Drama Coronavirus Gubernur

Dia mendramatisasi keadaan. Bahkan “suaranya bergetar” - disebut secara serempak menjadi headline berita oleh seluruh media saat mengumumkan 283 orang warga ibukota meninggal dunia.

Rabu, 1 April 2020 | 06:11 WIB
0
347
Drama Coronavirus Gubernur
Ilustrasi gubernur (Foto: bisnis.com)

Mungkin kalau dia tidak berkata-kata mulutnya terasa asam. Mungkin jika dia tidak berdiri tampil bokongnya terasa gatal. Mungkin bila dia tidak penuh drama hidupnya terasa hampa. Begitulah kelakuan Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Ia ingin selalu berada di atas panggung. Berkata-kata panjang lebar. Meski maknanya langsung hilang terbawa angin.

Penjelasannya ribet dan njlimet. Bikin mumet. Hal-hal yang seharusnya dapat dijelaskan dengan sangat sederhana justru dia putar-putar ke sana ke mari sampai dia bingung sendiri.

Dia tipe manusia yang tega membodohi orang lain. Dan dia tega melakukannya di tengah bencana yang lagi dialami warganya yang seharusnya ia bantu keluar dari kesedihan yang sedang pilu dirasakan. Termasuk saat kita semua prihatin dengan makin merebaknya sebaran wabah coronavirus yang kian luas dan bertambah korbannya dari hari ke hari di provinsi yang menjadi tanggungjawabnya.

Pada 11 Maret 2020 lalu di satu acara televisi dengan santai ia menyebut bahwa dalam dua pekan akan ada ledakan 6.000 orang warga negara Indonesia yang positif terinfeksi coronavirus. Alhamdulillah data karangannya itu tidak terbukti sama sekali. Catatan data resmi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat pada 25 Maret 2020 lalu warga negara Indonesia yang positif 790 orang, bukan 6.000 orang seperti disebutnya.

Tak puas dengan itu, bukannya merasa malu karena sudah memberikan prediksi yang keliru, sembilan belas hari kemudian pada Senin (30/3) kemarin dia bikin pernyataan yang bias bahwa ada 283 orang warga ibukota yang meninggal dunia (terkait dengan situasi wabah coronavirus yang terjadi saat ini).

Pernyataan itu bias. Karena ia mencampur data resmi dari Gugus Tugas yang hanya berjumlah 74 orang warga DKI yang meninggal dunia tapi dia tambahi dengan 209 orang warga DKI lainnya yang meninggal dunia karena diduga (suspect) coronavirus dan karena sebab-sebab lainnya.

Seperti biasa dia mendramatisasi keadaan. Bahkan “suaranya bergetar” - disebut secara serempak menjadi headline berita oleh seluruh media - saat mengumumkan 283 orang warga ibukota meninggal dunia padahal data resmi Gugus Tugas pada Senin kemarin mencatat total 122 orang warga negara Indonesia yang meninggal dunia.

Untuk menambah efek kesedihan ia pun menambahkan kata-kata dramatis seperti ini: “Itu warga kita yang bulan lalu sehat”. Ia pura-pura lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja tanpa seorangpun dapat mengetahuinya.

Sebetulnya seharusnya ia malu. Karena sejak pertama kali kasus wabah coronavirus ini merebak Provinsi DKI Jakarta selalu menempati posisi teratas untuk warga yang positif terinfeksi dan meninggal dunia karena coronavirus.

Ia tak mau mengalokasikan dana yang besar - seperti saat ia menganggarkan dana Rp 1.300.000.000.000 pada lomba mobil balap ecek-ecek - untuk mencegah penyebaran coronavirus di ibukota.

Ia juga belum maksimal melaksanakan rapid rest (test cepat untuk mengetahui apakah seseorang positif coronavirus atau tidak). Padahal ia sudah menerima langsung sumbangan alat untuk melakukan uji rapid test paling banyak dibanding gubernur-gubernur dari provinsi-provinsi lainnya.

Seperti anjuran WHO dan pemerintah, memang, sebaiknya dia diam dan tetap tinggal di rumah saja - seperti warga-warga lainnya supaya dapat mencegah sebaran wabah coronavirus bertambah meluas - dan tidak menimbulkan kepanikan dan ketakutan di tengah warga.

***