Alasan Lembaga Survei Kebanggaan Pendukung Prabowo Ini Tidak Bisa Dipercaya

Jumat, 15 Maret 2019 | 09:36 WIB
0
574
Alasan Lembaga Survei Kebanggaan Pendukung Prabowo Ini Tidak Bisa Dipercaya
Prabowo dan Jokowi (Sumber Kompas.com)

Masih ingat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang merilis “Capres Pemilu 2014: Capres Riil Versus Capres Wacana” . Dalam rilis survei itu, Aburizal Bakrie disebut sebagai capres dengan tingkat elektabilitas tertinggi. Ical, demikian sapaan mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut, mengantongi tingkat elektabilitas di atas Megawati Soekarnoputri dan tokoh-tokoh lainnya.

Menariknya, dalam survei yang dirilis pada Oktober 2013 atau beberapa bulan jelang Pilpres 2014 tersebut, nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak muncul. Padahal, sejumlah lembaga survei menempatkan keduanya di puncak tingkat elektabilitas.

Karuan saja, rilis lembaga survei pimpinan Denny JA tersebut mendapat celaan yang dilontarkan sejumlah pengamat, politisi, dan juga aktivis. Bahkan, sebutan capres wacana dinilai cukup menggelikan dan aneh.

"Kebetulan saya baru selesai riset dengan lembaga baru saya. Menurut riset Public Virtue Institute yang baru kami luncurkan Jumat 18 Oktober lalu, 'Jokowi' percakapan paling menarik dan paling banyak di sosial media jika bicara tokoh politik. Agak susah mengatakan "capres wacana." Karena dia itu bukan saja media darling, tapi juga sekaligus people darling karena yang dia buat bukan statement, pidato atau iklan semata, tapi nyata berupa tindakan ke lapangan," kata Direktur Eksekutif Public Virtue Institute, Usman Hamid, pada 22 Oktober 2013 sebagaimana yang dikutip oleh Beritasatu.com.

Jika saja sedikit saja mencermati maksud dari “capres wacana” dan “capres riil”, pastinya Usman dan sejumlah tidak akan mengomentari miring terhadap rilis survei LSI tersebut. Karena memang tidak ada yang salah dengan hasil “pemotretan” LSI dalam surveinya. Bertenggernya Ical di puncak tingkat elektabilitas dan hilangnya nama Jokowi dan Prabowo dari daftar capres pun bukannya tanpa argumen yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Dalam surveinya tersebut, LSI berpatokan pada pengalaman Pilpres 2009. Ketika itu ketiga capres yang maju, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Yusuf Kalla, berasal dari parpol dengan perolehan suara di atas 10 persen. Selain itu, ketiganya berada dalam struktural kepengurusan parpol. Sementara, menurut survei LSI, tingkat elektabilitas Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo di bawah 10 persen. Sedangkan Jokowi bukanlah pengurus PDIP.

Dengan berdasarkan pada pengalaman Pilpres 2009 itulah LSI menyebut Jokowi dan Prabowo sebagai capres wacana, sedangkan Ical dinobatkan sebagai capres riil. Jadi, tidak ada yang salah dengan survei LSI yang sempat menuai kecaman tersebut. Karenanya, jika memutar sedikit saja otak, sebenarnya sulit menemukan kelemahan pada survei tersebut.

Memang benar, dalam sejumlah surveinya, hasil pemotretan LSI berbeda dengan hasil resmi pemilu, salah satunya adalah hasil survei LSI yang menyebut pasangan Foke-Nara unggul dengan tingkat elektabilitas 43,7 persen atas pasangan Jokowi-Ahok yang hanya mengantongi 14,4 persen dalam putaran pertama Pilgub DKI 2012. Padahal, hasil survei itu dirilis hanya 10 hari jelang hari-H pencoblosan 11 Juli 2012.

