Gairah Keagamaan Berdampak Negatif bagi Ekonomi-Politik?

Motivasi berbasis keyakinan itu jadi fondasi bagi pembentukan kepribadian seperti etika kerja, disiplin, kejujuran, kebersahajaan.

Selasa, 12 November 2019 | 11:37 WIB
0
485
Gairah Keagamaan Berdampak Negatif bagi Ekonomi-Politik?
Ilustrasi (Foto: NU Online)

Di tengah gemuruh wacana tentagn militansi agama dalam kehidupan bangsa, terlintas pertanyaan reflektif, apakah peningkatan gairah keagamaan itu memang senantisa berdampak negatif bagi perkembangan ekonomi-politik?

Baiklah, pagi ini saya membaca buku "The Wealth of Religions: the political economy of believing and belonging", karya dua akademisi hebat dari Harvard University, Rachel M. McCleany & Robert J. Barro (2019).

Buku ini melihat hubungan kausalitas antara efek agama terhadap ekonomi-politik dan efek ekonomi-politik terhadap agama. Pada arus pertama, konsepsi agama tentang ganjaran, hukuman dan kehidupan akhirat, bisa memberi motivasi yang kuat bagi perilaku pemeluknya. Motivasi berbasis keyakinan itu jadi fondasi bagi pembentukan kepribadian seperti etika kerja, disiplin, kejujuran, kebersahajaan.

Bila kepribadian ini bertaut dengan modal sosial dari pelayanan agama dan tradisi baca kitab suci yang mendorong tingkat literasi dan pendidikan, maka meningkatnya keyakinan keagamaan berdampak positif bagi perkembangan ekonomi-politik.

Hanya saja keyakinan keagamaan ini perlu didukung oleh kerangka institusional. Tingginya keyakinan keagamaan di dunia muslim tidak didukung oleh transformasi institusional.

Ketika dunia barat memasuki revolusi industri beserta kebaharuan institusi-institusi sosial-ekonomi baru, dunia Islam malah terkungkung dalam obsesi stabilitas yang menghindari keterbukaan dan pemikiran kritis.

Akibatnya, tak siap merumuskan institusi legal dan regulasi, kredit, asuransi dan kontrak, serta pengembangan struktur korporasi yang dapat menopang industrialisasi.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi-politik juga memengaruhi tingkat dan fenomena keagaamaan.

Secara umum, semakin kaya suatu negara (diukur oleh tk GDP dan urbanisasi), tingkat keagamaannya cenderung menurun; meski ada perkeculian bagi beberapa negara (terutama dunia Muslim), karena konteks khusus dari watak sekularisasi dan religiusitasnya.

Yang harus diwaspadai, meningkatnya tingkat pendidikan dalam kemunduran perekonomian, akan melahirkan under-utilized human capital. Oarngg terdidik, dengan ekspektasi mobilitas vertikal, mendapati peluang usaha dan kerja yang menyempit, bisa berpaling pada kelompok-kelompok militan sebagai sumber keyakinan, identitas diri dan jaminan sosial.

***