Seorang pemuda yang kerab tampak dalam unjukrasa menulis pada dinding facebooknya, "Jokowi antek-neolib, pelindung koruptor." Beberapa menit sebelumnya, ia mengunggah poster bernada dukungan kepada Prabowo. Saya menoleh, anjing saya yang baru berusia 2 bulan muntah-muntah. Saya pikir sudah tibalah zaman edan itu, ketika segalanya jadi terbolak-balik.
Sejatinya the rulling class itu bukan satu kesatuan solid. Sebagaimana rakyat, mereka pun terpecah-pecah ke dalam kepentingan kelompok dan individual.
Orang mungkin berargumen, meski bertentangan kepentingan subjektif, ideologi telah menyatukan the rulling class, dalam konteks kini adalah borjuasi, kapitalis, menjadikan mereka satu kesatuan ketika menghadapi rakyat.
Dogmanya begitu, namun yang namanya ideologi alias kesadaran kelas itu bukan algoritma, dan manusia bukan mesin yang berpikir dan bertindak berdasarkan cetak biru yang seragam. Fragmentasi dan pertentangan tidak terhindarkan terjadi di antara mereka yang secara kasar dan generalis digolongkan ke dalam kelas sosial yang sama.
Karena itulah ada yang disebut borjuasi nasional, ada yang disebut komprador. Karena itulah di Amerika Serikat sana ada Hillary Clinton yang bukan omong kosong pertentangannya dengan Donald Trump meski keduanya sama-sama perwakilan borjuasi.
Ada pula salah kaprah dari kaun instrumentalis garis keras, yang melihat negara semata-mata instrumen pemaksa kepentingan kelas dominan, the rulling class, borjuasi, kapitalis. Konsekuensinya siapapun yang memerintah, akan dipandang sebagai operator kepentingan kelas dominan.
Dengan cara pandang kolot seperti itu orang lupa untuk mempertimbangkan bahwa Joko Widodo, meski mengepalai pemerintahan dari negara yang berdiri di atas masyarakat kapitalis, belum tentu senantiasa bertindak atas nama kepentingan kaum kapitalis.
Orang lupa bahwa negara dan pemerintah sebagai operatornya sewaktu-waktu memiliki otonomi relatif yang membuatnya bertindak bertentangan dengan kepentingan kelas dominan.
Orang abai kepada kemungkinan Joko Widodo mewakili faksi borjuasi yang lebih progresif, yang kurang reaksionernya dibandingkan faksi yang selama 4 tahun ini sedang tersingkir ke pinggiran dan mencari celah untuk merebut kembali kekuasaannya.
Banyak yang masih belum paham bahwa sejatinya kekuasan negara (power of the state) itu adalah relasi sosial. Ia medan pertarungan antara kelas, kelompok sosial, identitas, atau bahkan sekedar aktor-aktor yang merepresentasikan kepentingan individual. Ia tempat berbagai macam agency dengan latar belakang sosial, motif, dan kepentingannya beradu strategi.
Namun kebijakan, sebagai wujud konkrit power of the state itu, bukan semata-mata dihasilkan oleh pertarungan aktor-aktor yang memiliki wewenang exercising power, melainkan dibatasi pula oleh struktur yang meliputi hal objektif seperti kondisi ekonomi sebagai basic structure, imbangan kekuatan antar kelas, kelompok sosial, dan organisasi politik; hingga yang subjektif seperti beragam regulasi yang mengatur hubungan dan wewenang aktor-aktor.
Maka demikianlah dalam negara moderen, arah kebijakan tidak ditentukan semata-mata oleh seorang presiden, sebab bahkan seorang lurah pun memiliki wewenang tertentu exercising power yang mungkin bertentangan dengan presiden.
Pertentangan kebijakan antara pejabat dan antara lembaga negara atau bagian-bagian dalam pemerintahan adalah wujud konkrit kebenaran cara pandang ini. Sering pula sebuah kebijakan harus dibatalkan karena kondisi objektif (hambatan struktural) membatasinya.
Empat tahun lalu, banyak kaum melek filsafat kekuasaan berpihak kepada Joko Widodo sebab sadar penuh bahwa dengan mendukung Joko Widodo, ada peluang untuk memutus mata rantai kekuatan lama, faksi borjuasi yang telah berjuasa sejak 1967 dan terus bercokol dalam kekuasaan meski reformasi 1998 memotong kepalanya.
