Sidang MK: Rakyat Jadi Tahu Bukti Pilpres Curang!

Mahkamah Konstitusi harus bijak dalam mengambil putusan dengan segala resiko. Turut menjadi “pecundang demokrasi” atau “pahlawan konstitusi”.

Rabu, 26 Juni 2019 | 10:16 WIB
0
616
Sidang MK: Rakyat Jadi Tahu Bukti Pilpres Curang!
Bambang Widjojanto bersama Denny Indrayana selaku Tim Kuasa Hukum Paslon 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno saat di MK. (Foto: CNNIndonesia.com).

Saya sengaja “mengganti” nama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan sebutan “Mahkamah Kejujuran” hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa selama proses PHPU Pilpres 2019 lalu MK memfasilitasi kejujuran saksi-saksi yang dihadirkan para pihak.

Para saksi Pemohon Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno setidaknya memberi gambaran bagaimana proses Pilpres 2019 dengan berbagai pencurangan yang dilakukan KPU maupun Paslon 01 Joko widodo – Ma’ruf Amin.

Ada beberapa catatan sidang PHPU selama sepekan lalu. Setidaknya, keterangan para saksi yang bisa dijadikan sebagai “bukti hukum”. Saksi ahli hukum paslon 01 Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab dipanggi Prof. Eddy, misalnya.

Ahli Hukum Pidana dari UGM itu menyebutkan, permohonan yang diajukan kuasa hukum paslon 02 memiliki argumentasi hukum yang dangkal. PHPU Pilpres yang disoal itu lebih tepat dibawa ke Bawaslu, bukan MK.

“Jika hal ini dikabulkan oleh MK, baik sebagian maupun seluruhnya maka MK tidak lagi sebagai The Guardian Of Constitution melainkan sebagai The Destroyer Of Constitution,” lanjut mantan kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama itu.

Padahal, dalam pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  disebutkan secara jelas dan tegas: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat”.

Tentu itu dimaksudkan agar hakim dan hakim konstitusi tidak caged, tidak rule bounded saat memeriksa suatu perkara hukum. Bahwa state law apapun namanya, apakah itu hukum formil (hukum acara) maupun hukum materiil menghendaki adanya sebuah Kepastian Hukum.

Perlu disadari, itu saja tidak cukup bila tujuan berhukum ini hendak mewujudkan Keadilan. Lihat pergeseran paradigmatik dalam cara berhukum kita dari yang semula memuja kepastian hukum telah bergeser kepada pencarian “Kepastian Hukum yang Adil”.

Yakni, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Bahwa saat hukum negara tidak bersesuaian dengan pencarian keadilan, maka Hukum Negara itu Harus Diabaikan oleh Hakim.

Ketika majelis hakim MK berani Out of the Box terhadap State Law apalagi cuma sebatas UU, maka mereka itu tidak sedang Menghancurkan Konstitusi (The Destroyer of Constitution) tetapi mereka justru sedang Menjaga Konstitusi (The Guardian of Constitution).

Catat! Nilai kepastian hukum memang penting dalam penegakan hukum di mana pun, tetapi jauh lebih penting untuk bringing justice to the people, mewujudkan dan menghadirkan nilai keadilan di tengah masyarakat.

Perlu dingat pula, hukum itu bukan untuk keluhuran hukum itu sendiri, melainkan hukum itu untuk keluhuran martabat manusia. Rakyat melihat, majelis hakim MK yang kini memeriksa perkara sengketa hasil pilpres 2019 sangat memahami hal ini.

Menjaga konstitusi tidak seharusnya terbatas hanya dengan cara Membaca Buku, tetapi dengan cara Memahami Konteks Moralitas. Itulah cara membaca konstitusi secara moral (Moral reading on constitution) seperti yang ditulis Ronald Dworkin.

Mengutip pendapat John Suteki, Pilpres 2019 bukanlah hanya pertarungan angka, melainkan  pertarungan antara Kejujuran dan Keadilan melawan Kecurangan dan Ketidakadilan. Dalam proses PHPU di MK selama sepekan, rakyat jadi tahu bukti kecurangan itu.

Bahkan, Tim Kuasa Hukum paslon 02 yang diketuai Advokat Bambang Widjojanto sudah memberi catatan selama persidangan berlangsung. Jika menyimak bukti hukum dalam persidangan, sebenarnya tidak sulit bagi majelis hakim MK memutuskannya.

Bambang Cs berharap, MK memp mempertegas kemuliaannya melalui putusannya, Kamis (27/6/2019). Yakni sebuah putusan yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice) sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandate konstitusi.

“Bahwa MK terikat pada UUD 1945 (periksa pasal 22E ayat 1 UUD 1945). Jika tidak, maka putusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tak ada public trust di dalamnya,” tegasnya. Menurutnya, akibatnya bisa lebih jauh, bukan hanya tidak ada public trust, namun juga tidak akan ada public endorsement pada pemerintahan yang akan berjalan.

Satu saja unsur yang menjadi dasar atau rujukan putusan MK mengandung unsur kebohongan (terkait intergritas) dan kesalahan (profesionalitas) – dengan mempertimbangan kesaksian Prof. Eddy yang memberikan labeling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho (lahir di Nam Din Province pada 10 Oktober 1911) adalah Nobel Prize for Peace pada  1973 meski akhirnya menolaknya – maka putusan MK menjadi invalid.

Kesaksian Prof. Jaswar Koto, PhD (saksi ahli 02) dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang ia jelaskan secara saintifik berdasarkan digital forensic sama sekali tidak dideligitimasi oleh Termohon/KPU maupun Terkait/Paslon 01.

Yang disoal atas Prof. Jaswar hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak patent (patent holder), penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang.

Terkait dengan kesaksian ahli Prof. Jaswar di persidangan yang tidak dibantah tersebut, dapat dibayangkan, jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1 sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama.

Sebutlah, pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu 1 menit sekali pengecekan, maka pengecekan itu akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih.

Atau kalau pengecekannya didasarkan per TPS (dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS) dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan bisa memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya.

Bahwa berdasarkan keterangan saksi Idham Amiruddin telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur. Pemohon berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT Siluman ini.

Namun KPU sebagai Termohon tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut. Pemohon juga telah melaporkan soal DPT Siluman tersebut ke Bawaslu RI namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.  

Tidak jelasnya DPT, sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019 sebagaimana MK telah pernah membatalkan Pilkada Sampang dan Maluku Utara Tahun 2018 karena ketidakjelasan DPT.

Namun, jika harus membatalkan tentunya akan dilakukan Pilpres Ulang yang akan menelan biaya tidak sedikit. Perlu dicatat, dengan melihat fakta persidangan yang terbukti adanya pelanggaran TSM, langkah yang tepat adalah diskualifikasi atas paslon 01.  

Tidak adanya jaminan keamanan dan kehandalan terhadap sistem perhitungan suara KPU. Hal ini sangat tampak dari pemaparan yang disampaikan oleh saksi ahli dari termohon (KPU) maupun dari pemaparan komisioner KPU sendiri yang senantiasa ngeles.

Bahkan, istilah ngeles melulu sempat juga diutarakan hakim Suhartoyo dalam persidangan ketika ditanya oleh majelis hakim MK maupuan oleh pihak Pemohon perihal upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan sistem perhitungan suara di KPU.

“Padahal UU ITE Pasal 15 ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara sistem informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan kehandalan,” tegas Bambang.

Setelah mendengarkan kesaksian Hairul Anas  (Anas 02) dan keterangan Anas Nasikin (Anas 01) ternyata tidak ada perbedaan. Atas kesaksian Anas 02 telah dibenarkan dan diamini oleh saksi Anas Nasihin (Anas 01). Di sinilah menariknya.

Diantaranya tentang power point yang berjudul “Kecurangan adalah Bagian dari Demokrasi” beserta isi power point lainnya. Bahwa dalam acara TOT itu dihadiri oleh capres petahana yang juga Presiden Jokowi, Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Sekjen PDIP yang juga anggota DPR Hasto Kristanto, kKomisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan inzage (pemeriksaaan), ternyata Termohon tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran). Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat (daulat rakyat). 

Oleh karena KPU selaku Termohon tidak sanggup menghadirkan C7, Pemohon (paslon 02) berharap MK memerintahkan KPU menghadirkan C7 sejalan dengan semangat judicial activism.

Sebab itu, dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan suara tersebut suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan?

Terbukti juga sebagai fakta persidangan di mana KPU membuat penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) tertanggal 21 Mei 2019, artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu pada 17 April 2019. Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh!

Harus kita akui bahwa selama ini terjadi krisis kepercayaan pada penegakan hukum dan keadilan  di negeri ini, rasa keadilan masyakarat tidak pernah bisa ditutupi atau dibohongi. Lahirnya KPK dan MK bisa kita sebut  sebagai suatu bukti kuat.

“Kita semua menunggu apa hasil sidang MK berkaitan, seluruh sidang terbuka dan disiarkan terbuka pada masyarakat, dan hal tersebut tentu diukur dengan rasa keadilan masyarakat,” ujar Bambang Sulistomo, Putra Pahlawan Bung Tomo.

Apakah putusan itu akan mampu mengurangi krisis kepercayaan pada hukum dan keadilan, atau malah sebaliknya. “Sebab di dunia ini tak ada satu rahasia-pun yang bisa disembunyikan selamanya,” lanjut Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ini.

Menurutnya, teknologi canggih yang dipunyai semua negara di dunia  pasti jadi solusinya untuk membocorkannya, apakah hukum  keadilan dan kehormatan negeri ini bisa kita tegakkan sebenar-benarnya tanpa rekayasa apapun yang dicoba untuk  disembunyikan.

“Mungkin untuk sementara waktu bisa saja disembunyikan, tapi sejarah pasti akan mencatat dan membukanya,” tegasnya kepada Pepnews.com.

Jokowi tentu saja juga tak mau dilabeli sebagai Presiden “Tercurang” Indonesia! Apalagi, sekarang ini mata dunia sedang melihat Indonesia. Kita pasti malu jika punya presiden hasil "Pilpres Curang" yang diamini MK.

Di sinilah MK harus bijak dalam mengambil putusan dengan segala resiko. Turut menjadi “pecundang demokrasi” atau “pahlawan konstitusi”.

***