Jungkir Balik di Jakarta

Membangun fasilitas jalan kaki yang luas di tengah udara penuh polusi, sama saja membiarkan pendukung khilafah masuk TNI. Bahayanya banget.

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 11:59 WIB
0
642
Jungkir Balik di Jakarta
Anies Baswedan (Foto: Detik.com)

Tapi ini Jakarta, Bung. Di sinilah, khususnya di periode sekarang, segala logika bisa jungkir balik. Agak susah menggunakan logika normal di Jakarta. Pikiran kita harus pandai-pandai berakrobat.

Di Jakarta, Gubernur membolehkan orang berdagang di jalan. Orang yang sudah punya kios di Tanah Abang, dipersilakan menggelar dagangan di jalan. Kios sepi. Jalanan berubah jadi pasar. Uang sewa ditarik oleh preman.

Anies Baswedan menggunakan kewenangannya yang diatur Perda, bahwa Gubernur boleh mengalihkan fungsi jalan. Perda itu digugat seorang warga karena bertentangan dengan Undang-undang Lalu-lintas di atasnya. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan. Jalan Tanah Abang harus dibersihkan.

Sebetulnya gak usah pakai logika hukum segala. Orang normal juga tahu, fungsi jalan yang buat sarana transportasi. Bukan buat dagang. Tapi di Jakarta, pikiran bisa kebolak-balik.

Sama seperti Haikal Hasan. Di mall ada musholla bagus. Tapi dia memilih sholat di lobby bioskop. Apakah itu salah?

Kita bisa berdebat, sholat bisa di mana saja asal bersih. Iya, tapi buat apa ada musholla kalau orang bisa menggelar sholat di lobby bioskop.

Wajar jika logikanya ajaib. Haikal memang pendukung Anies.

Di Jakarta, kini menjamur lagi rumah kumuh di bantaran Ciliwung. Di slum-slum kumuh. Kolong jembatan. Sebab orang-orang miskin itu tidak bisa menjadi bagian mendapatkan rumah DP 0%. Syarat dapat fasilitas itu, penghasilannya harus Rp7 juta ke atas. Biar bisa bayar cicilan.

Rusun dibangun untuk dijual. Yang membeli, harus punya kemampuan bayar.

Beda dengan periode sebelumnya. Orang-orang dari slum-slum kumuh dipindahkan ke rusun. Sewanya cuma Rp300 ribu sebulan. Ada juga yang hanya Rp180 ribu. Mereka meninggalkan hunian kumuh, pindah ke rusun. Meski sewa, tapi lingkungan kehidupan berubah. Mental block terbuka. Mereka hidup layaknya masyarakat normal. Bukan jadi gelandangan lagi.

Tapi sudahlah. Ini Jakarta. Fasilitas hunian dari pemerintah bukan buat orang miskin. Tapi buat yang punya kemampuan bayar cicilan.

Sekali lagi ini Jakarta, kota dengan udara terburuk. Polusi membahayakan paru-paru. Apa langkah Pemda DKI?

Perluas trotoar agar orang bisa jalan kaki menghirup udara polusi. Dengan begitu, ada keadilan. Semua paru-paru bisa menikmati racun dari udara yang kotor.

Trotoar di perluas, jalan kendaraan malah menyempit. Macet akan menjadi-jadi. Kemacetan akan melahirkan polusi lebih parah. Dan orang-orang berjalan kaki menikmati polusi.

Hebat, kan?

Logikanya kalau orang jalan kaki gak menyebabkan polusi. Kalau naik kendaraan pasti polusi.

Tapi jalan kaki hanya cocok untuk jarak dekat. Dia gak bisa menggantikan perjalanan jarak jauh. Amien Rais aja gak mau penuhi nazarnya jalan kaki Jakarta-Jogja.

Iya juga, sih. Gila aja kali, orang kerja dari Bekasi ke Sudirman harus jalan kaki. Mau trotoar sebesar apapun, orang ogah jalan kaki sejauh itu. Gempor, bray.

Jangankan sejauh itu. Siapa juga orang kantoran yang mau jalan kaki dari Senayan ke Bunderan HI. Meski trotoarnya sudah bagus. Tapi udaranya penuh polusi.

Membangun fasilitas jalan kaki yang luas di tengah udara penuh polusi, sama saja membiarkan pendukung khilafah masuk TNI. Bahayanya banget.

Tapi di negara-negara maju orang nyaman jalan kaki. Trotoarnya juga luas. Apa salahnya kalau Jakarta meniru negara maju itu dengan membangun trotoar?

Salahnya karena yang dibangun adalah trotoar, sedangkan polusi dibiarkan merusak paru-paru rakyat yang jalan di atas trotoar itu. Itu masalahnya.

Yang menarik, untuk kampanye melawan polusi, Jakarta akan menggelar lomba Formula E. Balapan mobil listrik. Biayanya dari Rp336 miliar, naik jadi Rp360 miliar, kabarnya naik lagi sampai Rp900 miliar.

Dimana di gelarnya? Di Jakarta mana ada sirkuit untuk balap.

Saya menduga kemungkinan akan digelar di salah satu pulau reklamasi. Sekalian mempromosikan keberhasilan Pemda menciptakan pulau-pulau buatan itu. Kabarnya upacara 17 Agustus juga akan digelar di sana.

"Lho, dulu kan, menentang reklamasi?"

"Dulu dia memang belum resmi jadi 'tenaga marketing' di sana, mas," celetuk Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***