Dia mendramatisasi keadaan. Bahkan “suaranya bergetar” - disebut secara serempak menjadi headline berita oleh seluruh media saat mengumumkan 283 orang warga ibukota meninggal dunia.
Mungkin kalau dia tidak berkata-kata mulutnya terasa asam. Mungkin jika dia tidak berdiri tampil bokongnya terasa gatal. Mungkin bila dia tidak penuh drama hidupnya terasa hampa. Begitulah kelakuan Gubernur DKI Jakarta saat ini.
Ia ingin selalu berada di atas panggung. Berkata-kata panjang lebar. Meski maknanya langsung hilang terbawa angin.
Penjelasannya ribet dan njlimet. Bikin mumet. Hal-hal yang seharusnya dapat dijelaskan dengan sangat sederhana justru dia putar-putar ke sana ke mari sampai dia bingung sendiri.
Dia tipe manusia yang tega membodohi orang lain. Dan dia tega melakukannya di tengah bencana yang lagi dialami warganya yang seharusnya ia bantu keluar dari kesedihan yang sedang pilu dirasakan. Termasuk saat kita semua prihatin dengan makin merebaknya sebaran wabah coronavirus yang kian luas dan bertambah korbannya dari hari ke hari di provinsi yang menjadi tanggungjawabnya.
Pada 11 Maret 2020 lalu di satu acara televisi dengan santai ia menyebut bahwa dalam dua pekan akan ada ledakan 6.000 orang warga negara Indonesia yang positif terinfeksi coronavirus. Alhamdulillah data karangannya itu tidak terbukti sama sekali. Catatan data resmi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat pada 25 Maret 2020 lalu warga negara Indonesia yang positif 790 orang, bukan 6.000 orang seperti disebutnya.
Tak puas dengan itu, bukannya merasa malu karena sudah memberikan prediksi yang keliru, sembilan belas hari kemudian pada Senin (30/3) kemarin dia bikin pernyataan yang bias bahwa ada 283 orang warga ibukota yang meninggal dunia (terkait dengan situasi wabah coronavirus yang terjadi saat ini).
Pernyataan itu bias. Karena ia mencampur data resmi dari Gugus Tugas yang hanya berjumlah 74 orang warga DKI yang meninggal dunia tapi dia tambahi dengan 209 orang warga DKI lainnya yang meninggal dunia karena diduga (suspect) coronavirus dan karena sebab-sebab lainnya.
Seperti biasa dia mendramatisasi keadaan. Bahkan “suaranya bergetar” - disebut secara serempak menjadi headline berita oleh seluruh media - saat mengumumkan 283 orang warga ibukota meninggal dunia padahal data resmi Gugus Tugas pada Senin kemarin mencatat total 122 orang warga negara Indonesia yang meninggal dunia.
Untuk menambah efek kesedihan ia pun menambahkan kata-kata dramatis seperti ini: “Itu warga kita yang bulan lalu sehat”. Ia pura-pura lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja tanpa seorangpun dapat mengetahuinya.
Sebetulnya seharusnya ia malu. Karena sejak pertama kali kasus wabah coronavirus ini merebak Provinsi DKI Jakarta selalu menempati posisi teratas untuk warga yang positif terinfeksi dan meninggal dunia karena coronavirus.
Ia tak mau mengalokasikan dana yang besar - seperti saat ia menganggarkan dana Rp 1.300.000.000.000 pada lomba mobil balap ecek-ecek - untuk mencegah penyebaran coronavirus di ibukota.
Ia juga belum maksimal melaksanakan rapid rest (test cepat untuk mengetahui apakah seseorang positif coronavirus atau tidak). Padahal ia sudah menerima langsung sumbangan alat untuk melakukan uji rapid test paling banyak dibanding gubernur-gubernur dari provinsi-provinsi lainnya.
Seperti anjuran WHO dan pemerintah, memang, sebaiknya dia diam dan tetap tinggal di rumah saja - seperti warga-warga lainnya supaya dapat mencegah sebaran wabah coronavirus bertambah meluas - dan tidak menimbulkan kepanikan dan ketakutan di tengah warga.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews