PDIP mampu membangun sebuah strategi kebudayaan yang hidup di tengah rakyat, tapi ada tugas besar di sana menggali secara terus menerus kebudayaan nasional sehingga peradaban Indonesia menjadi “Mercusuar Dunia”.
Baru-baru ini PDIP meluncurkan “rumah budaya” sebagai bagian dari aksi gerakan kebudayaan. Langkah PDIP membangun pusat-pusat budaya di kantor-kantor Partai adalah langkah awal menghidupkan kembali “Politik yang berkebudayaan” jalan kebudayaan sebagai politik nasional.
Di tahun 60-an gerakan kebudayaan nasional pernah menjadi tujuan nasional dan masuk ke dalam “Haluan Negara” dengan jargon yang terkenal “Trisakti”. Salah satu isi dari Trisakti adalah “Berkepribadian Dalam Kebudayaan” sebenarnya menjadikan “Budaya bangsa sebagai modal nasional”.
Kebudayaan nasional yang dimaksud oleh Bung Karno ini bukan sekedar ‘tari-tarian, lagu lagu ataupun produk kebudayaan lahiriah tapi lebih kepada kemampuan spiritual manusia Indonesia membangun peradabannya. Selain itu kebudayaan bisa menjadi ‘sumber kapital besar’ melebihi sumber daya alam bila itu dikelola dengan baik.
Di tengah gemuruh alam pragmatisme partai-partai di Indonesia yang hanya memperdebatkan kursi kekuasaan, sebenarnya PDIP sudah masuk ke dalam alam ideologi yang kontemplatif. Selain ‘revolusi hijau Megawati’ PDIP membangun Partai sebagai ‘central kebudayaan nasional’. Kenapa budaya menjadi penting disini ?
Budaya Nasional adalah “pengingat mengapa kita berdiri sebagai sebuah bangsa”. Yang terpenting dalam sebuah bangsa untuk maju adalah “ingatan akan budayanya sendiri”, ribuan tahun Nusantara ini digembleng dengan kemajuan budaya namun hanya dibutuhkan puluhan tahun menghancurkan ingatan budaya bangsa sendiri.
Setelah disingkirkannya Bung Karno, orientasi kebudayaan kita berpusat di barat : Amerika-Inggris. Cara berpikir kita, pendidikan kita sampai pada nilai-nilai moralitas kita berkiblat pada kebudayaan modern Amerika-Inggris. Sistem ekonomi yang kapitalistik-individualis meniadakan semangat gotong royong menjadi ‘way of life’ bangsa Indonesia.
Di masa Orde Baru Kebudayaan nasional hanya dijadikan sebatas upacara-upacara formal bukan unsur penjiwaan yang substansial dari manusia Indonesia. Setelah Suharto lengser, kebudayaan kita dihancurkan oleh ‘lumpuhnya ingatan’ ada counter balik dari kebudayaan barat yang individualis, dekaden dan serba kapitalistik menjadi budaya yang ‘kearab-araban’ serba dangkal dan tidak paham sejarah.
Padahal dalam kompleksitas budaya nasional kita menyimpan ribuan manuskrip sastra, memiliki gerak tari kebudayaan yang berbudaya tinggi serta spiritualitas yang terkait dengan peradaban disinilah perlu digali kembali kekayaan budaya nasional sehingga menjadi fundamen dasar cara berpikir dan bertindak manusia Indonesia.
Penggalian budaya nasional tidak berhenti dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945 saja, tapi itu adalah upaya terus menerus dari kaum Nasionalis untuk membangun peradabannya. Partai selain sebagai partai politik yang bertugas membangun kekuasaan setelah kekuasaan terbangun maka idealisme atas Partai dijalankan, dan salah satu idealisme PDIP adalah “Menghidupkan kebudayaan nasional sebagai jalan politik” di sinilah seluruh kantor-kantor partai dari pusat sampai daerah harus memiliki Biro Kebudayaan sebagai penggerak alam bawah sadar rakyat untuk mencintai kebudayaan nasional kita.
Arsip-arsip kebudayaan, himpunan-himpunan seniman sampai dengan hasil karya kebudayaan dihimpun dalam Lembaga Kebudayaan Partai sehingga Partai mampu menjadi “sumber pencerahan rakyat lewat budaya nasional”.
Gerakan kebudayaan partai harus dilakukan secara visioner dan strategis. Arsip-arsip kebudayaan yang selama ini disimpan dipelajari oleh Biro Kebudayaan Partai, kemudian dikembangkan menjadi gerakan yang mampu mempengaruhi perkembangan jaman. Para seniman dari berbagai latar belakang dihimpun dan dibangun kesadarannya tentang ideologi Kebudayaan Nasional berbasis Sukarnoisme, “kebudayaan sebagai pembebasan nasional” menjadi titik tolak kesadaran para seniman yang dihimpun oleh Partai.
Tujuan-tujuan Nasional dikembangkan menjadi instrumen kebudayaan para seniman yang dihimpun mampu menjadi Propagandis “Kesadaran Berbudaya”.
Problem terbesar bangsa ini soal kebudayaan dari kebudayaan kuliner, musik, sastra, seni rupa sampai dengan tari-tarian adalah “persoalan lupa”, kebudayaan populer yang dangkal dan tidak kontemplatif menjadi sangat laku di pasaran. Tugas dari seniman yang dihimpun partai inilah yang membangun kesadaran adanya budaya nasional yang kontemplatif itu.
“Membangun Ingatan” adalah langkah pertama dalam merekonstruksi kembali budaya nasional yang dikembangkan oleh Partai dengan ingatan maka manusia Indonesia bisa terhubung secara spiritual dengan masa lalu-nya yang penuh perenungan dan ajaran-ajaran kehidupan.
Di sinilah peran Partai menjadi penting. Sebagai agen perubahan partai menjadi motor kebudayaan nasional yang mempengaruhi masyarakat. Diskusi-diskusi kebudayaan dibangun di kantor kantor partai, pertunjukan kesenian diselenggarakan oleh partai, pameran-pameran hasil kebudayaan diselenggarakan oleh partai kemudian hasilnya dianalisa tim riset penelitian dan pengembangan lalu menjadi agenda kerja kader dalam propaganda kebudayaan nasional.
Pembangunan “rumah budaya” di PDIP yang dikomandoi Rano Karno adalah langkah awal menggali dan mengembangkan struktur kebudayaan nasional yang dilakukan oleh Partai setelah “kematian” tradisi lembaga kebudayaan partai sejak 1966.
Sesudah Sukarno disingkirkan maka Partai-Partai hanya menjadi mesin pragmatisme yang menopang kekuasaan bukan sebuah “Lembaga Politik dan Sosial” yang hidup, setelah melalui perjuangan panjang PDIP mampu membangun sebuah strategi kebudayaan yang hidup di tengah rakyat, tapi ada tugas besar disana menggali secara terus menerus kebudayaan nasional sehingga peradaban Indonesia menjadi “Mercusuar Dunia”.
Anton DH Nugrahanto
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews