Peradaban Baru Membutuhkan Fiksi Baru

Ujar Yuval Noah Harari, narasi besar itu hanya imajinasi. Fiksi. Kini telah datang fajar bagi peradahan baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Ia juga memerlukan fiksi baru.

Kamis, 8 Agustus 2019 | 07:39 WIB
0
506
Peradaban Baru Membutuhkan Fiksi Baru
Robot dan peradaban (Foto: Harian SIB)

Akankah ideologi modern sirna? Apakah agama (tafsir, paham agama tertentu) semakin tak memadai sebagai narasi besar untuk zaman baru? Teknologi baru tak hanya mengubah produk. Ia secara perlahan juga mengubah persepsi dan tata nilai.

Renungan ini lahir seketika saya mendalami datangnya teknologi baru. Kini teknologi itu membuat beberapa profesi akan hilang. Beberapa jenis pekerjaan akan sirna. Pada waktunya, tak hanya profesi dan jenis pekerjaan yang tak lagi relevan. Akan memudar pula aneka ideologi, tafsir agama dan aneka narasi besar lain yang kini dominan.

Media The Verge edisi 2017 menurunkan riset. Sekitar 800 juta populasi dunia akan kehilangan pekerjaan. Jenis pekerjaan itu lebih murah dan efisien jika diganti oleh robot dan aplikasi. Media Finance 101, tahun ini, lebih detail lagi. Media itu merilis aneka profesi yang segera hilang di tahun 2026.

Apa daya. Terbukti robot dan aplikasi berbasis artificial inteleligence dapat bekerja lebih kuat, lebih cepat, lebih akurat, bahkan lebih cerdas dari tenaga manusia. Apalagi, ia lebih murah pula. Dan tekonologi itu tidak cerewet, tidak membuat demo menuntut kenaikan upah, dan sebagainya.

Salah satu profesi yang akan hilang adalah penerjemah bahasa.

**

Saya merasakan akan hilangnya penerjemah bahasa dalam beberapa perjalanan. Salah satunya di Cape Town. New York Times 2014 menulis: Cape Town, Afrika Selatan, adalah tempat terindah di dunia untuk dikunjungi.

Saya pun datang ke sana di tahun 2014. Memang jarang tempat seperti Cape Town. Ia tak hanya memberikan keindahan alam luar biasa. Batu-batu alam aneka warna, hijau, merah, biru, kadang seperti kuning, menempel secara alamiah di dinding batu di pinggir jalan yang dilalui.

Juga di aneka lokasi, kita menikmati peradaban tua yang eksotis dari Afrika. Di area publik, kadang ada yang menari tarian tradisional. Ada yang memainkan alat musik yang juga tradisional.

Teknologi tinggi serta gemerlap budaya super modern hadir pula di sana.

Sengaja saya memilih hotel yang langsung menghadap Table Bay. Dari beranda kamar, nampak tak hanya pantai dan laut. Nampak pula sekawanan gunung unik, yang atapnya merata seperti meja.

Table Mountain (Foto: brandsouthafrica.com)

Itu proses ribuan tahu dari cuaca dan aneka unsur alam. Puncak sekawanan gunung seperti dipotong oleh gergaji raksasa. Seolah sebuah meja raksasa berada di pucuk gunung. Karena itu ia disebut Table Mountain. Pantai di dekat sana disebut Table Bay karena dari pantai, Table Mountain nampak keseluruhannya.

Yang berkesan adalah pasar kerajinan rakyat. Sepanjang jalan, terbuka banyak kios dan lapak. Aneka hasil kerajinan rakyat di jual di sana. Saya menyempatkan diri menikmati karya rakyat itu. Begitu banyak turis dari begitu ragam negara.

Yang unik adalah soal aplikasi handphone. Ada satu pedagang menjajakan barangnya sambil memegang handphone.

Ketika saya lewat dan melihat barang, pemilik kios itu langsung bertanya: From Philipina? Saya menggelengkan kepala dan menjawab: From Indonesia. Ia pun berbicara dalam bahasa yang tak saya tahu. Saya menduga bahasa lokal di Afrika Selatan. Di berbicara lewat aplikasi di handphone.

Seketika handphone mengeluarkan terjemahan suara bahasa Indonesia. Saya menjawab dengan bahasa Indonesia. Handphone itu mengeluarkan suara menjadi bahasa yang dimengerti oleh pemilik kios itu.

Kami bicara bulak balik selama hampir 10 menit. Saya memakai bahasa Indonesia. Ia memakai bahasanya sendiri. Kita sama sama tak mengerti bahasa masing- masing. Namun aplikasi di handphone menjadi penerjemah otomatis.

Setelah saya melewati pedagang itu, setelah membeli produk lokal yang ia jual, saya sengaja mengamati kios itu dari jauh. Ia melakukan hal yang sama kepada pembeli lain. Aplikasi handphone itu dapat menejemahkan aneka bahasa menjadi aneka bahasa lainnya.

Saya pun mengerti. Profesi penerjemah akan segera hilang. Aplikasi terjemahan di handphone dapat dengan murah, praktis dan nyaman menggantikannya.

Jika harus menggunakan penerjemah, berapa banyak penerjemah yang harus dipekerjakan pedagang di pasar rakyat itu agar dapat berkomunikasi dengan pembeli manca negara, yang punya beragam bahasa?

Berapa pula dana harus ia siapkan untuk mempekerjakan begitu banyak penerjemah sepanjang waktu? Aplikasi terjemahan di handphone sudah mampu menolong pedagang tersebut.

Wah! Hukum pasar bebas bekerja. Ekonomi selalu memihak pada yang lebih murah, lebih efisien, lebih akurat. Untuk terjemahan populer, aplikasi di handphone sangatlah nyata segera menggantikan penerjemah tenaga manusia

Namun sekali lagi, teknologi baru tak hanya menyebabkan hilangkan jenis pekerjaan tertentu. Ia juga mengubah persepsi baik dan buruk.

Bergantinya peradaban, dari berbasis pertanian menuju industri, lalu berbasis informasi memerlukan narasi baru. Publik luas memerlukan jawaban baru mengenai realitas, baik dan buruk, dan makna dari segala sesuatu. Narasi lama tak lagi memadai untuk peradaban yang baru.

Peradaban kita sekarang ini sedang layu. Ideogi yang menjadi basisnya sedang kuncup. Peradaban sekarang bersandar pada otoritas kemampuan manusia, kebebasan individu, untuk menilai, menganalisa, lalu membuat keputusan.

Padahal semakin banyak bukti, kemampuan manusia itu sudah dikalahkan oleh teknologi. Tak hanya aplikasi terjemahan Google yang semakin banyak digunakan. Waze dan Google Map, misalnya, sudah lebih ahli sebagai penunjuk jalan. Deep Blue bahkan sudah pula mengalahkan pemain catur paling hebat zamannya: Garry Kasparov. Software keuangan sudah pula lebih baik dibandingkan analisis ahli keuangan sekalipun.

Perubahan besar sedang terjadi. Ini mengulangi apa yang terjadi pada perubahan peradaban sebelumnya. Dulu peradaban berbasiskan otoritas langit melalui wahyu, para nabi dan kitab suci. Segala keputusan publik dibuat berdasarkan rujukan kitab suci.

Tapi datangnya peradaban industri mengubah itu. Ilmu pengetahuan menjadi basis. Otoritas peradaban berubah dari langit menuju kehendak bebas manusia.

Keputusan politik di parlemen dan istana tak lagi merujuk kitab suci. Perdagangan internasional dan transaksi ekonomi tak lagi mendasar diri pada kitab suci. Inovasi dan penemuan di aneka bidang tak lagi dikerjakan dengan mengelaborasi kitab suci.

Ujar Yuval Noah Harari, narasi besar itu sebenarnya hanyalah imajinasi. Itu fiksi. Kini telah datang fajar bagi peradahan baru. Peradaban yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Dan ia juga memerlukan fiksi baru.

Fiksi dari Public policy dan ideologi modern menggantikan Fiksi dari kitab suci. Fiksi public policy dan ideologi modern berbasis pada otonomi individu dan kehebatan proses analisis manusia. Justu basis itu yang kini keropos. Robot dan aplikasi yang bersandaran artificial inteligence terbukti lebih akurat, lebih cepat, lebih kuat, juga lebih murah.

Teknologi baru juga akan membawa tata nilai yang baru. Paham nasionalisme lama, misalnya, tak lagi memadai. Isu global warming berasal dari rusaknya eko sistem tak bisa hanya ditangani oleh satu negara nasional. Isu yang berhubungan dengan internet dan dunia virtual juga melampaui otoritas negara nasional.

Telah datang zaman yang lebih mengglobal. Telah datang artificial inteligence yang mengalahkan akurasi dan kecepatan berpikir manusia.

Apa yang baik dan buruk memerlukan ukuran baru. Makna hidup memerlukan penjelasan baru. Fiksi baru sedang berproses untuk menggantikan fiksi aneka paham (ideologi, agama) yang kini dominan.

Sungguh sebuah berkah. Ialah hidup di zaman ketika peradaban sedang ditata ulang.

Agustus 2019

***

Catatan Perjalanan Denny JA