Politik Dinasti Indonesia Modern

Kita ketahui adanya beberapa bupati atau kepala daerah yang tersangkut jual beli jabatan dan korupsi dan yang jadi perantara adalah istrinya atau anaknya.

Rabu, 22 Juli 2020 | 07:41 WIB
0
312
Politik Dinasti Indonesia Modern

Politik dinasti di era demokrasi modern atau kekhalifahan ala Indonesia?

Dalam sistem kerajaan pergantian kekuasaan sampai menunggu raja meninggal atau menunjuk penggantinya yang juga keturunannya. Jadi yang menggantikan adalah keturunannya, bisa anaknya, adiknya, kakaknya atau saudara sedarah.

Bahkan demi untuk mendapatkan kekuasaan atau sebagai pewaris/penerus, rela membunuh ayahnya atau saudara yang lainnya.

Masyarakat "biasa" mustahil bisa menggantikan kekuasaan sang raja, apalagi rakyat biasa atau jelata.

Akhirnya sistem kerajaan banyak tumbang dan digantikan dengan sistem demokrasi di mana semua masyarakat punya hak yang sama, yaitu dipilih maupun memilih.

Rakyak atau masyarakat tanpa memandang kelas atau kasta boleh mencalonkan diri untuk dipilih, apakah dalam parlemen/DPR, kepala daerah dan presiden.

Semenjak adanya pemilihan langsung dalam pilkada, apakah pilkada tingkat bupati/kota, gubernur dan presiden, dan mempunyai kemampuan modal logistik, apakah pengusaha, politikus, TNI, POLRI dan PNS, beramai-ramai ingin menjadi kepala daerah.

Pilkada serentak tahun 2018 yang akan dilaksanakan bulan Juni ternyata menyimpan banyak calon-calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga atau kekerabatan.

Ada yang suaminya bupati dua periode digantikan oleh istrinya, anaknya, adik atau kakaknya.

Ada yang suaminya walikota dua periode digantikan oleh istri atau anaknya.

Ada suaminya gubernur dan istrinya jadi anggota DPA atau anaknya yang menggantikan orang tuanya.

Inilah demokrasi kita saat ini; dari bapak ke istri, dari bapak ke anak, dari saudara ke saudara yang lain, seakan kekuasaan tidak boleh berganti ke orang lain. Kalau dalam perusahaan Tbk atau terbuka ini masuk kategori “ter-afiliasi” yang masih punya hubungan keluarga.

Dan mereka kalau dikritik atau disinggung hanya ngeles atau ber-alibi ini “Hak Konstitusi”.

Pada dasarnya seseorang itu tidak bisa menikmati hak seratus persen, maksudnya yaitu hak seseorang akan dikurangi atau dibatasi untuk kepentingan yang lebih banyak dan lebih luas.
Karena kalau seseorang cenderung menuntut hak, mereka sering kali lupa akan kewajibannya.

Contoh, kenapa jabatan Presiden atau bupati/walikota dan gubernur dibatasi dua periode? Karena biar tidak lama dalam berkuasa, seseorang kalau berkuasa terlalu lama akan cenderung korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang. Maka harus dibatasi.

Tetapi masyarakat kita memang terkenal pinter mengakali suatu aturan. Betul,jabatan presiden, gubernur dan bupati/walikota hanya dua periode, akan tetapi mereka pandai/pinter bagaimana cara  mewariskan atau estafet jabatan kepada istri, anak dan keluarganya. Karena menurut mereka ini hak konstitusi dan tidak ada larangan.

Ini berbahaya bagi demokrasi dan juga berbahaya bagi birokrasi karena birokrasi-birokrasi itu akan loyal dan patuh kepada pimpinan daerah tersebut.

Kita ketahui adanya beberapa bupati atau kepala daerah yang tersangkut jual beli jabatan dan korupsi dan yang jadi perantara adalah istrinya atau anaknya.

Pemerintah harus mulai membuat aturan atau batasan-batasan. Maksudnya adalah apabila seorang suami yang menjadi kepala daerah baik itu gubernur dan bupati/walikota selama dua periode, ada jeda satu periode atau lima tahun bagi keluarganya, baik itu istri dan anaknya tidak boleh menggantikan atau ikut pilkada. Tujuannya untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh kekkuasaan suaminya atau istrinya.

Ini penting untuk menghindari politik dinasti atau penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan. Ujung dari penyalah-gunaan jabatan atau lamanya memerintah adalah korupsi.

Ketika seorang suami menjadi walikota/bupati dan gubernur, kemudian istrinya atau anaknya ikut pilkada, tentu pengaruh-pengaruh dari sang suami masih ada dan bisa menggerakkan birokrasi-birokrasi yang masih loyal dan jaringan di pemerintahan.

Sebenarnya kalaupun aturan pemerintah tidak ada tentang jeda satu periode tadi harusnya partai-partai memberi contoh yang baik bagi demokrasi. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, partai-partai dengan alasan itu hak warga negara malah membolehkan adanya politik dinasti atau melanggengkan kekuasaan.

Kalau sudah begini bisa menjadi masyarakat akan apatis dan cenderung tidak menggunakan hak pilihnya.

Semoga pemerintah mulai membenahi atau membuat aturan jeda satu periode untuk calon-calon yang masih satu keluarga. Ini semua demi kebaikan kita semua,usia manusia terbatas,tapi usia negara ini akan lebih panjang dibanding usia manusia.

Ngono yo ngono ning ojo ngono!

***

Disclaimer: tulisan ini merupakan reposting yang saya tulis di PepNews 20 Januari 2018 dengan judul: "6 Daerah Ini Ingin Langgengkan Politik Dinasti di Era Demokrasi Modern".