Jauh sebelum gembar-gembor Tokoh yang tepat untuk memimpin Ibu Kota Baru, dimasyarakat sudah banyak yang memperkirakan kalau Ahok adalah orang yang tepat, untuk menjadi pemimpin Ibu Kota Negara (IKN), hanya saja yang menjadi persoalan, mekanismenya seperti apa, itu yang belum diketahui.
Nah sekarang semua sudah terjawab, IKN tersebut akan dikelola oleh Badan Otorita, dan itu artinya pemangku jabatan IKN bukanlah Gubernur Kepala Daerah, tapi dipimpin oleh Kepala Badan Otorita IKN, dan jabatan ini pun setingkat Menteri, diatas jabatan Gubernur.
Mekanisme pemilihan Kepala Otorita IKN pun tidaklah seribet pemilihan Kepala Daerah, karena dipilih langsung oleh Presiden, dengan landasan hukum Peraturan Presiden, seperti halnya pengelolaan Badan Otorita Batam, dan Badan Otorita Danau Toba.
Presiden Jokowi sudah mengumumkan empat calon yang dianggap pantas untuk memimpin Ibu Kota Baru, salah satunya adalah Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang lainnya, Bambang Brojonegoro, Tumiyono, dan Abdullah Azwar Anas.
Ahok mempunyai peluang yang sangat besar, untuk memimpin Ibu Kota Baru, sebagai Kepala Badan Otorita IKN, karena Ahok mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam hal itu, dibandingkan dengan tiga calon lainnya. Secara konstitusional pun tidak ada halangan bagi status Ahok yang mantan narapidana.
Jokowi dianggap cari penyakit kalau memilih Ahok sebagai pemimpin Ibu Kota Baru, benarkah demikian? Kalau tidak cari penyakit bukan Jokowi namanya. Jokowi sudah memperhitungkan semua itu tentunya, kalau mau cari penyakit, pastinya jabatan pemimpin Ibu Kota Baru tetap dipimpin Gubernur Kepala Daerah.
Mengubah sistem pengelolaan IKN menjadi Badan Otorita, adalah salah satu strategi Jokowi agar tidak dianggap cari penyakit. Kalaupun pada akhirnya ada kelompok yang menolak Ahok, untuk memimpin Ibu Kota Baru, resiko itu pun sudah siap dihadapi Jokowi.
Dinegara yang berlandaskan hukum ini, halangan bagi seorang pemimpin untuk menduduki sebuah jabatan, hanyalah aturan hukum/konstitusi, kalaupun ada penolakan, dasar penolakannya pun harus berlandaskan hukum, tidak bisa sekelompok massa membabi-buta bisa menolak hak konstitusional seseorang.
Semua keputusan ada ditangan Presiden, bisa tidaknya Ahok menjadi pemimpin Ibu Kota Baru, sepenuhnya hak prerogatif Presiden, tidak ada hak ormas untuk menolak Ahok. Sekali pemerintah membiarkan Ormas mengatur negara ini, maka selamanya semua aturan yang berlaku dinegara ini akan diacak-acak oleh ormas.
Jokowi cukup punya nyali terhadap hal itu, dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan untuk menjaga 'marwah' pemerintahannya. Kalaupun upayanya memilih Ahok sebagai Kepala Badan Otorita IKN, dianggap sebagai mencari penyakit, tentunya Jokowi sudah tahu obatnya penyakit tersebut.
Pemilihan kepala Badan Otorita IKN sepenuhnya ada ditangan Presiden, jangan biarkan Ormas bisa memaksakan kehendaknya atas hak konstitusional seseorang negara ini. Ormas harus diajarkan bagaimana mematuhi ketentuan hukum dalam sebuah negara, dan pemerintah harus mampu bersikap tegas pada Ormas.
Hanya saja yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam hal ini, posisi Ahok sebagai Komut Pertamina, itu kalau benar Ahok yang terpilih sebagai Kepala Badan Otorita IKN. Apakah akan mengganggu kinerjanya di Pertamina? Apakah Ahok lebih penting sebagai Komut atau Kepala Badan Otorita IKN.
Jangan sampai ada kesan, seolah-olah cuma ada satu orang Ahok yang layak memimpin berbagai jabatan di negara ini. Hal seperti ini patut dipertimbangkan, agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial didalam masyarakat.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews