Kampanye GBK dan Dekorasi Islami

Narasi anti-Khilafah dan anti-Islam masih akan digelontorkan oleh kedua kubu. Jurus menakut-nakuti rakyat akan semakin diperluas jangkauannya.

Minggu, 7 April 2019 | 20:12 WIB
0
739
Kampanye GBK dan Dekorasi Islami
Kampanye akbar Prabowo (Foto: Tribunnews.com)

GBK kembali jadi pusat kampanye politik tanah air. MesinPolitik Jokowi dan Prabowo akan all-out di sana. Bukan hanya karena Gelora Bung Karno memiliki fasilitas lengkap untuk menampung banyak orang, tapi juga karena sebentar lagi hari pencoblosan akan tiba.

Orang Indonesia cenderung mengingat apa yang terakhir dia lihat, dan ini kesempatan pamungkas buat kontestan politik unjuk kekuatan di depan hampir 200 juta pemilih.

Sekaranglah waktunya show off besar-besaran!

Ahad ini, 7 April 2019, massa putih-putih pendukung Capres Prabowo sudah menyemut sejak dini hari, kampanye dimulai dengan subuh berjamaah, dan jagad Twitter sudah diramaikan dengan tagar #AkalSehatPutihkanGBK. Sabtu nanti, 13 April 2019, giliran massa #KonserPutihBersatu pendukung Capres Jokowi yang akan memadati stadion akbar ini, formulir pendaftaran online sudah disebar ke mana-mana.

Saya prediksi, rangkaian kegiatan kedua kampanye putih di GBK akan sama. Diawali dengan Shalat Subuh berjamaah, dimeriahkan dengan senandung islami, diakhiri dengan bersih-bersih sampah berjamaah.

Kenapa sama? Karena kedua kubu sama-sama mengusung ulama dan membawa semua wewangian islami. Yang satu didukung oleh ulama, yang satu mencawapreskan ulama. Kalau rincian kegiatannya berbeda satu sama lain, berarti ada strategi rahasia yang sedang diterapkan di masa-masa akhir kampanye.

Dakwah Islam benar-benar diuntungkan dalam pesta demokrasi tahun ini.

Kedua kubu, petahana dan oposisi, menggunakan dekorasi Islam secara jor-joran. Para pendakwah silih-berganti mengajak jamaahnya untuk mendukung capres pilihannya masing-masing. Di masjid, di pesantren, di media sosial dan di banyak grup WhatsApp.

Ini semua diawali dengan dinamika politik yang terjadi Jakarta tiga tahun lalu, saat gelombang putih Aksi Bela Islam 212 sukses memutihkan Monas dan sekelilingnya, lalu menggagalkan ambisi Ahok menjadi gubernur hasil pemilu langsung. BTP yang didukung oleh PDIP kalah melawan Anies yang didukung oleh Partai Gerindra. 

Dalam Pilpres tahun ini, kedua partai besar (berikut koalisinya) kembali head-to-head memperebutkan kekuasaan yang lebih besar. Kursi yang diincar di Istana Negara jelas lebih empuk dibandingkan kursi di Balai Kota Jakarta yang ada di seberangnya.

Perseteruan Nasionalis vs Islamis berubah menjadi Islamis vs Islamis. Organisasi masyarakat keislaman beramai-ramai turun ke gelanggang politik. Ada yang terang-terangan seperti PBNU, ada yang remang-remang, tidak sedikit yang diam-diam.

Isu radikalisme dan PKI jadi obrolan yang tidak ada habisnya. Kedua kubu benar-benar sedang ‘mengemis’ suara muslim dan tidak mau kalah hanya karena dianggap kurang islami.

Tapi yang sudah-sudah, dalam setiap pesta demokrasi tanah air, warna dan ornamen islami hanya digunakan sebagai jualan politik. Setelah itu, setelah kemenangan diraih, kekuatan politik akan menikmati kekuasaan di tangan untuk kepentingannya masing-masing.

Islam kembali ke posisinya semula sebagai mayoritas yang tidak turut aktif mewarnai roda pemerintahan dan roda perekonomian. Islam kembali jadi dekorasi yang dibuang setelah pesta berakhir.

Dampak yang terjadi setelah Pemilu 2019 kemungkinan besar akan berbeda. Kekuatan Politik Jokowi yang didukung penuh oleh PBNU akan semakin meneguhkan dukungannya terhadap kepentingan umat Islam, begitupun Kekuatan Politik Prabowo yang didukung penuh oleh ormas Islam lainnya, akan memaksimalkan arah kebijakannya untuk kepentingan umat Islam.

Nah, siapa yang akan memenangkan kontes perebutan istana tahun ini benar-benar akan berpulang kepada kepercayaan umat Islam itu sendiri. Kubu yang dianggap paling mengutamakan kepentingan muslim akan menang, sedangkan kubu yang tidak dipercaya mampu membawa kepentingan Islam akan kalah.

Di luar faktor kepercayaan di atas, kampanye negatif tentu sedikit-banyak dapat mempengaruhi emosi pemilih, dan serangan fajar akan mampu mengubah haluan pemilih pragmatis, yaitu pemilih yang lapar dan butuh makan pagi itu juga.

Narasi anti-Khilafah dan anti-Islam masih akan digelontorkan oleh kedua kubu. Jurus menakut-nakuti rakyat akan semakin diperluas jangkauannya. Propaganda politik tidak boleh berhenti sampai fajar menyingsing di tanggal 17 April 2019.

Tapi boleh jadi hari ini pemilih muslim sudah mengunci hatinya. Mereka sudah berikrar pada diri sendiri dan keluarga, akan ikut memenangkan capres yang dipercaya dapat memenangkan kepentingan Islam di masa yang akan datang.

Selamat berkampanye besar buat koalisi Jokowi dan Prabowo. Selamat berpesta demokrasi untuk kita semua!

Catatan #MesinPolitik dari @iskandarjet

***