Namun oleh ketidaksabaran, oleh kegagalan memahami teori kekuasaan yang benar, oleh dogma instrumentalis dan sikap determinis strukturalis; oleh kegagalan mendamaikan dua pendekatan sekeping dua sisi mata uang ini; banyak pula di antara para pendukung kritis Jokowi 4 tahun lalu beralih menjadi pengkritik nomor wahid.
Bahkan ada pula yang seperti keledai jatuh ke lubang yang sama, mengulangi kesalahan 50an tahun lampau, generasi yang memilih berpelukkan dengan cikal-bakal ketidaktatoran sebab tak sungguh paham ekonomi politik, sebab terlampau cengeng oleh kondisi kemunduran ekonomi yang sejenak.
Maka alih-alih mengawal dan membentengi Joko Widodo dari infiltrasi pun serangan kekuatan lama, orang-orang ini bahkan turut dalam konsolidasi kekuatan reaksioner itu: sisa-sisa orde baru dan para pedagang kebencian identitas.
Calaka lah orang-orang sesat pikir yang silau oleh retorika omong kosong dari elit golongan 50 orang terkaya namun berteriak tentang 1 persen penduduk menguasai mayoritas kekuasaan negeri; dari elit yang usaha pertambangan dan konsesi hutannya mencapai 3 juta hektar namun berteriak tentang keadilan penguasaan sumber daya agraria; dari elit yang usahanya hedgefund namun berteriak melawan liberalisasi ekonomi; dari elit yang usahanya menguasai perdagangan air bersih namun berceloteh tentang ekonomi pasal 33; dari elit yang mengeluhkan demokrasi mahal namun menyogok parpol-parpol demi dapat tiket jadi capres; dari elit yang berteriak tentang persatuan nasional namun dukungan utamanya datang dari penyebar kebencian agama dan etnis. Shame of you!
Kini Joko Widdodo akan masuk dalam pertarungan lebih keras dengan kekuatan lama, mungkin yang penghabisan. Sebentar lagi dapur kekuatan lama itu, rekening mereka di Swiss, Hongkong, dan semoga kelak juga Singapura bukan lagi ruang gelap tak terjamah. Joko Widodo bertindak relatif otonom, bertentangan dengan kepentingan kelas penguasa, terutama dari faksi borjuasi lama.
Baca: Menambal Kebocoran di Swiss: Prabowo Wacanakan, Jokowi Laksanakan
Sekian lama, dari rekening-rekening inilah mobilisasi perlawanan balik kekuatan lama dibiayai. Dari rekening-rekening inilah mulut-mulut yang meneriakkan kebencian identitas demi meraih kekuasaan dijaga agar tak dahaga.
Dari rekening-rekening inilah pasukan cyber penyebar fitnah dan media-media propaganda didanai; dari rekening-rekening inilah parpol-parpol bertentangan ideologi dikawinkan dalam aliansi tanpa platform. Dari rekening-rekening inilah unsur-unsur reaksioner yang dipukul mundur setapak demi setapak sejak 1998 hinggaa 2014 kembali dikonsolidasikan untuk melawan balik, untuk merebut kembali kekuasaan. Rekening-rekening inilah benteng terakhir mereka.
Beberapa bulan lagi, oleh perjanjian Automatic Exchange of Information(AEoI), rekening-rekening itu akan telanjang. Asal-usulnya akan dilacak hingga 20 tahun lampau, dipajaki; disita jika perolehannya melalui cara-cara kotor.
Bukan main-main perlawanan dan serangan balik yang akan dihadapi Joko Widodo. Dan ia dibiarkan sendirian menghadapinya, ditinggalkan mantan-mantan sekutu yang tak sabaran, yang gagal paham, yang dibutakan oleh dogma asalkan kritis kepada kekuasaan, namun salah memahami apa sesungguhnya kekuasaan itu. Jokowi hanya berteman rakyat, bersandar kepada ketulusan mereka.
Pada titik kritis ketika Joko Widodo sedang sungguh-sungguh melaksanakan machtaadwending untuk memukul kekuatan lama yang penghabisan, ia dikhianati oleh sebagian orang yang dulu melihatnya sebagai simpul penyatu machtvorming unsur-unsur yang menghendaki pukulan penghabisan bagi faksi borjuasi paling reaksioner: orde baru.
Namun jangan kuatir, rakyat yang tulus itu, yang meski masih belum sejahtera namun memilih lebih baik hidup berkekurangan harta dari pada kekurangan kebebasan oleh berkuasanya kaum reaksioner, memilih tetap bersama Jokowi.
Sumber:
Tayang juga di Kompasiana.com/tilariapadika
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews