Kebencian pada Ahok, adalah kekhawatiran yang bersifat rasis. Takut jika Ahok menguasai kelompok yang tak bisa secara sehat berkompetisi.
Tak pelak, setiap mendengar istilah 212, kita justeru diingatkan sosok yang menjadikan istilah itu ada; Ahok. Karena keberadaan kelompok atau komunitas 212, adalah karena keberadaan Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, yang waktu itu Gubernur DKI Jakarta.
Nama Ahok memang fenomenal. Semula, selaku Wakil Gubernur pasangan Gubernur Joko Widodo, mereka mengalahkan incumbent Fauzi Bowo dalam Pilgub DKI Jakarta 2010. Dua tahun kemudian, Joko Widodo maju Pilpres 2014, mengalahkan Prabowo selaku kompetitor. Ahok menggantikan Joko Widodo selaku Gubernur.
Pada masa itulah, Ahok menguatkan program-program rintisan Jokowi. Mengembangkan program inovatif dan partisipatif. Mengajak masyarakat terlibat, dengan e-budgeting, rapat terbuka, pengaduan masyarakat langsung, program qlue. Bahkan mempunyai tim sendiri, terdiri anak-anak muda fresh graduate. Mereka semacam tim intelijen untuk mendapatkan data lapangan yang akurat.
Ahok melakukan reformasi birokrasi. Pendidikan dan transportasi gratis. Pembenahan pelayanan Puskesmas. Membuka pengaduan masyarakat. Melakukan relokasi dan renovasi bangunan publik seperti pasar, terminal, masjid-masjid, Mbah Priok, Kali Jodo. Normalisasi sungai-sungai yang selama itu menjadi sumber masalah. Hingga yang paling fenomenal Simpang Susun Semanggi, yang sama sekali tanpa dana APBD.
Pada sisi itulah, Ahok ditakuti lawan-lawan politiknya. Siapa mereka? Ialah yang mengusung politik identitas, politik SARA. Juga pandangan-pandangan primordial serta rasis. Mereka yang selalu meributkan soal pribumi dan non–pribumi. Majoritas dan minoritas. Keturunan ini dan itu. Sementara adakah darah Indonesia murni?
Bangsa Indonesia merupakan campuran berbagai etnis atau suku. Yang disebut warga keturunan bukan hanya Cina, melainkan juga India, Arab, bahkan yang berdarah Eropa seperti Jerman, Inggris, Belanda, Portugal dan lain sebagainya.
Sebagaimana Betawi adalah entitas baru (abad 19), campuran berbagai etnis di Nusantara. Dari perkawinan campur etnis Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, Melayu, dan sebagainya (sebagai program pemerintah kolonial pada masa itu).
Baca Juga: Reuni 212, Propaganda Politik dalam Kemasan Agama
Kebencian pada Ahok, adalah kekhawatiran yang bersifat rasis. Takut jika Ahok menguasai kelompok yang tak bisa secara sehat berkompetisi. Politik identitas dipakai untuk menyerang dan membunuh karir politik Ahok. Demikian pula persoalan karakter dan etika. Ahok digambarkan sebagai sosok negative.
Fakta Ahok orang yang anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme, disembunyikan. Walhal, reputasi dan prestasinya tercatat di berbagai penghargaan lembaga formal dalam dan luar negeri. Ahok the great man. Musuhnya banyak, tapi ia lebih besar dari yang setidaknya memusuhi. Meski kelompok majoritas, tapi mereka hanyalah buih di lautan. Berbuncah di atas, kemudian lenyap dihisap pasir pantai.
Jadi, terimakasih pada 212, tiap reuninya justeru selalu mengingatkan jasa-jasa Ahok.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews