Pembangunan Jakarta dalam "Narasi"

Jakarta adalah sebuah Kota yang kongkrit, bukanlah sebuah kota yang dibangun atas dasar berbagai narasi.

Selasa, 6 Agustus 2019 | 09:25 WIB
0
456
Pembangunan Jakarta dalam "Narasi"
Foto: Selasar.com

Kalau membangun Jakarta dengan Narasi, maka yang terjadi adalah seperti Filosofi Minang: "Terhimpit mau diatas, Terkurung mau diluar," artinya tidak ada yang buruk bagi diri sendiri, hanya ingin yang baiknya saja, selebihnya tidak peduli.

Membangun Jakarta itu baru terlihat jika secara fisik nyata memang ada, karena pandangan manusia kekinian adalah pandangan untuk melihat sesuatu yang secara fisik memang benar adanya, bukanlah pandangan yang cuma digugah oleh berbagai narasi.

Membangun secara Narasi itu cuma bisa dirasakan oleh kalangan pemimpi, yang cuma membayangkan perubahan cukup berdasarkan impian, juga bagi orang-orang yang mengidolakan pemimpin berdasarkan kecakapan fisik dan intlektual, bukan kemampuannya mengeksekusi sebuah persoalan.

Orang-orang seperti ini sangat mudah terbuai oleh Narasi yang menghanyutkan. Yang mudah terbuai oleh berbagai Pesona kecakapan dalam penataan kata, membuai mereka dengan berbagai Impian tentang sebuah kemajuan.

Bagi mereka melihat penampilan sosok pemimpin dengan segala kepiawaiannya dalam mengolah simbol-simbol, itu sudah cukup. Performa hanya dilihat dari kemampuan dan daya Pesona fisik, bukanlah bukti pada kinerja.

Metropolitan Jakarta adalah bangunan fisik, sebuah realita Ibu Kota yang menjadi pusat perhatian dunia. Jakarta menjadi tumpuan berbagai kemajuan yang terlihat secara fisik, bukanlah sesuatu yang cuma bisa diimajinasikan, dinarasikan sebagai sebuah Kota penuh kemajuan ditengah begitu banyak kelemahannnya.

Bangunan fisik itu tidak bisa diselesaikan dengan cuma tenunan kata-kata, bangunan fisik itu adalah sesuatu yang dikerjakan oleh ketrampilan fisik, kemampuan mengeksekusi, karena sebuah pekerjaan yang nyata harus diseksekusi secara nyata, agar hasil yang terlihat pun nyata dan bukanlah Sekadar bangunan kata-kata.

Membangun Jakarta dengan Narasi tidak akan pernah selesai meskipun habis sepuluh generasi. Membangun Jakarta itu harus dengan mengeksekusi secara fisik, menghadirkan perubahan secara fisik baik penghuninya maupun bangunan fisiknya.

Mengejar berbagai ketinggalan haruslah diselesaikan secara sporadis, tidak bisa berlama-lama seperti menenun kata-kata. Untuk menyelesaikan segala sesuatu yang sudah tertinggal jauh, harus mengedepankan kemampuan mengeksekusi secara mumpuni.

Ada cara tercepat dalam membangun Jakarta tanpa membangun Narasi, meneruskan segala sesuatu yang belum diselesaikan oleh pendahulu, tanpa perlu berandai-andai dengan sesuatu yang baru, yang hanya sekadar berwacana tanpa bisa direalisasikan.

Sambil menciptakan gagasan baru yang realistis, yang sangat mungkin bisa untuk direalisasikan, dan bukan cuma Sekadar dinarasikan. Yang jelas membangun Jakarta itu bukanlah seperti menenun kata-kata, meskipun harus tetap Indah seindah ucapan, namun tetaplah harus kongkrit.

Waktu Lima tahun itu tidaklah lama, menjadi lama kalau tidak melakukan apa-apa. Lima tahun itu menjadi sebentar jika setiap waktu dan setiap saat diisi dengan kerja nyata. Jakarta adalah sebuah Kota yang kongkrit, bukanlah sebuah kota yang dibangun atas dasar berbagai narasi.

***