Hasil survei LSI tersebut berbanding terbalik bukan saja dengan hasil rekap KPUD DKI Jakarta, melainkan juga dengan hasil quick count yang dirilis oleh LSI sendiri. Dalam rilis hasil quick count-nya LSI menyebut Jokowi-Ahok unggul 43,04 persen suara atas Foke-Nara yang meraih. 34,10 persen suara. Sementara, sesuai hasil resmi pemilu, Jokowi-Ahok meraih 42,6 persen suara dan Foke-Nara 34,05 persen suara.

Hasil survei, sekalipun dalam pengambilan sampel berikuti lokasinya dan embel-embel lainnya sudah 100 persen sejalan dengan teori, belum tentu sesuai dengan hasil riil pemungutan suara.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan hasil survei berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan hasil resmi pemilu, salah satunya blunder yang dilakukan oleh kontestan pemilu atau elit pendukungnya.

Tetapi, terpenting bagi konsumen hasil survei adalah metodologinya. Jika metodologinya benar, maka hasil survei tersebut juga benar. Karenanya, jika metodologinya sudah benar, sebenarnya tidak ada hasil survei yang mendapat stempel “meleset”.

Berbeda dengan hasil survei yang dirilis Median. Jangankan soal metodologi, Median yang hasil surveinya selalu di-viral-kan oleh pendukung Prabowo ini masih belum memahami definisi dari tingkat elektabilitas.

Disalin-tempel dari Kompas.com, "Terbukti, dari survei tersebut, sebanyak 20 persen konstituen Demokrat masih memilih SBY sebagai calon presiden. Padahal, nama Presiden RI dua periode itu tidak dimasukkan ke dalam daftar pilihan karena sesuai aturan tak memungkinkan lagi untuk mencalonkan diri."

Perhatikan, "... Padahal, nama Presiden RI dua periode itu tidak dimasukkan ke dalam daftar pilihan...".

Pertanyaannya sangat begitu sederhana, bagaimana mungkin responden bisa memilih SBY, kalau nama SBY tidak ada dalam daftar?

Lebih membingungkan lagi jika membaca "apabila pilpres digelar saat ini".Bukankah dalam pemilu pemilih hanya bisa mencoblos pasangan calon yang fotonya terdapat pada surat suara. Di luar itu tidak bisa.

Jika pada surat suara hanya tercetak foto Jokowi berserta pasangannya, foto Prabowo dan pasangannya, dan foto Gatot Swandito yang berdampingan dengan pasangannya, apakah bisa pemilih mencoblos Susilo Bambang Yudhoyono dengan pasangannya?

Karena survei Media sedikit banyak mengacu pada pelaksanaan pilpres, maka jika ada responden yang mengucapkan nama di luar nama-nama yang terdaftar, seharusnya jawaban responden tersebut dianggap tidak dicatat, apalagi sampai diolah yang kemudian dipublikasikan lewat media.

Bahasa gampangnya, "Barangnya saja tidak ada, kok bisa-bisanya ada yang beli".

Nama SBY baru mungkin keluar dalam katagori top of mind dan popularitas Ketika itu, responden bisa menyebut nama tokoh, siapa pun itu, yang terlintas dalam benaknya. Responden menyebutkan siapa saja karena pertanyaan top of mind dan popularitas bersifat terbuka.

Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin Median berani merilis hasil surveinya, sementara pengertian tingkat elektabilitas saja tidak/belum tahu.

Jika pengertian tingkat elektabilitas yang menjadi andalan produknya saja salah, bagaimana bagaimana mungkin bisa memercayai rlis hasil survei Median pada 21 Januari 2019. Dalam surveinya tersebut Median mencatat selisih elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin (47,9 persen) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (38,7 persen) kian menipis.

Karenanya, berkaca dari lembaga survei Median yang salah dalam memahami tingkat elektabilitas tersebut, sebenarya bukan hanya masyarakat yang patut diberi pemahaman soal survei, tetapi juga pengamat, politisi, aktivis, dan juga lembaga survei itu sendiri.

***