggap itu urusan internal keluarga orang lain? 

Bu, bu sibu... Mbok sesekali beranilah mengkoreksi kesalahanmu pada saat yang tepat. Bersuaralah, tak selamanya diam itu emas...

Simbol banteng itu, tak selamanya identik dengan Indonesia. Dahulu kala, pada awal atau tepatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Angkatan Udara Hindia Belanda "dalam pelariannya" mereka membentuk Skuadron Udara ke-18 di Australia. Dan simbolnya adalah banteng yang mendengus, banteng yang siap bertarung. Mereka inilah kunci kemenangan Sekutu dari Jepang dalam Pertempuran di Pasifik. 

Apa yang aneh dan ironis dari diri mereka? 

Walau simbolnya adalah banteng yang sedang marah, pada dasarnya kerja mereka hanya sebagai Tim Pengintai. Mereka memang mengoperasikan pesawat-pesawat pembom seperti B-25 Mitchell bantuan dari AS. Namun dioperasikan hanya sebagai pesawat pengamat dari ketinggian udara.

Persis seperti partai banteng di hari ini. Ia hanya mengintai, mengamati, diam saja. Tak bersuara apa-apa. Padahal terlambat sedikit ia, justru sangat membahayakan anak-anak ideologisnya sendiri kelak. Dan bila itu sampai waktunya, kesalahan kedua pun akan kembali menanti. 

Pertanyaannya: begitukah caranya mengkoreksi kesalahan di masa lalu? Mereka mungkin lupa bahwa agar karma dan juga takdir bekerja itu butuh ikhtiar....

***

NB: Bulisan ini menjawab bahwa gambar ini bukan logo partai baru. Jelas bukan pula karangan saya, ini hanya pengingat sejarah saja. Di Belanda mereka tak mengenal binatang berjenis banteng, tapi mereka sangat terobsesi dengan Banteng Ketaton.