Oleh : Muhammad Ridwan Siregar
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh pada akhir 2025 menguji ketahanan sosial sekaligus bagaimana ketegasan peran negara. Di tengah terjadinya kerusakan infrastruktur, jatuhnya korban jiwa, dan gelombang pengungsian, pesan paling penting yang perlu ditegaskan adalah kepastian kehadiran pemerintah dan negara.
Aceh menghadapi masa darurat dengan dukungan penuh dan sangat nyata dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, aparat keamanan, relawan, dan sektor sosial. Rangkaian langkah tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa Aceh sama sekali tidak berjalan sendirian dalam menghadapi seluruh hal yang melandanya.
Respons cepat tampak dengan jelas sejak fase awal tanggap darurat. Pemerintah langsung menggerakkan berbagai sumber daya nasional untuk dapat membuka akses wilayah, memastikan suplai pangan, dan melindungi kelompok rentan di pengungsian.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di sejumlah lokasi terdampak bencana tersebut, semakin memperkuat pesan bahwa penanganan bencana yang dilakukan oleh negara sama sekali tidak berhenti pada laporan meja belaka.
Presiden menekankan kerja bersama lintas tingkat pemerintahan agar pemulihan berlangsung dengan jauh lebih cepat, terkoordinasi, dan tepat sasaran. Peninjauan langsung ke posko pengungsian di Aceh Tengah dan wilayah sekitar menunjukkan adanya perhatian terhadap kondisi riil warga setempat, sekaligus juga semakin mempercepat pengambilan keputusan yang strategis.
Upaya pemulihan infrastruktur menjadi fondasi utama yang dijalankan. Pemerintah memprioritaskan perbaikan jembatan, jalan, listrik, dan fasilitas publik agar aktivitas ekonomi serta distribusi bantuan kembali berjalan dengan lebih lancar.
Penggunaan sarana udara untuk menjangkau wilayah terisolasi juga memperlihatkan adanya adaptasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada medan yang sulit untuk dijangkau. Pendekatan tersebut jelas sekali menegaskan bahwa orientasi keselamatan dan keberlanjutan memang benar-benar diutamakan oleh negara, bukan hanya sekadar pemulihan secara sementara saja.
Solidaritas nasional juga hadir dari berbagai daerah lain. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya, secara konsisten mengoperasikan dapur umum di lokasi pengungsian. Ribuan porsi makanan disiapkan setiap hari di Pidie Jaya untuk semakin memastikan bahwa para pengungsi memperoleh asupan secara layak.
Asap dapur yang terus mengepul menjadi simbol yang sangat nyata dari adanya kepedulian lintas daerah dan penyangga psikologis bagi warga terdampak. Praktik tersebut telah menegaskan bahwa tanggung jawab kemanusiaan yang sudah dilakukan oleh pemerintah berada pada titik yang melampaui batas administratif.
Pendekatan kebijakan lintas sektor juga terus diperkuat oleh koordinasi pusat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menegaskan adanya pengerahan seluruh kekuatan nasional untuk menangani bencana di Aceh dan provinsi Sumatera lain.
Pemerintah memastikan bahwa tanggap darurat berjalan beriringan dengan penyiapan hunian sementara, bahkan diarahkan menuju hunian tetap bila kondisi memungkinkan. Penyiapan lahan yang aman, dekat dengan kampung asal, serta didukung akses air dan listrik dinilai menjadi hal yang krusial agar warga tidak tercerabut dari mata pencaharian mereka.
Pendanaan melalui dana siap pakai kebencanaan bertujuan untuk memastikan terjadinya kecepatan eksekusi, sementara di sisi lain, koordinasi BNPB dan kementerian teknis dilakukan demi bisa menjaga kesinambungan dari darurat ke rehabilitasi.
Di sisi kebijakan pangan darurat, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai pemanfaatan dapur Program Makan Bergizi Gratis sebagai dapur umum merupakan langkah tepat.
Infrastruktur dapur yang telah standar, rantai pasok stabil, dan pola distribusi teratur memungkinkan pemenuhan kebutuhan pangan tanpa jeda pembangunan fasilitas baru. Pendekatan tersebut menegaskan prinsip kecepatan sebagai faktor kunci dalam situasi bencana.
Trubus juga menekankan bahwa skema pendanaan program tersebut berjalan berdampingan dengan anggaran kebencanaan, sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih. Fokus utama tetap pada kepastian korban memperoleh makanan layak setiap hari, sembari menjaga kualitas, distribusi, dan ketepatan sasaran melalui pengawasan ketat serta dukungan TNI-Polri di lapangan.
Kehadiran negara juga tampak pada level administratif kewilayahan. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri menyalurkan bantuan logistik langsung ke Gampong Paya Cut, Kabupaten Bireuen.
Penyerahan bantuan tersebut menegaskan keberpihakan pada kebutuhan paling mendesak ketika layanan dasar belum pulih sepenuhnya. Safrizal Zakaria Ali menilai sinergi pusat dan daerah menjadi kunci agar keselamatan serta kenyamanan masyarakat terjaga selama masa pemulihan. Dukungan pusat memperkuat langkah cepat pemerintah daerah, sehingga penanganan berjalan lebih efektif.
Narasi “negara hadir” juga menjawab keraguan publik. Kritik tentang kecepatan respons, desakan status bencana nasional, hingga wacana bantuan internasional menjadi bagian dari dinamika demokratis.
Namun, indikator lapangan memperlihatkan kerja berlapis yang terus bergerak: logistik mengalir, hunian disiapkan, akses dibuka, dan dukungan psikososial berjalan. Pemerintah memilih bekerja sambil memperbaiki, bukan menunggu kesempurnaan.
Bencana menguji kepercayaan, tetapi juga membuka ruang gotong royong. Aceh menghadapi masa darurat dengan dukungan nasional yang nyata. Negara hadir bukan sekadar sebagai simbol, melainkan sebagai penggerak kebijakan, pelindung warga, dan penghubung solidaritas.
Dari dapur umum hingga jembatan perintis, dari hunian sementara hingga pengawasan pangan, seluruh rangkaian tersebut menegaskan satu pesan: Aceh tidak sendiri, dan pemulihan berjalan dengan pendampingan negara hingga kehidupan kembali pulih. (*)
)* Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews