Lembaga seperti MUI ini akan terus ada. Kalau pun ia ditutup akan selalu ada gantinya. Selama cari duit berbakal fatwa agama.
Bengep itu bisa terjadi karena banyak hal. Dipukuli terus menerus, tanpa perlawanan seperti pertandingan tak seimbang di ring tinju. Bengep juga bisa terjadi, kalau kita diserang ribuan tawong ndas, juga tanpa bisa mempertahankan diri. Tapi, bengep juga terjadi bila kita terlalu bersemangat, terlalu lelah berteriak-teriak mengacungkan telunjuk. Orang Jawa bilang: nuding-nuding! Seolah sudah dekat pada kemenangan, tapi tak pernah benar-benar menang.
Kemenangan MUI itu seolah sangat dekat, justru ketika Megawati "keladuk" memilih Ma'ruf Amien sebagai wakilnya Jokowi. Keladuk itu paduan antara tak sengaja, telanjur, ngawur. Hal yang perspektifnya selalu tampak bijak dan penuh pertimbangan, tapi sebenarnya melulu hanya menunjukkan siapa yang sungguh-sungguh berkuasa. Satu-satunya argumentasi logis Megawati "menyetujui" Ma'ruf Amin adalah sebuah bentuk pertunjukan aku ini "king maker" loh. Eh salah lagi, "queen maker" harusnya...
Kalau kemudian ia tak berkontribusi apa-apa ya wajar. Tapi kalau dia, selalu mengintip kemungkinan mendongkel Jokowi setiap saat, bukankah suatu keniscayaan. Hal inilah, yang terus menerus dilakukan melalui sebuah organ yang bernama MUI. Tak selamanya, kita harus bersetuju begitu. Tapi, demikianlah faktanya. Terpilihnya MA, tak menunjukkan ada kendali apa pun terhadap dorongan "netralitas" MUI. Sebuah LSM yang saya pikir selama puluhan tahun, diupgrade, dimegalomaniakan, atau minimal diasumsikan sebagai representasi umat Islam Indonesia.
Sesuatu yang bukan salah kaprah, tapi jelas sangat jahat dan tidak fair buat umat Islam sendiri. Tak kurang dari Gus Dur saat ia menjadi presiden gagal meluruskannya. Ia memang behasil mengembalikan marwah dan harkat saudara kita masyarakat Tionghoa. Namun ia gagal, bertindak apa pun terhadap lembaga tersebut. Bahwa kemudian, ia didongkel dari jabatannya. Tak pernah ada kajian yang menyebutkan, adanya peranan sekelompok orang yang ada dalam LSM ini. Padahal, "sengit"-nya Gus Dur terhadap lembaga ini selalu jadi acuan dan pegangan setiap kali publik mengolok-olok lembaga ini.
Mungkin Gus Dur memilih bersikap "egaliter, humanis, dan demokratis", tapi justru di sinilah salah satu jejak gagal Gus Dur. Hanya dia-lah figur yang mampu, pantas, dan kuat melakukannya. Sehingga ketika tidak. Bablaslah negeri ini terpolusi oleh sepak terjangnya yang tak berkesesudahan hingga hari ini. Jangan lupa, secara historis MUI adalah lembaga bentukan Suharto di masa Orde Baru untuk memperalat umat Islam. Sesuatu yang kemudian, diwarisi oleh anak cucu untuk tetap menggunakannya sebagai alat!
Dan tak lama, sejak terpilihnya Andhika Perkasa sebagai Panglima TNI sedikit demi sedikit terkuaklah alasan di baliknya. "Isu jualan" dirinya bahwa indikasi kudeta merangkak itu bukan isapan jempol. Bahwa isu-isu yang selama ini, dianggap sekedar aspirasi warung kopi untuk memakzulkan Jokowi itu bukan omong kosong. Dan hal seperti ini adalah "wilayah orang AD", menjelaskan ketidaktepatan waktu jika yang dipilih seharusnya orang AL. Menunjukkan kuatnya permainan intelejen dalam hal tersebut. Sesuatu yang sudah lama diketahui, tapi kunjung mampu diatasi selama Hadi Cahyanto memangku jabatan Panglima.
Bagi saya sendiri, terpilih AP adalah sejenis "balas dendam" pribadi. Kita tahu, dulu ketika Wiranto harusnya turun sebagai Panglima TNI saat Habibie menjabat presiden. Seharusnya penggantinya adalah AM Hendropriyono. Habibie sudah menyetujui, tapi dalam detik-detik terakhir justru jabatan Wiranto diperpanjang. Dan sejak itulah, Wiranto menjadi "untouchable" selama era periode Reformasi. Siapa pun presiden, harus ada Wiranto di dalamnya. Bahkan Jokowi pun termasuk yang tak kuasa menolaknya.
Wiranto adalah "prajurit sejati" yang menepati janjinya melindungi kepentingan keluarga Cendana sepanjang karier militer maupun politiknya.
Hanya alam juga selalu bertindak adil, bahkan dengan jalan yang aneh! Wiranto justru tumbang bukan oleh suatu kekuatan besar. Ia benar-benar roboh bersimbah darah oleh seorang teroris amatiran yang menyerangnya. Seorang yang justru menganggap sebagai bagian dari pemerintah yang thogut! Justru di saat ia mengunjungi salah satu "pesantren binaannya" di kawasan Banten.
Sejak itu, ia seolah lenyap ditelan bumi. Dan sejak itu pula, Jokowi leluasa mempreteli banyak hal yang tak tersentuh sejak hari itu. Pembubaran FPI, penangkapan Rizieq Shihab, bahkan penyitaan harta kekayaan anak-anak Soeharto. Jauh waktu sebelumnya, Jokowi berhasil membubarkan lembaga berpenyakit akut seperti HTI dan mengembalikan Freeport ke tangan rakyat Indonesia. Banyak hal, yang dulu tampak mustahil, saat ini menjadi mungkin dilakukan.
Dalam konteks seperti inilah, harusnya bisa dipahami bahwa keinginan publik untuk dilanjutkan dengan pembubaran MUI!
AP adalah mantu dari Hendropriyono. Tentu sebagai keluarga intelejen ia jauh lebih tahu, permainan yang terus dilakukan oleh keluarga Cendana dan berbagai organ yang menjadi bonekanya. Ia tentu sangat tahu, bagaimana Papua terus diobok-obok oleh permainan SBY dengan dukungan kompatriot Amerika-nya. Freeport adalah "tambang emas" dalam arti sebenar-benarnya cadangan devisa dari Amerika. Sesuatu yang selama puluhan tahun, dimanipulasikan sekedar tambang tembaga.
Menarik untuk disimak, ketika kemarin seorang tentara TNI-AD dari Kendal gugur. AP berjanji akan akan melakukan pendekatan baru yang lain dalam penanganan konflik di Papua! Pendekatan baru yang seperti apa?
Persoalan terbesar negeri ini, khususnya para pengamat adalah kita terlalu meremehkan kekuatan keluarga Cendana. Ukuran kita selalu berhenti pada kondisi keluarga anak-anak Suharto yang seolah-olah adalah cermin berantakannya mereka. Ketidakberdayaan mereka menghadapai realitas "nuclear family" atau keluarga inti. Kita tak pernah benar-benar membaca mereka sebagai sebuah "keluarga besar", sesuatu yang jangkauannya sangat luas dan kokoh.
Sebagaimana juga kita hanya melihat betapa mereka banyak kehilangan aset-aset usahanya. Ya televisi, ya jalan tol, atau ya mobil nasional abal-abal itu. Perusahaan-perusahaan ecek-ecek yang memang seharusnya dimatikan, karena hanya sebuah beban. Sebagaimana juga kita selalu termanipulasikan, bagaimana keluarga ini selalu gagal membangun partai-partai baru. Tapi tahukah, kita loyalitas para pendukung sejatinya? Itu yang tak tampak dan sesungguhnya kokoh bertahan kalau tak mau disebut terus merajalela.
Itulah yang dinamakan "the game of impression".
MUI adalah salah satunya. Ia adalah peliharaan yang paling susah ditaklukan oleh pemerintah, siapa pun presidennya. Secara organisasi ia adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalau di luar negeri disebut Non-Government Organization (NGO). Apakah ia bisa disebut ormas? Ternyata secara hukum tidak bisa. Ia bukanlah representasi resmi yang merangkum sebagai wadah para ulama yang berasal dari berbagai ormas. Tidak bisa atau tidak mungkin, itu pilihan diksi. Mengingat ketidak mungkinan atau ketidak perluan juga menyatukan berbagai ormas yang ada.
Kenapa tidak mungkin? Coba tanya ada gak wakil dari kalangan Syiah atau Ahmadiyah yang secara sepihak tidak dianggap sebagai Islam itu!
Itulah wajah bengep MUI yang di hari-hari ini sedang masuk dalam jebakan permainan intelejen. Hanya karena ada salah satu pengurusnya dijerat karena UU Terorisme. Lalu tiba-tiba, keluarlah watak asli dari sebagian pengurusnya. Catat ya sebagian pengurusnya! Dulu hal tersebut diperankan oleh Tengku Zulkarnain, hari-hari ini diperankan oleh Anwar Abbas. Keduanya oleh para fans-nya club-nya akan selalu dianggap sebagai "orang sholeh dengan berbudi pekerti baik dan tutur bahasa halus". Cuih!
Percaya?
Lembaga seperti MUI ini akan terus ada. Kalau pun ia ditutup akan selalu ada gantinya. Selama cari duit berbakal fatwa agama. Selama agama jadi alat membodohi masyarakat, selama cari duit gampang adalah ideologi paling nyata. Selama surga bisa dikapling-kapling oleh manusia. Selama Tuhan itu bisa ditawar, diajak rembugan kalau perlu disogok dengan amalan ini itu....
Lalu apa pentingnya MUI?
Apa pun produknya, aktivitas atau manuvernya. Hanya MUI yang bisa kasih stempel halal. Pun jika itu namanya pemakzulan atau kudeta atau apa saja!
NB: Toh, kalau "kudeta" itu betul-betul dilakukan dan terjadi. Saya haqul yakin, cara menanganinya semudah menepuk lalat. Bukankah itu justru blessing in disguise, suatu berkah terselubung bagi Jokowi. Pertama, akan dengan gampang memberangus musuh-musuh nyata negeri ini. Kedua, memberi peluang dirinya untuk berkuasa lebih lama lagi. Jokowi itu posisinya kanan kiri untung. Itulah, harga keiklasan dirinya dalam bekerja. Sesuatu yang selamanya akan selalu bikin iri para pembencinya.
Dan justru di situlah sisi gentingnya. Mungkin saking frustasinya, mungkin mereka akan melakukan tindakan nekad: pateni! Tampak musykil, tapi jangan remehkan perilaku orang gila! Barangkali di situlah, sekali lagi barang jualan orang-orang intelejen a.k.a AD itu. Di situlah sekali lagi, menarik di tunggu cerita dari kongsi AP dan mertuanya AMH. Alert, peringatan dini yang menjadi arti penting dipilihnya dirinya. Apakah terbukti atau hanya berhenti sebagai isu murahan.
Atau itu adalah jalan beroleh kuasa yang lebih besar. Apa pun MUI adalah sansaknya!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews