Menerobos Bank Swiss, Jokowi Siap Digebuk Borjuasi Lama

Jumat, 28 Desember 2018 | 08:54 WIB
0
738
Menerobos Bank Swiss, Jokowi Siap Digebuk Borjuasi Lama
Ilustrasi, Jokowi versus borjuasi lama [kompasiana.com/tilariapadika]

Seorang pemuda yang kerab tampak dalam unjukrasa menulis pada dinding facebooknya, "Jokowi antek-neolib, pelindung koruptor." Beberapa menit sebelumnya, ia mengunggah poster bernada dukungan kepada Prabowo. Saya menoleh, anjing saya yang baru berusia 2 bulan muntah-muntah. Saya pikir sudah tibalah zaman edan itu, ketika segalanya jadi terbolak-balik.

Sejatinya the rulling class itu bukan satu kesatuan solid. Sebagaimana rakyat, mereka pun terpecah-pecah ke dalam kepentingan kelompok dan individual.

Orang mungkin berargumen, meski bertentangan kepentingan subjektif, ideologi telah menyatukan the rulling class, dalam konteks kini adalah borjuasi, kapitalis, menjadikan mereka satu kesatuan ketika menghadapi rakyat. 

Dogmanya begitu, namun yang namanya ideologi alias kesadaran kelas itu bukan algoritma, dan manusia bukan mesin yang berpikir dan bertindak berdasarkan cetak biru yang seragam. Fragmentasi dan pertentangan tidak terhindarkan terjadi di antara mereka yang secara kasar dan generalis digolongkan ke dalam kelas sosial yang sama.

Karena itulah ada yang disebut borjuasi nasional, ada yang disebut komprador. Karena itulah di Amerika Serikat sana ada Hillary Clinton yang bukan omong kosong pertentangannya dengan Donald Trump meski keduanya sama-sama perwakilan borjuasi.

Ada pula salah kaprah dari kaun instrumentalis garis keras, yang melihat negara semata-mata instrumen pemaksa kepentingan kelas dominan, the rulling class, borjuasi, kapitalis. Konsekuensinya siapapun yang memerintah, akan dipandang sebagai operator kepentingan kelas dominan.

Dengan cara pandang kolot seperti itu orang lupa untuk mempertimbangkan bahwa Joko Widodo, meski mengepalai pemerintahan dari negara yang berdiri di atas masyarakat kapitalis, belum tentu senantiasa bertindak atas nama  kepentingan kaum kapitalis.

Orang lupa bahwa negara dan pemerintah sebagai operatornya sewaktu-waktu memiliki otonomi relatif yang membuatnya bertindak bertentangan dengan kepentingan kelas dominan.

Orang abai kepada kemungkinan Joko Widodo mewakili faksi borjuasi yang lebih progresif, yang kurang reaksionernya dibandingkan faksi yang selama 4 tahun ini sedang tersingkir ke pinggiran dan mencari celah untuk merebut kembali kekuasaannya.

Banyak yang masih belum paham bahwa sejatinya kekuasan negara (power of the state) itu adalah relasi sosial. Ia medan pertarungan antara kelas, kelompok sosial, identitas, atau bahkan sekedar aktor-aktor yang merepresentasikan kepentingan individual. Ia tempat berbagai macam agency dengan latar belakang sosial, motif, dan kepentingannya beradu strategi.

Namun kebijakan, sebagai wujud konkrit power of the state itu, bukan semata-mata dihasilkan oleh pertarungan aktor-aktor yang memiliki wewenang exercising power, melainkan dibatasi pula oleh struktur yang meliputi hal objektif seperti kondisi ekonomi sebagai basic structure, imbangan kekuatan antar kelas, kelompok sosial, dan organisasi politik; hingga yang subjektif seperti beragam regulasi yang mengatur hubungan dan wewenang aktor-aktor.

Maka demikianlah dalam negara moderen, arah kebijakan tidak ditentukan semata-mata oleh seorang presiden, sebab bahkan seorang lurah pun memiliki wewenang tertentu exercising power yang mungkin bertentangan dengan presiden. 

Pertentangan kebijakan antara pejabat dan antara lembaga negara atau bagian-bagian dalam pemerintahan adalah wujud konkrit kebenaran cara pandang ini. Sering pula sebuah kebijakan harus dibatalkan karena kondisi objektif (hambatan struktural) membatasinya.

Empat tahun lalu, banyak kaum melek filsafat kekuasaan berpihak kepada Joko Widodo sebab sadar penuh bahwa dengan mendukung Joko Widodo, ada peluang untuk memutus mata rantai kekuatan lama, faksi borjuasi yang telah berjuasa sejak 1967 dan terus bercokol dalam kekuasaan meski reformasi 1998 memotong kepalanya.

Namun oleh ketidaksabaran, oleh kegagalan memahami teori kekuasaan yang benar, oleh dogma instrumentalis dan sikap determinis strukturalis; oleh kegagalan mendamaikan dua pendekatan sekeping dua sisi mata uang ini; banyak pula di antara para pendukung kritis Jokowi 4 tahun lalu beralih menjadi pengkritik nomor wahid.

Bahkan ada pula yang seperti keledai jatuh ke lubang yang sama, mengulangi kesalahan 50an tahun lampau, generasi yang memilih berpelukkan dengan cikal-bakal ketidaktatoran sebab tak sungguh paham ekonomi politik, sebab terlampau cengeng oleh kondisi kemunduran ekonomi yang sejenak.

Maka alih-alih mengawal dan membentengi Joko Widodo dari infiltrasi pun serangan kekuatan lama, orang-orang ini bahkan turut dalam konsolidasi kekuatan reaksioner itu: sisa-sisa orde baru dan para pedagang kebencian identitas.

Calaka lah orang-orang sesat pikir yang silau oleh retorika omong kosong dari elit golongan 50 orang terkaya namun berteriak tentang 1 persen penduduk menguasai mayoritas kekuasaan negeri; dari elit yang usaha pertambangan dan konsesi hutannya mencapai 3 juta hektar namun berteriak tentang keadilan penguasaan sumber daya agraria; dari elit yang usahanya hedgefund namun berteriak melawan liberalisasi ekonomi; dari elit yang usahanya menguasai perdagangan air bersih namun berceloteh tentang ekonomi pasal 33; dari elit yang mengeluhkan demokrasi mahal namun menyogok parpol-parpol demi dapat tiket jadi capres; dari elit yang berteriak tentang persatuan nasional namun dukungan utamanya datang dari penyebar kebencian agama dan etnis. Shame of you!

Kini Joko Widdodo akan masuk dalam pertarungan lebih keras dengan kekuatan lama, mungkin yang penghabisan. Sebentar lagi dapur kekuatan lama itu, rekening mereka di Swiss, Hongkong, dan semoga kelak juga Singapura bukan lagi ruang gelap tak terjamah. Joko Widodo bertindak relatif otonom, bertentangan dengan kepentingan kelas penguasa, terutama dari faksi borjuasi lama.

Baca:  Menambal Kebocoran di Swiss: Prabowo Wacanakan, Jokowi Laksanakan

Sekian lama, dari rekening-rekening inilah mobilisasi perlawanan balik kekuatan lama dibiayai. Dari rekening-rekening inilah mulut-mulut yang meneriakkan kebencian identitas demi meraih kekuasaan dijaga agar tak dahaga. 

Dari rekening-rekening inilah  pasukan cyber penyebar fitnah dan media-media propaganda didanai; dari rekening-rekening inilah parpol-parpol bertentangan ideologi dikawinkan dalam aliansi tanpa platform. Dari rekening-rekening inilah unsur-unsur reaksioner yang dipukul mundur setapak demi setapak sejak 1998 hinggaa 2014 kembali dikonsolidasikan untuk melawan balik, untuk merebut kembali kekuasaan. Rekening-rekening inilah benteng terakhir mereka.

Beberapa bulan lagi, oleh perjanjian Automatic Exchange of Information(AEoI), rekening-rekening itu akan telanjang. Asal-usulnya akan dilacak hingga 20 tahun lampau, dipajaki; disita jika perolehannya melalui cara-cara kotor.

Bukan main-main perlawanan dan serangan balik yang akan dihadapi Joko Widodo. Dan ia dibiarkan sendirian menghadapinya, ditinggalkan mantan-mantan sekutu yang tak sabaran, yang gagal paham, yang dibutakan oleh dogma asalkan kritis kepada kekuasaan, namun salah memahami apa sesungguhnya kekuasaan itu. Jokowi hanya berteman rakyat, bersandar kepada ketulusan mereka.

Pada titik kritis ketika Joko Widodo sedang sungguh-sungguh melaksanakan machtaadwending untuk memukul kekuatan lama yang penghabisan, ia dikhianati oleh sebagian orang yang dulu melihatnya sebagai simpul penyatu machtvorming unsur-unsur yang menghendaki pukulan penghabisan bagi faksi borjuasi paling reaksioner: orde baru. 

Namun jangan kuatir, rakyat yang tulus itu, yang meski masih belum sejahtera namun memilih lebih baik hidup berkekurangan harta dari pada kekurangan kebebasan oleh berkuasanya kaum reaksioner, memilih tetap bersama Jokowi.

Sumber:

  1. Merdeka.com (13/10/2016) "CITA: Keluarga Soeharto simpan uang di Swiss dan belum pulang ke RI." 
  2. Bengkulutoday.com (14/12/2018) "Hasyim, Adik Kandung Prabowo Orang Terkaya Nomor 35 se Indonesia." 
  3. Surabayapagi.com (26/12/2014) "Hashim Djojohadikusumo, Tersangka Kasus BLBI Rp. 1,53 Triliun." 
  4. CNNIndonesia.com (13/10/2017) "Sandiaga Ungkap Alasan Lepas Saham di Perusahaan Air Aetra." 
  5. Katadata.co.id (04/07/2017) "Sri Mulyani: Akhir Era Kerahasiaan, Rekening WNI di Swiss Bisa Diakses." 
  6. Beritajatim.com (04/03/2016) "84 Orang Super Kaya Indonesia Simpan Uang di Swiss, Nominal di Atas APBN." 

Tayang juga di Kompasiana.com/tilariapadika

***