Logika Teknokratik Prabowo

Rabu, 23 Januari 2019 | 07:48 WIB
0
503
Logika Teknokratik Prabowo
Prabowo Subianto (Foto: Katadata.com)

Banyak orang menertawakan gagasan Prabowo untuk memperbaiki kesejahteraan birokrat dan aparat penegak hukum di Indonesia. "Belum-belum kok sudah ingin memperkaya pejabat," demikian lontaran yang sempat saya baca di lini masa. Mereka yang berkomentar demikian menurut saya sepertinya telah melupakan dua hal.

Pertama, ini adalah debat mengenai topik hukum, HAM, korupsi dan terorisme, yang banyak kaitannya dengan kerja birokrasi dan aparat. Sangat wajar jika Prabowo mengangkat isu kesejahteraan birokrat dan aparat negara di dalamnya. Jika topik ekonomi yang pertama kali dibahas, ia pasti akan bicara mengenai kesejahteraan rakyat, petani, nelayan, buruh, guru, dokter, dan lainnya.

Kedua, agar bisa merekrut sumber daya terbaik yang bersih, berintegritas, dan profesional untuk mengisi mesin birokrasi, negara memang harus bisa memberikan tawaran terbaik. Apalagi, premis utama kampanye Prabowo adalah bagaimana kita mengatasi kebocoran kekayaan nasional. Bagaimana kita bisa mempercayai bahwa aparat akan menjadi penjaga aset nasional yang profesional, jika mereka sendiri upahnya "tidak profesional"?

Anda mungkin akan bilang, "Ah, gaji tinggi belum tentu membuat orang jadi tidak korupsi." Memang betul, itu sebabnya diperlukan desain kelembagaan lainnya. Tetapi, desain kelembagaan yang sebagus apapun tak akan berfungsi jika sistem remunerasi yang baik tidak disertakan.

Nggak usah jauh-jauhlah diskusinya. Lihat saja KPK. Lembaga idola publik ini, yang langganan menjadi lembaga yang paling dipercaya publik tiap tahun, apakah akan bisa menempati posisi tersebut jika tidak disokong oleh anggaran yang besar?!

Persis di situ masalahnya. Orang menginginkan Polri dan kejaksaan bisa memiliki kinerja sama dengan KPK, namun enggan memikirkan bagaimana caranya memberi fasilitas yang serupa.

Sebagai perbandingan, KPK dengan jumlah staf sekitar 1500 orang memiliki anggaran Rp1 triliun. Sementara, Polri dengan jumlah personel sekitar 450 ribu, anggarannya tahun ini "hanya" Rp86 triliun. Dengan anggaran yang demikian besar, tidak heran jika KPK bisa menggaji para penyidiknya setidaknya empat kali lipat lebih besar dari gaji penyidik di kepolisian. Saat lembaga antirasuah tersebut disusun, gaji pegawainya juga didesain 18 kali lipat lebih besar daripada gaji PNS pada umumnya.

Jadi, komentar bahwa gaji besar belum tentu membuat orang tidak korupsi, sebenarnya hanyalah lontaran yang tidak punya arti apa-apa. Kalau premis komentar tersebut kita telan mentah-mentah, maka mari kita kurangi saja anggaran KPK. Toh bukankah lembaga ini bersifat bersih dengan sendirinya menurut Anda?! Mau begitu?!

Secara umum, pendekatan yang ditawarkan Prabowo dalam debat tadi malam bersifat struktural dan teknokratik. Untuk mengubah paradigma, sangat penting untuk terlebih dahulu mengubah basis material seseorang. Kisah keberhasilannya bisa kita lihat pada KPK.

Saat bicara terorisme, misalnya, ia bicara mengenai ketimpangan, kemiskinan, dan pendidikan, daripada bicara tentang ideologi radikal. Pendekatan struktural ini jauh lebih obyektif daripada pendekatan mentaliteit.

Mau mengatasi korupsi dan menegakkan integritas kok pakai Revolusi Mental?

***

Tarli Nugroho